Share

Bab 3 Pertemuan Ansel dengan Keluarganya

Aisha mendesah lirih karena kekhawatiran tidak pernah padam, kemudian membahas sang ayah yang kini berada tidak jauh darinya, “Kak, tengok papa sebentar. Saat ini Evan sedang tidak di rumah.”

“Kapan si brengsek itu akan kembali?” Tatapan Ansel memicing tajam.

“Aisha tidak tahu, tapi mungkin agak lama karena Evan membawa serta banyak dokumen. Aisha pikir mungkin hari ini Evan akan melakukan banyak pertemuan.”

“Baiklah. Kakak akan bawa Ocean untuk bertemu papa. Semoga saja kakek dan cucu bisa bertemu,” lirih Ansel karena Adithia tidak pernah bertemu Ocean sekalipun.

Jadi, Ansel mendadani putranya dengan sangat baik. Kemudian menaiki bus demi menuju kediaman sang ayah. Sebenarnya terdapat banyak perasaan tidak tega karena bayi merah ini harus terkena polusi jalanan, tetapi Ansel tidak mampu membayar taxi. Bukan satu bus saja, Ansel dan Ocean harus melanjutkan perjalanan menggunakan bus lainnya, tetapi syukurnya kendaraan yang ditumpangi mereka kini jauh lebih baik dari bus sebelumnya. Terdapat ac di dalamnya, ruangannya juga sangat steril dari debu dan polusi. Ini adalah bus tertutup dengan fasilitas cukup mewah.

Totalnya empat puluh lima menit perjalanan yang harus ditempuh Ansel dan Ocean, hingga akhirnya pria ini berdiri tepat di seberang bangunan bergaya eropa milik keluarganya. “Sudah lama sekali aku tidak pulang ke rumahku sendiri,” desah sendunya.

Langlah diambil Ansel dengan pasti, bahkan Aisha sudah menunggu di teras rumah yang dibatasi gerbang besar. “Kak Ansel!” Senyumannya merekah.

Namun, senyuman Aisha segera sirna saat menyaksikan satpam menahan Ansel bahkan tidak membukakan gerbangnya sama sekali. “Aku putra pemilik rumah. Apa yang kalian lakukan ini, heuh!” geram Ansel saat Ocean masih berada dalam pangkuannya. Maka satu tangannya tidak dapat berbuat apapun karena harus menahan tubuh malaikat kecil.

“Maaf, Tuan. Tuan Evan tidak mengizinkan Anda masuk!” Lugas dan tegas pria tinggi besar yang tidak dikenali Ansel. Sejauh mata memandang, wajah semua penjaga keamanan tidak dapat dikenalinya hingga dirinya menduga jika Evan telah memecat semua satpam sebelumnya.

Aisha segera menghardik pria yang membentengi Ansel, “Hei, apa yang kau lakukan. Cepat buka gerbangnya!”

Pria tinggi besar ini berbalik ke arah Aisha, memberi hormat kemudian berkata sangat santun, “Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya Nyonya, tetapi kami tidak dapat meloloskan pria ini karena tuan Evan sudah memerintahkan kami untuk tidak membiarkannya masuk.”

“Apa?” Aisha terkesiap dalam mendengarnya.

“Bajingan itu!” Ansel meninju gerbang besi besar yang sangat kokoh ini hingga kepalan tangannya menimbulkan bias kemerahan.

“Buka gerbangnya. Ini perintah dariku!” Aisha mengangkat wajahnya sebagaimana nyonya besar yang sedang memerintahkan bawahannya. Namun, wajah satpam menunduk cukup dalam padanya.

“Mohon maaf Nyonya. Kami diperintah tuan Evan, jadi kami hanya akan mendengarkan tuan Evan.”

“A-apa yang kau katakan ini. Heuh!” Aisha dibuat murka oleh pegawainya sendiri. Kumpulan satpam yang direkrut Evan selama kurang lebih sejak tujuh bulan ke belakang.

“Nyonya bisa menanyakannya sendiri pada tuan Evan,” santun pria ini.

“Ck!” Aisha mendengus berang bersama tatapan murka pada semua pegawainya, kemudian menghampiri Ansel yang masih berdiri di bawah terik sinar matahari. Wanita ini berbisik, “Kak, lewat belakang saja. Hanya saja Kakak harus memutar ke dalam gang.”

“Iya, Kakak tidak lupa jalan itu,” desah sendu Ansel karena akses untuk dirinya tertutup padahal secara notabene dirinya dan keluarga kecilnya memiliki hak untuk memijak rumah ini bahkan tinggal di dalamnya. Segera, tatapannya memicing tajam ke arah para penjaga seiring langkah dipenuhi amarah.

Di saat bersamaan, Aisha kembali ke dalam rumah dan segera menuju halaman belakang untuk menyambut Ansel. Hanya saja pintu gerbangnya terkunci dengan gembok besar. “Kalau aku merusaknya pasti Evan akan curiga. Tapi ini jalan satu-satunya untuk kak Ansel dan Ocean!” Sejenak, wanita ini mencoba mencari solusi lain, tetapi tidak menemukannya. Maka walaupun tindakannya akan berujung negatif, dia tetap merusak gembok menggunakan alat-alat yang ada. Merusak kunci adalah keahlian terpendamnya. Hanya saja setelah merusaknya, Aisha tidak dapat mengembalikannya lagi seperti sediakala.

Akhirnya Ansel dan Ocean berhasil masuk, maka pelukan kakak beradik segera saling menyahut. “Kak ... Aisha sangat merindukan Kakak. Bagaimana keadaan kak Alea?” Air mata haru segera menetes deras.

“Alea baik-baik saja.” Senyuman teduh Ansel saat menatap wajah sang adik yang sudah sekitar satu tahun tidak dilihatnya selain lewat video call.

Aisha membuka kain pelindung sinar matahari yang menutupi wajah Ocean dengan gemetar dan hati-hati, kemudian air mata berderai saat menyaksikan keponakannya secara langsung. “Andai kita tinggal bersama di sini ....” Suaranya terkecik kepedihan.

“Hidup kita akan sempurna dan bahagia seperti sediakala,” sahut Ansel yang kembali memeluk Aisha.

“Kak, ayo masuk. Temui papa ...,” ajak lembut Aisha yang menuntun kakaknya hingga akhirnya Ansel dan Adithia bertatap muka. Ayah dan anak segera berderai air mata, tetapi Adithia tidak dapat mengungkapkan deretan kalimat yang ingin dikatakannya karena penyakitnya menahan itu semua. Namun, tatapan matanya tetap menyampaikan kasih sayang tiada batas pada Ansel dan Ocean.

Satu keluarga berkumpul, bercengkrama di dalam salah satu ruangan. Tawa bahagia serta kehangatan kembali walaupun Adithia hanya dapat mengekspresikannya lewat raut wajahnya saja.

Kini, Aisha mulai memikirkan kehidupan Ansel di dalam rumah sewa. “Kak, Aisha punya tabungan. Terima ya, tapi bukan maksud Aisha merendahkan Kakak. Anggap saja ini untuk Ocean.” Sebuah kartu bank disodorkan pada Ansel.

“Kenapa kamu memberikannya pada Kakak?” heran Ansel. Selain itu dia merasa menjadi orang yang patut dikasihani. Jika harus jujur ini melukai hatinya.

“Maaf ya kalau Aisha menyinggung. Tapi Aisha tidak ingin melihat dan mendengar kehidupan pas-pasan Kakak ..., lagipula Kakak juga punya hak atas semua aset papa. Hanya saja saat ini brankas dan kartu bank sudah dikuasai Evan. Kami tidak mengetahui sandinya. Jadi hanya ini yang Aisha punya karena ini kartu pribadi Aisha yang diberikan Evan.” Hampir saja matanya berkaca-kaca, tetapi ditambahkan banyak harapan supaya Ansel menerima kebaikannya tanpa merasa tersinggung sedikit pun.

“Lalu kamu bagaimana? Pasti Evan akan menanyakannya.” Ansel tidak lantas menerima kebaikan Aisha karena pasti akan menimbulkan hal negatif.

“Aisha bisa beralasan kartunya hilang. Maka dari itu setelah dari sini cepat ambil semua uangnya!”

“Tidak seinstan itu, Sya.  Apa kamu yakin Evan tidak akan memeriksa mutasi terakhirnya atau meminta pihak bank menyelidiki. Kakak yakin Evan akan menjadikannya sebagai kasus pencurian.” Ansel sangat mengerti jalan pikiran Evan.

“Aku bisa beralasan kartunya diambil seseorang tidak dikenal lalu menguras uangnya. Mungkin Evan tidak akan menyelidiki uang yang jumlahnya tidak seberapa.”

“Mana bisa seperti itu. Bisa saja Evan mengusutnya.” Ansel sangat mengerti sifat tidak ingin dirugikan yang dimiliki Evan. “Lagipula, tidak peduli berapa jumlahnya, Evan adalah manusia serakah, sedikit atau banyak pasti membuatnya merasa dirugikan. Ck!” decak kasar Ansel ditambah tatapan berapi-api.

“Atau mungkin ... aku bisa beralasan jika aku mentransferkan semua uangnya untuk bantuan bencana atau bantuan apapun itu yang berhubungan dengan keperluan mendesak.”

“Kamu yakin cara itu efisien?”

“Semoga ...,” desah Aisha bersama tatapan memelas yang diarahkan pada Ansel. Percakapan keduanya didengarkan Adithia yang tetap berada di sekitar kedua anak serta cucunya hingga tetesan bening adalah ungkapan kesedihannya saat mulutnya tidak mampu bersuara.

Saat ini, terpaksa Ansel harus meninggalkan sang ayah karena dirinya harus ikut serta dengan Aisha karena adiknya harus terlihat keluar rumah untuk meyakinkan para penjaga jika dirinya melakukan kegiatan menyumbang. Pelukan lirih pria ini kesulitan melepaskan sang ayah, tetapi di sisi lain waktu memburunya. Mereka tidak tahu kapan Evan akan kembali. “Pa, Ansel minta maaf karena Ansel harus pergi. Ansel dan Ocean janji akan datang lagi jika Evan belum kembali.” Ini adalah salah satu situasi yang menggoreskan banyak luka di hatinya setelah sebelumnya hatinya dibuat perih saat angkat kaki dari rumah, meninggalkan ayah serta adiknya.

Saat ini dada Adithia bergemuruh antara pedih dan cemas karena dirinya mengetahui jadwal kembalinya Evan. ‘Nak, cepatlah pergi. Jangan sampai ditemukan Evan!’ Sayangnya, hanya hatinya yang mampu bersuara.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status