“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan.
Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”
Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya.
“Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini.
“Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.
“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir.
Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya.
Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian berpamitan pada semua orang di warung. Dalam perjalan, dirinya sempat mengeluh sendu, “Kalau kehidupan kami tidak seperti ini aku juga tidak mau meninggalkan Ocean. Ibu mana yang tega meninggalkan bayinya bekerja dari pagi hingga sore.”
Sesampainya di rumah, raut wajah Alea berubah menjadi sangat ceria dan manis karena dirinya selalu pintar menyembunyikan kesedihan. “Khusus hari ini aku akan memasak lebih banyak.”
“Syukurlah, kita akan makan lebih banyak.” Tawa kegelian Ansel yang bermaksud berkelakar, tetapi membuat Alea bersedih karena seringnya pasangan suami dan istri ini berbagi satu porsi berdua.
“Makanlah sampai kamu kenyang.” Senyuman penuh makna ini dibentuk Alea. Jadi, akhirnya beberapa menu hadir di tengah-tengah mereka, tentunya terdapat menu mewah, Alea membeli satu kilo daging ayam yang dimasak empat potong untuk makan siang hari ini.
“Kenapa cuma memasak empat saja, Sayang?” tanya lembut Ansel sebelum menyantap makanan mewah yang jarang mereka temui.
“Sisanya untuk nanti malam sebelum kamu bekerja, juga untuk besok.”
“Ya sudah, ambil tiga buat kamu.” Ansel menambahkan tiga potong daging ayam ke dalam piring Alea.
Tentu saja Alea segera menolak, “Eh, jangan. Masing-masing mendapatkan dua potong.”
“Aku cukup memakan satu potong saja, lagian nanti malam aku mendapatkan potongan ayam lagi,” kekeh Ansel yang memang bermaksud memberikan lebih banyak pada istrinya.
“Ya sudah ....” Alea menyisihkan satu potong ayam yang sejak awal milik Ansel dengan alasan tiga potong terlalu banyak untuknya, padahal dia inginkan Ansel mendapatkan makanan lebih banyak karena suaminya akan berjuang untuk mencukupi kehidupan mereka.
Makan siang kali ini berbeda, maka pasangan ini mengucapkan banyak-banyak rasa syukur pada Tuhannya yang telah memberikan rezeki lebih.
Tanpa terasa, malam tiba. Ansel memang kembali menyantap makan malam hanya saja tidak dengan potongan dagingnya. “Buat besok pagi saja,” alasannya dengan kekeh kemudian berlalu meninggalkan anak dan istrinya pada pukul sebelas malam.
Di saat bersamaan Evan masih terjaga, pria ini sedang memandangi mertuanya yang terbaring. “Pa, sebutkan kode untuk membuka brankas, Evan harus mengambil surat penting beberapa aset yang belum papa berikan pada Evan,” tutur katanya lembut dan perlahan juga sangat santun.
Adhitia memandangi menantunya dengan tatapan penuh amarah, hanya saja tidak dapat mengekpresikannya hingga Evan kembali berkata manis, tetapi sangat lancang dan jahat, “Evan membutuhkan surat-surat itu karena papa belum memberikan semua aset yang salah satunya perkebunan. Tapi Aisha saja tidak tahu berapa pasword brankasnya. Hm ... Evan rasa isi brankas itu tersembunyi banyak rahasia hingga hanya papa yang tahu paswordnya,” kekeh ramah ditambahkan.
Adhitia bergeming penuh amarah, lagipula dirinya memang seperti pria bisu. Andaipun terucap sebuah kata dari mulutnya, itu sama sekali tidak terdengar seperti sebuah obrolan, melainkan kalimat-kalimat tidak jelas yang bahkan tidak dapat dimengerti oleh Aisha.
Evan melirik kecil pada mertuanya yang terbaring dengan mantel hangat, kemudian kerah baju pria itu dibetulkan. “Evan adalah menantu paling berbakti jika dibandingkan dengan putra papa yang pergi dan tidak pernah kembali, Ansel tidak memperdulikan ayahnya sendiri.” Kalimat manis serta penyampaiannya yang hangat tidak menutupi kenyataan bahwa pria ini sedang memutar balikkan fakta karena kepergian Ansel dan Alea adalah pengusiran bak sampah yang dilakukannya. Walaupun saat ini Adhitia sakit keras, tetapi dia mengingat dengan detail semua hal yang pernah terjadi.
“Evan!” kaget Aisha yang barusaja mengetahui kunjungan suaminya di kamar ayahnya, “apa yang kamu lakukan di kamar papa?” Langkah cekatan diambil Aisha yang sedang mengkhawatirkan keadaan ayahnya karena bisa saja Evan melakukan sesuatu yang semakin memperparah keadaan sang ayah.
“Menjenguk papa.” Bahu Evan menggendik santai.
Aisha mendengus kecil dengan tatapan memicing curiga ke arah Evan, kemudian memeriksa tubuh Adhitia. “Apa Papa baik-baik saja?” pertanyaan diluncurkan pada sang ayah yang bak mayat hidup. Adhitia bernapas, hanya saja hampir seluruh tubuhnya tidak dapat bergerak jika bukan Aisha yang menggerakannya.
“Sayang ... tidak perlu khawatir berlebihan pada Papa. Papa selalu baik-baik saja.” Senyuman hangat Evan di depan punggung Aisha.
Segera, Aisha membalik tubuhnya ke arah Evan. “Jangan ganggu papa!” Lagi, wanita ini memberanikan diri melakukan perlawanan kecil pada suami psikopatnya.
Evan menggelengkan kepalanya seraya memegangi pelipisnya sesaat, kemudian tersenyum bersama kalimat menyebalkan di ruang dengar Aisha. “Tanyakan pada papa. Apa aku mengganggu tidurnya?”
Aisha mendengus geram, hanya saja semua pergerakan pemberontakannya diblokir Evan termasuk untaian kalimat umpatan. Wanita ini hidup di bawah aturan tidak masuk akal dari Evan, termasuk berbicara juga bersikap. “Biarkan papa tidur, papa butuh istirahat!” Hanya ini kalimat yang bisa dikatakan Aisha untuk mengusir Evan dari kamar ayahnya.
Kini, Aisha dan Evan sudah kembali ke dalam kamar mereka. “Aku mohon, jangan ganggu papa lagi.” Sebenarnya ingin sekali berkata kasar yang diiringi dengan teriakan di hadapan wajah Evan, tetapi itu hanya akan semakin memperburuk hidupnya, sang ayah serta hidup Ansel dan Alea maka Aisha menahan semua gejolak amarah yang ada.
“Aku tidak pernah mengganggu papa.” Kecupan lembut Evan mendarat di dahi Aisha. ‘Aku hanya akan mengakhiri hidup papamu saja!’
Bersambung ....
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Alea barusaja kembali tiga jam kemudian saat Ocean hendak dimandikan, Ansel masih terlelap sangat damai hingga tanpa sadar senyuman ditarik teduh. “Selamat tidur,” bisiknya.Setelah Ocen dimandikan, bayinya ikut terlelap bersama ayahnya. Saat ini Alea meraih handphone milik Ansel walaupun sebelumnya wanita ini tidak pernah melakukannya karena tidak ada seorang pun yang harus dihubungi. “Eh, ada Aisha?” Maka, pesan adik iparnya dibaca dengan saksama. “Malam ini ada pesta dan Evan akan menghadirinya. Aku tidak boleh lupa mengatakannya pada Ansel!” Wajahnya sedikit memucat karena ini adalah kabar menakutkan. [Ansel sedang tidur, akan aku sampaikan nanti. Aisha, bagaimana kabarmu?] Sebuah chat diluncurkan. Panggilan dari Aisha segera berdering. “Kak, jangan lupa ya. Aku takut kakak kenapa-kenapa kalau bertemu Evan!”“Kakak juga sangat khawatir.” Pun, Alea mengutarakan isi hatinya. “Bagaimana kabar kamu dan papa?” ulangnya dengan cemas.“Keadaan papa masih sama, Kak?” sendu Aisha, sedangk
Alea ternganga mendengar kalimat Ansel. “Kenapa? Harusnya kamu ambil libur saja, kamu bisa beralasan.” “Tidak. Aku harus menghadapi Evan, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang dan apakah dia masih berani menjatuhkanku di sana. Supervisor tahu aku adalah putra dari papa, salah satu pemasok berlian di sana.” Ansel berkata tegas.Saat ini ada banyak kekhawatiran yang ingin disampaikan Alea, tapi wanita ini juga tidak bisa melarang niat Ansel toh setidaknya suaminya pintar beladiri walaupun mungkin itu kurang efektif saat mengadapi Evan yang menyerangnya lewat kekuasaan. Puncak kepala Alea dibelai lembut bersama senyuman teduh. “Jangan khawatir, buang khawatir kamu, Sayang. Aku akan baik-baik saja malam ini dan aku akan pulang tepat waktu, aku janji.” Seharusnya janji Ansel menjadi obat ketegangan yang menyerang Alea, tetapi nyatanya tidak. Justru kekhawatiran semakin menjalar. Pada sore harinya Ansel membantu Alea memersiapkan usaha kecil-kecilan istrinya. Pria ini mendukung penuh lan
Evan dan Ansel berjabatan tangan formal. “Sudah lama kita tidak bertemu.” Sikap hangat Evan yang jelas adalah kepalsuan. Namun, Ansel meladeni penjilat di hadapannya ini, dia memasang sikap yang sama. “Aku sibuk.” Kalimat singkat Ansel dengan senyuman hambar. Saat ini tangannya saling menggapai bahu lawan bicaranya, tetapi Evan maupun Ansel saling meremas bahu alih-alih bersikap sebagaimana seorang ipar.“Aku tahu hidupmu berat,” kekeh Evan yang sebenarnya sangat puas, tetapi dibuat seolah sangat iba. Dia tidak pernah memberikan penjelasan apapun pada kolega jika Ansel hidup melarat, maka kalimatnya itu diungkapkan berdasarkan seragam satpam yang akhirnya diketahui semua orang di dalam pesta. “Ya, papa membuatku hidup dari nol. Itu sangat berat, tapi aku yakin akhirnya aku akan sukses seperti papa atau bahkan lebih dari papa.” Kalimat ini adalah sindiran untuk Evan walaupun terpaksa Ansel harus menggunakan ayahnya sebagai kambing hitam karena mereka berbicara di sekitar kolega.Evan
Ansel berdiri di halaman gedung pencakar langit milik Adhitia. Malam sangat dingin dan cukup sunyi, tetapi sinarnya sebagai seorang pewaris tidak redup sama sekali bahkan satpam segera memberikan penghormatan pada CEO yang selama ini dikenali mereka. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” ‘Ternyata Evan tidak mengganti satpam dengan antek-anteknya!’ Rasa puas mulai menjalar perlahan karena hal ini dapat mempermudah dirinya. “Ya. Aku ada urusan di dalam!” Wibawanya ditunjukan. “Silakan, Tuan.” Satpam menggiring Ansel menuju pintu utama gedung. Namun, rupanya kali ini pintu masuk diakses oleh sidik jari. “Di mana ID cart kalian?” Ansel segera menyadari jika dirinya tidak dapat masuk karena tidak ada akses sidik jari miliknya. “Tuan Evan sudah mengganti semua akses karyawan menggunakan sidik jari, Tuan,” penjelasan diberikan pria ini dengan cukup heran karena seharusnya sebagai pewaris tunggal, Ansel sudah memahami setruktur gedung. Sejenak, Ansel menggeram kesal, “Bu
Evan tidak melihat istrinya saat membuka pintu rumah, jadi pria ini mengira jika istrinya sedang berada di dalam kamar mertuanya, tetapi ternyata Adhitia masih sendiri di atas kursi roda yang menghadap pada sinar matahari pagi. Sengaja, Evan berjongkok di hadapan mertuanya yang tidak dapat melakukan gerakan apapun. “Apa penyakit Papa bertambah parah, hm ...? Papa terlihat seperti bayi yang barusaja lahir, tidak dapat melakukan apapun.” Caranya menatap Adhitia memang lembut, tetapi senyuman sarkasme menemani raut wajahnya.“Di mana Aisha, apa putri Papa sudah bosan menemani Papa karena ternyata orangtua yang tersisa tidak memiliki kemajuan apapun. Mengenaskan sama sekali.” Evan menggelengkan kepalanya bersama tawa sarkasmenya walaupun hanya menggunakan volume kecil, tetapi sudut matanya seolah ingin membunuh Adhitia saat ini juga.‘Evan bisa membunuhku kapan saja, tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Aku takut Evan mengincar Ansel dan Aisha!’ Kata hati Adhitia yang sangat ingin diungka
Ansel mengerjap kecil saat seseorang mengenalinya. Seharusnya ini bukanlah hal aneh, tetapi setelah sekian lama dirinya tidak berada dalam lingkungan kehidupan elit membuatnya seakan terisolasi dari kepopulerannya sebagai penakluk akal sehat wanita sekaligus seorang CEO handal, maka saat ini dirinya merasa janggal pada wanita di hadapannya. “Bukan,” dustanya untuk mengetahui sejauh apa wanita ini mengetahuinya. “Apa saya salah ya ....” Rima menggaruk kecil sisi kepalanya. “Maaf Mas, Mas mirip sekali dengan suami saudara saya, Alea. Dulu kami tumbuh bersama di panti asuhan, di saat terakhir Mas Ansel ikut mengantar Alea saat berpamitan. Maaf, Mas sangat mirip,” kekeh renyah Rima, tetapi terdengar manis. Pun, saat ini Ansel ikut terkekeh kecil, “Ada banyak manusia yang mirip. Tapi itu bukan saya. Permisi, Mbak.” Segera, Ansel meninggalkan tempat itu, pun dengan sengaja juga pria ini tidak mengakui jati dirinya karena mungkin kehidupannya yang sekarang akan terbongkar. Bukan karena min