Share

Bab 8. Kehidupan Miris Sang Pewaris

Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.

Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. 

Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum, jadi secara tidak langsung dirinya tetap populer di kalangan kaum hawa walaupun nasib hidupnya berubah tiga ratus enam puluh derajat.

Di sisi lain, Alea baru saja menyelesaikan lish untuk usaha kecil-kecilannya. “Uang dari tante Aisha cukup banyak. Mama bisa berbisnis pakaian bayi. Hihi ....” Kalimatnya pada Ocean yang terlelap di dalam pangkuan hangatnya. Daerah tempat tinggalnya banyak dihuni oleh bayi seusia Ocean maupun yang lebih muda atau lebih tua dari anaknya. Jadi, dia pikir berbisnis pakaian bayi lebih berpeluang dibandingkan bisnis makanan karena sudah banyak orang yang berniaga di bidang kuliner, pun makanan tidak bisa didiamkan harus selalu cepat habis, hal itu akan membuatnya kewalahan, sedangkan untuk pakaian Alea juga bisa menjualnya secara online hal itu bisa tetap menghemat modal karena pakaian tidak mengenal basi, lalu benda mati juga bisa mencakup lebih banyak sasaran pasar.

Diliriknya daun pintu yang terbuka lebar, tetapi batang hidung Ansel belum terlihat sama sekali. “Tumben papa belum pulang. Apa macet ya?” Kekhawatiran selalu merajela andai suaminya terlambat kembali walaupun hanya hitungan menit karena Ansel bekerja di salah satu daerah kekuasaan Evan, hal inilah yang selalu membuat Alea tidak tenang. 

Tap tap tap

Suara langkah ringan mengudara, tetapi Alea bisa mengenalinya jika itu bukan suara langkah kaki Ansel maka wanita ini hanya duduk di atas tikar yang digelar sebagai pelapis lantai. Terdengar pula, Rina sedang berbicara dengan seseorang, seolah sedang menawarkan rumah sewa yang belum berpenghuni. 

Namun, betapa terkejutnya Alea saat Rina melewati halaman rumahnya bersama seorang wanita yang adalah salah satu kawannya di panti asuhan. Segera, wajahnya ditutupi oleh kain gendongan milik Ocean. 

“Ocean ... sudah bangun, Nak ...?” sapa ramah Rina di luar halaman rumah Alea yang hanya dibatasi pagar kayu berukuran satu meter.

“Sudah, Bu ...,” jawaban ramah Alea, tetapi lebih dari setengah wajahnya tertutup kain. Maka, hal ini membuat Rina melanjutkan pertanyaannya. 

“Ada apa, kenapa ditutupi seperti itu ...,” kekeh wanita gembil ini.

“Sedang flu, takut terkena Ocean,” alasan Alea yang masih menutupi wajahnya. 

“Ya sudah, lekas sembuh ya Nak,” tulus Rina, kemudian berlalu bersama wanita yang sejak tadi mengikuti langkahnya. Segera, Alea menutup pintu. 

“Ya ampun, yang tadi itu Rima. Kenapa Rima kesini, apa mau menyewa rumah? Kalau begitu bisa gawat, Rima akan tahu keadaanku sekarang!” panik Alea yang selama ini menyembunyikan kehidupan minimalnya bersama Ansel. Intinya semua orang di panti asuhan hanya tahu jika kehidupan Alea berbanding terbalik dengan kehidupannya sebelum menikah dengan Ansel. 

Ujung kukunya digigit panik, tetapi Alea tidak bisa terus seperti ini. Maka, dia mencoba mengondisikan dirinya dengan berbaring sesaat di atas tempat tidur tipis mereka. “Aku harap Rima tidak menyewa rumah di sini. Aku tidak mau orang di panti asuhan tahu kehidupanku yang sekarang, mungkin mereka akan sangat bersedih ....” 

Dulu, pengurus panti asuhan serta kawan-kawannya lalu adik-adiknya menangisi kepergian Alea setelah dipinang Ansel, tetapi semua orang menangis haru karena akhirnya Alea menemukan kebahagiaan serta harta berlimpah yang sebelumnya tidak pernah dia rasakan selama hidup di panti asuhan. Maka, kehidupannya kini harus dirahasiakan serapat mungkin agar semua orang di panti asuhan tidak meneteskan air mata pilu. 

Baru saja Alea berhasil menenangkan dirinya, pintu rumah diketuk halus hingga membuat jantungnya berdebar kencang. ‘Si-siapa ya, apa Rima?’ Hendak bangkit, Ocean menangis maka Alea segera menenangkan bayinya, tetapi bunyi ketukan pintu berakhir.

Kini, Alea sudah kembali menimang Ocean dalam pelukan hangatnya, langkah perlahan diambil menuju kaca yang tertutup gorden brokat guna memeriksa halaman rumahnya yang sempit. Namun, ternyata di luar dugaannya karena itu adalah Ansel-suami yang sejak tadi ditunggunya. Daun pintu segera terbuka setelah pria ini mendengar bunyi klik. “Sudah dari tadi? Maaf ya, aku tidak langsung membukakan pintu ....” Rasa bersalah segera merasuki Alea. 

“Tidak apa, aku baru datang kok. Aku mendengar tangisan Ocean, makannya tidak lagi mengetuk pintu karena takut mengganggu anak kita, terus pasti kamu juga akan panik jika aku terus mengetuk pintu,” kekeh hangat Ansel saat memberikan penjelasan pada istrinya.

Alea tersipu mendengar kepedulian Ansel pada dirinya serta anak mereka. “Masuklah, aku sudah memasak. Aku akan buatkan minuman hangat,” sambutan hangatnya yang selalu menyertakan senyuman manis. 

“Iya Sayang, terimakasih. Kebetulan cuaca sedang sedikit dingin.” Senyuman teduh Ansel yang segera duduk di atas tikar. Namun, kali ini Alea segera menutup pintu rumah. Pun, penjelasan diberikan sebelum Ansel bertanya heran. 

“Udaranya sedikit dingin, aku takut Ocean masuk angin. Pintunya ditutup saja ya.” Senyuman kecilnya saat menutupi kekhawatirannya terhadap Rima. 

“Iya, tidak apa. Tutup saja.” Ansel tidak memerotes sama sekali walaupun biasanya Alea akan membuka pintu untuk mendapatkan udara segar di pagi hari.

‘Aku tidak mau Rima mengetahui keadaanku, tapi aku tidak bisa mengatakannya pada Ansel, aku takut Ansel terluka karena Ansel tidak dapat membawa kami pada kehidupan lebih layak.’ Hati Alea bermonolog sendu. Ada banyak perasaan yang harus dijaganya, maka dia pikir menyembunyikan perasaannya lebih baik dibandingkan mengugkapkannya. 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status