Share

Bab 7. Aku Hanya Akan Mengakhiri Hidup Papamu Saja!

“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. 

Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”

Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. 

“Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. 

“Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.

“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. 

Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. 

Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian berpamitan pada semua orang di warung. Dalam perjalan, dirinya sempat mengeluh sendu, “Kalau kehidupan kami tidak seperti ini aku juga tidak mau meninggalkan Ocean. Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya bekerja dari pagi hingga sore.”

Sesampainya di rumah, raut wajah Alea berubah menjadi sangat ceria dan manis karena dirinya selalu pintar menyembunyikan kesedihan. “Khusus hari ini aku akan memasak lebih banyak.” 

“Syukurlah, kita akan makan lebih banyak.” Tawa kegelian Ansel yang bermaksud berkelakar, tetapi membuat Alea bersedih karena seringnya pasangan suami dan istri ini berbagi satu porsi berdua. 

“Makanlah sampai kamu kenyang.” Senyuman penuh makna ini dibentuk Alea. Jadi, akhirnya beberapa menu hadir di tengah-tengah mereka, tentunya terdapat menu mewah, Alea membeli satu kilo daging ayam yang dimasak empat potong untuk makan siang hari ini. 

“Kenapa cuma memasak empat saja, Sayang?” tanya lembut Ansel sebelum menyantap makanan mewah yang jarang mereka temui. 

“Sisanya untuk nanti malam sebelum kamu bekerja, juga untuk besok.”

“Ya sudah, ambil tiga buat kamu.” Ansel menambahkan tiga potong daging ayam ke dalam piring Alea. 

Tentu saja Alea segera menolak, “Eh, jangan. Masing-masing mendapatkan dua potong.”

“Aku cukup memakan satu potong saja, lagian nanti malam aku mendapatkan potongan ayam lagi,” kekeh Ansel yang memang bermaksud memberikan lebih banyak pada istrinya.

“Ya sudah ....” Alea menyisihkan satu potong ayam yang sejak awal milik Ansel dengan alasan tiga potong terlalu banyak untuknya, padahal dia inginkan Ansel mendapatkan makanan lebih banyak karena suaminya akan berjuang untuk mencukupi kehidupan mereka. 

Makan siang kali ini berbeda, maka pasangan ini mengucapkan banyak-banyak rasa syukur pada Tuhannya yang telah memberikan rezeki lebih. 

Tanpa terasa, malam tiba. Ansel memang kembali menyantap makan malam hanya saja tidak dengan potongan dagingnya. “Buat besok pagi saja,” alasannya dengan kekeh kemudian berlalu meninggalkan anak dan istrinya pada pukul sebelas malam.

Di saat bersamaan Evan masih terjaga, pria ini sedang memandangi mertuanya yang terbaring. “Pa, sebutkan kode untuk membuka brankas, Evan harus mengambil surat penting beberapa aset yang belum papa berikan pada Evan,” tutur katanya lembut dan perlahan juga sangat santun.

Adhitia memandangi menantunya dengan tatapan penuh amarah, hanya saja tidak dapat mengekpresikannya hingga Evan kembali berkata manis, tetapi sangat lancang dan jahat, “Evan membutuhkan surat-surat itu karena papa belum memberikan semua aset yang salah satunya perkebunan. Tapi Aisha saja tidak tahu berapa pasword brankasnya. Hm ... Evan rasa isi brankas itu tersembunyi banyak rahasia hingga hanya papa yang tahu paswordnya,” kekeh ramah ditambahkan. 

Adhitia bergeming penuh amarah, lagipula dirinya memang seperti pria bisu. Andaipun terucap sebuah kata dari mulutnya, itu sama sekali tidak terdengar seperti sebuah obrolan, melainkan kalimat-kalimat tidak jelas yang bahkan tidak dapat dimengerti oleh Aisha.

Evan melirik kecil pada mertuanya yang terbaring dengan mantel hangat, kemudian kerah baju pria itu dibetulkan. “Evan adalah menantu paling berbakti jika dibandingkan dengan putra papa yang pergi dan tidak pernah kembali, Ansel tidak memperdulikan ayahnya sendiri.” Kalimat manis serta penyampaiannya yang hangat tidak menutupi kenyataan bahwa pria ini sedang memutar balikkan fakta karena kepergian Ansel dan Alea adalah pengusiran bak sampah yang dilakukannya. Walaupun saat ini Adhitia sakit keras, tetapi dia mengingat dengan detail semua hal yang pernah terjadi.

“Evan!” kaget Aisha yang barusaja mengetahui kunjungan suaminya di kamar ayahnya, “apa yang kamu lakukan di kamar papa?” Langkah cekatan diambil Aisha yang sedang mengkhawatirkan keadaan ayahnya karena bisa saja Evan melakukan sesuatu yang semakin memperparah keadaan sang ayah.

“Menjenguk papa.” Bahu Evan menggendik santai. 

Aisha mendengus kecil dengan tatapan memicing curiga ke arah Evan, kemudian memeriksa tubuh Adhitia. “Apa Papa baik-baik saja?” pertanyaan diluncurkan pada sang ayah yang bak mayat hidup. Adhitia bernapas, hanya saja hampir seluruh tubuhnya tidak dapat bergerak jika bukan Aisha yang menggerakannya. 

“Sayang ... tidak perlu khawatir berlebihan pada Papa. Papa selalu baik-baik saja.” Senyuman hangat Evan di depan punggung Aisha. 

Segera, Aisha membalik tubuhnya ke arah Evan. “Jangan ganggu papa!” Lagi, wanita ini memberanikan diri melakukan perlawanan kecil pada suami psikopatnya. 

Evan menggelengkan kepalanya seraya memegangi pelipisnya sesaat, kemudian tersenyum bersama kalimat menyebalkan di ruang dengar Aisha. “Tanyakan pada papa. Apa aku mengganggu tidurnya?”

Aisha mendengus geram, hanya saja semua pergerakan pemberontakannya diblokir Evan termasuk untaian kalimat umpatan. Wanita ini hidup di bawah aturan tidak masuk akal dari Evan, termasuk berbicara juga bersikap. “Biarkan papa tidur, papa butuh istirahat!” Hanya ini kalimat yang bisa dikatakan Aisha untuk mengusir Evan dari kamar ayahnya. 

Kini, Aisha dan Evan sudah kembali ke dalam kamar mereka. “Aku mohon, jangan ganggu papa lagi.” Sebenarnya ingin sekali berkata kasar yang diiringi dengan teriakan di hadapan wajah Evan, tetapi itu hanya akan semakin memperburuk hidupnya, sang ayah serta hidup Ansel dan Alea maka Aisha menahan semua gejolak amarah yang ada. 

“Aku tidak pernah mengganggu papa.” Kecupan lembut Evan mendarat di dahi Aisha. ‘Aku hanya akan mengakhiri hidup papamu saja!’

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status