Share

Bab 6. Ocean Dewananda Hirawan

Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”

Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu. 

Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”

Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.

Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mata Aisha. 

“Bagaimana jika papa butuh ke rumah sakit?” tanya Aisha dengan dengusan tipis untuk mengekspresikan secuil kekesalannya. Dengusannya sangat tipis dan singkat hingga Evan tidak menyadarinya.

“Bisa diatur. Kamu hanya perlu menelepon dokter untuk datang kesini. Itu hal mudah, Sayang!” Evan menggendikan bahunya saat garpu dan sendok berada pada kedua tangannya, senyuman lembut masih ditarik. 

Aisha kembali mengoleskan selai pada dua tangkup roti bersama perasaan menggebu, ingin membakar Evan hidup-hidup andai hukum tidak berlaku di negara ini karena tidak pernah ada cinta di hatinya. Dulu, Adhitia menjodohkannya dengan Evan karena ayah pria jahat ini adalah sahabat ayahnya sekalian rekan bisnisnya, tetapi tanpa terduga jika orang yang dianggap baik dan dapat menjaga Aisha justru menjadi boomerang paling berbahaya. 

“Silakan,” sodor Aisha pada Evan setelah suaminya menghabiskan steak sapi yang dipanggang setengah matang. Ini adalah salah satu sarapan favorit Evan yang membuat Aisha mual. 

Evan menerima sodoran roti dalam piring berukuran kecil, sedikit susu kental ditambahkan sebagai toping diatasnya. Lagi-lagi selera Evan membuat Aisha mual karena selai sudah sangat manis, tetapi Evan kembali menambahkan perasa manis. Namun, hal itu juga menjadi kesempatan wanita ini untuk menyumpahi suaminya. ‘Aku harap kamu segera terkena diabetes dan bakteri dari daging sapi yang dipanggang setengah matang!’ 

Evan menikmati sarapannya bersama dengan irisan buah-buahan yang lagi-lagi disodorkan Asiha, lalu meminum segelas jus segar yang diblender di hadapannya karena Evan selalu memastikan kualitas buah sebelum bersedia meneguknya. 

“Terimakasih atas semua hidangannya, Sayang.” Senyuman dipasang, kemudian mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan yang setiap harinya diganti oleh Aisha. 

“Semuanya hidangan terbaik. Aku selalu memerintahkan bibi membeli bahan makanan terbaik, lalu dimasak dengan benar untuk menyediakan semua menu kesukaanmu,” tutur Aisha sebagai informasi pada Evan karena uang belanja adalah salah satu hal penting yang harus didengar pria itu. Intinya, pengeluaran tidak boleh melebihi jatah yang diberikannya, tetapi pria ini selalu menginginkan kualitas terbaik. 

“Itu sangat bagus. Kamu memang istri terbaik,” pujian Evan, tetapi di ruang dengar Aisha itu sama sekali bukan pujian karena selama ini Evan hanya mementingkan dirinya sendiri, mengurus dirinya sendiri serta mengabulkan semua kehendaknya. Di sini dirinya adalah raja, sedangkan Aisha hanya seperti alat pemuas nafsu sekalian asisten pribadi.

Beberapa jam berlalu, Ansel dan Alea berkumpul di rumah sewa bersama Ocean. Senyuman mengembang di wajah keduanya karena kehadiran Ocean adalah pencair penderitaan mereka. Di tengah-tengah kebahagiaan ini Ansel mulai menanyakan rencana istrinya, “Jadi kamu akan berbisnis apa, Sayang?”

“Aku belum sempat memikirkannya.”

“Ya sudah, aku akan mencari-cari informasi terlebih dahulu. Mungkin saja ada orang yang mau berbaik hati memberikan ide,” kekeh Ansel yang juga sangat tabu pada bisnis kecil-kecilan di rumah karena selama ini dirinya hanya mengenal bisnis besar.

“Ya.” Senyuman manis Alea yang juga tidak mengenal bisnis apapun. Dirinya hidup berkecukupan selama di panti asuhan dengan satu-satunya pekerjaan adalah membantu ibu panti mengasuh adik-adiknya. 

Setelah pernikahannya dengan Ansel, Alea sempat berkomunikasi dengan ibu pengasuhnya dulu, tetapi semenjak hanphonenya dijual, wanita ini lebih membatasi dirinya dengan semua orang di panti asuhan tempatnya dibesarkan karena dia tidak ingin orang-orang yang pernah mengurusnya tahu jika kini hidupnya mulai dari nol. 

Ansel dan Alea adalah pasangan harmonis, tidak pernah terjadi pertengkaran sedikit pun. Keduanya selalu mengumbar senyuman serta aura hangat nan penuh cinta seperti saat ini. Apalagi Ocean sudah mulai mengeluarkan suara khas bayi tiga bulan, itu terdengar sangat menggemaskan serta melengkapi kebahagiaan. 

Ansel menambahkan nama keluarganya dalam nama Ocean yaitu Ocean Dewananda Hirawan. Hirawan adalah nama panjang Adhitia. Ocean adalah pewaris seperti dirinya, maka Ansel tetap harus menyematkannya pada sang putra sebagai tanda keturunan Adhitia walaupun hidup mereka kini jauh dari kehidupan seorang pewaris. 

Dalam obrolan hangat ini, Alea teringat hal penting. “Ini tanggal muda, sudah saatnya kita membayar kontrakan. Kalau uangnya sudah ada, lebih baik segera diberikan sebelum bu Rina berkunjung.”

“Ah iya, hampir saja aku lupa,” kekeh kecil Ansel. “Gunakan uang pemberian dari Aisha untuk membayar kontrakan beberapa bulan ke depan agar kita bisa lebih relax. Apalagi kita sempat nunggak beberapa bulan, syukurnya bu Rina mau berbaik hati,” desah Ansel karena jika saja bukan wanita itu pemilik rumah sewa ini maka beberapa bulan yang lalu keluarga kecilnya akan menjadi penghuni kolong jembatan. 

Alea bangkit dari duduknya, meraih setumpuk uang yang disimpan di dalam lemari. “Apa lebih baik untuk lima sampai enam bulan ke depan? Menurutku masih ada sisa untuk membuat usaha kecil-kecilan.” Wanita ini meminta persetujuan suaminya sebagai salah satu rasa hormat. 

“Boleh, sayang. Uang dari Aisha memang cukup banyak, kamu atur-atur saja untuk kebutuhan kita.” Senyuman teduh Ansel, kemudian melanjutkan, “hari ini seharusnya aku gajian, tapi untuk bulan ini mungkin aku hanya akan menariknya sebagian saja, sisanya untuk ditabung. Bagaimana?” Pun, Ansel tidak semata-mata mengambil keputusan tanpa persetujuan istrinya.

“Aku akan mengatur pengeluaran kita, agar kita bisa menabung.” Senyuman manis Alea yang selalu mendukung langkah Ansel. 

Beberapa menit kemudian, Alea sudah duduk berhadapan dengan Rina-seorang pemilik rumah sewa yang tinggal di rumah cukup sederhana, jika dibandingkan ukurannya hanya tiga kali ukuran rumah sewa yang dihuni Ansel dan Alea. Wanita ini menyodorkan uang dalam amplop dengan sangat santun. “Bu, ini uang sewa kami untuk beberapa bulan ke depan.”

Rina memeriksa uang dalam amplop putih itu. “Banyak sekali, Nak. Memangnya kalian masih punya uang untuk makan? Jangan memaksakan diri jika memang tidak ada untuk sehari-hari.” Amplop kembali disodorkan pada Alea karena rasa peduli wanita ini pada keluarga itu sangat besar seolah Ansel dan Alea adalah anak dan menantunya. 

“Ada, Bu ... kebetulan kami mendapatkan rezeki tidak terduga, jadi kami memutuskan untuk melunasi uang sewa hingga beberapa bulan ke depan,” kekeh kecil Alea. 

“Syukurlah ....” Rina ikut berbahagia saat mendengar keadaan Ansel dan Alea yang mulai membaik. Tidak lama ibu muda ini berada di kediaman Rina karena dia akan berbelanja untuk makan siang hari ini. Jadi, Alea menuju warung terdekat. Dia adalah sosok yang ramah kepada semua orang yang dikenalnya walaupun beberapa dari mereka tidak terlalu ramah, sering sekali keluarga kecil Ansel menjadi bahan pergunjingan. 

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status