Evan berkata lembut saat berpamitan pada Aisha serta mertuanya, “Sayang, aku tidak bisa terlambat.”
Aisha segera menoleh ke arah suami jahatnya. “Aku akan menemani kamu sarapan,” ucap berat hatinya karena wanita ini harus kembali meninggalkan ayahnya. Lirikannya segera mengarah pada Adhitia sebelum berlalu. Tatapannya hanya diisi sendu.
Evan berjalan ke arah Adhitia yang terbaring, memasang wajah datar dengan senyuman kaku. “Evan minta maaf karena harus meminjam Aisha sebentar.”
Tatapan Adhitia menyimpan amarah besar pada menantu yang dipilihkannya untuk mendampingi Aisha, tetapi dirinya tidak dapat melakukan apapun, tidak dapat mengekspresikan amarah yang selalu membara di dadanya hingga jalan satu-satunya hanya membiarkan Evan berlalu membawa putrinya.
Di ruang makan, lagi, Evan mengungkapkan pesannya, “Ingat ya Sayang, kali ini kamu tidak bisa keluar rumah. Andai kamu memaksa sekali pun satpam tidak akan meloloskan kamu.” Senyuman lembutnya, tetapi itu adalah senyuman jahat di mata Aisha.
“Bagaimana jika papa butuh ke rumah sakit?” tanya Aisha dengan dengusan tipis untuk mengekspresikan secuil kekesalannya. Dengusannya sangat tipis dan singkat hingga Evan tidak menyadarinya.
“Bisa diatur. Kamu hanya perlu menelepon dokter untuk datang kesini. Itu hal mudah, Sayang!” Evan menggendikan bahunya saat garpu dan sendok berada pada kedua tangannya, senyuman lembut masih ditarik.
Aisha kembali mengoleskan selai pada dua tangkup roti bersama perasaan menggebu, ingin membakar Evan hidup-hidup andai hukum tidak berlaku di negara ini karena tidak pernah ada cinta di hatinya. Dulu, Adhitia menjodohkannya dengan Evan karena ayah pria jahat ini adalah sahabat ayahnya sekalian rekan bisnisnya, tetapi tanpa terduga jika orang yang dianggap baik dan dapat menjaga Aisha justru menjadi boomerang paling berbahaya.
“Silakan,” sodor Aisha pada Evan setelah suaminya menghabiskan steak sapi yang dipanggang setengah matang. Ini adalah salah satu sarapan favorit Evan yang membuat Aisha mual.
Evan menerima sodoran roti dalam piring berukuran kecil, sedikit susu kental ditambahkan sebagai toping diatasnya. Lagi-lagi selera Evan membuat Aisha mual karena selai sudah sangat manis, tetapi Evan kembali menambahkan perasa manis. Namun, hal itu juga menjadi kesempatan wanita ini untuk menyumpahi suaminya. ‘Aku harap kamu segera terkena diabetes dan bakteri dari daging sapi yang dipanggang setengah matang!’
Evan menikmati sarapannya bersama dengan irisan buah-buahan yang lagi-lagi disodorkan Asiha, lalu meminum segelas jus segar yang diblender di hadapannya karena Evan selalu memastikan kualitas buah sebelum bersedia meneguknya.
“Terimakasih atas semua hidangannya, Sayang.” Senyuman dipasang, kemudian mengelap bibirnya menggunakan sapu tangan yang setiap harinya diganti oleh Aisha.
“Semuanya hidangan terbaik. Aku selalu memerintahkan bibi membeli bahan makanan terbaik, lalu dimasak dengan benar untuk menyediakan semua menu kesukaanmu,” tutur Aisha sebagai informasi pada Evan karena uang belanja adalah salah satu hal penting yang harus didengar pria itu. Intinya, pengeluaran tidak boleh melebihi jatah yang diberikannya, tetapi pria ini selalu menginginkan kualitas terbaik.
“Itu sangat bagus. Kamu memang istri terbaik,” pujian Evan, tetapi di ruang dengar Aisha itu sama sekali bukan pujian karena selama ini Evan hanya mementingkan dirinya sendiri, mengurus dirinya sendiri serta mengabulkan semua kehendaknya. Di sini dirinya adalah raja, sedangkan Aisha hanya seperti alat pemuas nafsu sekalian asisten pribadi.
Beberapa jam berlalu, Ansel dan Alea berkumpul di rumah sewa bersama Ocean. Senyuman mengembang di wajah keduanya karena kehadiran Ocean adalah pencair penderitaan mereka. Di tengah-tengah kebahagiaan ini Ansel mulai menanyakan rencana istrinya, “Jadi kamu akan berbisnis apa, Sayang?”
“Aku belum sempat memikirkannya.”
“Ya sudah, aku akan mencari-cari informasi terlebih dahulu. Mungkin saja ada orang yang mau berbaik hati memberikan ide,” kekeh Ansel yang juga sangat tabu pada bisnis kecil-kecilan di rumah karena selama ini dirinya hanya mengenal bisnis besar.
“Ya.” Senyuman manis Alea yang juga tidak mengenal bisnis apapun. Dirinya hidup berkecukupan selama di panti asuhan dengan satu-satunya pekerjaan adalah membantu ibu panti mengasuh adik-adiknya.
Setelah pernikahannya dengan Ansel, Alea sempat berkomunikasi dengan ibu pengasuhnya dulu, tetapi semenjak hanphonenya dijual, wanita ini lebih membatasi dirinya dengan semua orang di panti asuhan tempatnya dibesarkan karena dia tidak ingin orang-orang yang pernah mengurusnya tahu jika kini hidupnya mulai dari nol.
Ansel dan Alea adalah pasangan harmonis, tidak pernah terjadi pertengkaran sedikit pun. Keduanya selalu mengumbar senyuman serta aura hangat nan penuh cinta seperti saat ini. Apalagi Ocean sudah mulai mengeluarkan suara khas bayi tiga bulan, itu terdengar sangat menggemaskan serta melengkapi kebahagiaan.
Ansel menambahkan nama keluarganya dalam nama Ocean yaitu Ocean Dewananda Hirawan. Hirawan adalah nama panjang Adhitia. Ocean adalah pewaris seperti dirinya, maka Ansel tetap harus menyematkannya pada sang putra sebagai tanda keturunan Adhitia walaupun hidup mereka kini jauh dari kehidupan seorang pewaris.
Dalam obrolan hangat ini, Alea teringat hal penting. “Ini tanggal muda, sudah saatnya kita membayar kontrakan. Kalau uangnya sudah ada, lebih baik segera diberikan sebelum bu Rina berkunjung.”
“Ah iya, hampir saja aku lupa,” kekeh kecil Ansel. “Gunakan uang pemberian dari Aisha untuk membayar kontrakan beberapa bulan ke depan agar kita bisa lebih relax. Apalagi kita sempat nunggak beberapa bulan, syukurnya bu Rina mau berbaik hati,” desah Ansel karena jika saja bukan wanita itu pemilik rumah sewa ini maka beberapa bulan yang lalu keluarga kecilnya akan menjadi penghuni kolong jembatan.
Alea bangkit dari duduknya, meraih setumpuk uang yang disimpan di dalam lemari. “Apa lebih baik untuk lima sampai enam bulan ke depan? Menurutku masih ada sisa untuk membuat usaha kecil-kecilan.” Wanita ini meminta persetujuan suaminya sebagai salah satu rasa hormat.
“Boleh, sayang. Uang dari Aisha memang cukup banyak, kamu atur-atur saja untuk kebutuhan kita.” Senyuman teduh Ansel, kemudian melanjutkan, “hari ini seharusnya aku gajian, tapi untuk bulan ini mungkin aku hanya akan menariknya sebagian saja, sisanya untuk ditabung. Bagaimana?” Pun, Ansel tidak semata-mata mengambil keputusan tanpa persetujuan istrinya.
“Aku akan mengatur pengeluaran kita, agar kita bisa menabung.” Senyuman manis Alea yang selalu mendukung langkah Ansel.
Beberapa menit kemudian, Alea sudah duduk berhadapan dengan Rina-seorang pemilik rumah sewa yang tinggal di rumah cukup sederhana, jika dibandingkan ukurannya hanya tiga kali ukuran rumah sewa yang dihuni Ansel dan Alea. Wanita ini menyodorkan uang dalam amplop dengan sangat santun. “Bu, ini uang sewa kami untuk beberapa bulan ke depan.”
Rina memeriksa uang dalam amplop putih itu. “Banyak sekali, Nak. Memangnya kalian masih punya uang untuk makan? Jangan memaksakan diri jika memang tidak ada untuk sehari-hari.” Amplop kembali disodorkan pada Alea karena rasa peduli wanita ini pada keluarga itu sangat besar seolah Ansel dan Alea adalah anak dan menantunya.
“Ada, Bu ... kebetulan kami mendapatkan rezeki tidak terduga, jadi kami memutuskan untuk melunasi uang sewa hingga beberapa bulan ke depan,” kekeh kecil Alea.
“Syukurlah ....” Rina ikut berbahagia saat mendengar keadaan Ansel dan Alea yang mulai membaik. Tidak lama ibu muda ini berada di kediaman Rina karena dia akan berbelanja untuk makan siang hari ini. Jadi, Alea menuju warung terdekat. Dia adalah sosok yang ramah kepada semua orang yang dikenalnya walaupun beberapa dari mereka tidak terlalu ramah, sering sekali keluarga kecil Ansel menjadi bahan pergunjingan.
Bersambung ....
“Cuma demi uang tidak seberapa tetangga saya sampai meninggalkan bayinya. Tega sekali, ibu yang sangat buruk!” celetuk salah satu ibu-ibu yang memang sudah terbiasa membicarakan kehidupan Ansel dan Alea yang serba kekurangan. Salah satu wanita menyahut, “Namanya juga ibu muda. Otaknya itu loh, masih labil!”Alea hanya menundukan wajahnya sekalian memilih bahan makanan dengan cepat. “Bu, saya ambil ini.” Ramahnya pada pemilik warung yang tampak sumringah karena kali ini Alea berbelanja cukup banyak, berbeda dari biasanya. “Untuk stok ya, Neng,” kekeh ramah wanita ini. “Iya Bu, biar tidak sering bulak-balik ke warung.” Senyuman kecil Alea yang selalu bersikap ramah. Namun, dua pasang mata memerhatikan.“Sudah gajian ya, Neng!” Tatapan wanita ini memicing seolah mencibir. Sebelum Alea memberikan jawaban, wanita satunya nyeletuk, “Wajar Bu ... toh yang bekerja suami dan istri, pasti mereka banyak uang di tanggal muda.” Tawa mencibirnya. Saat ini Alea kembali tersenyum kecil, kemudian
Pada pagi harinya Ansel meninggalkan gedung yang dijaganya. Maka, setiap harinya Ansel dan Evan tidak pernah berpapasan karena andaipun Evan mengunjungi gedung, selalu di jam-jam bisnisnya. Hal ini membuat Ansel sedikit tenang, setidaknya dia tidak perlu bertemu dengan manusia keji sejenis Evan.Ansel tidak pernah membawa kendaraan apapun karena memang tidak satu pun kendaraan di rumah Adhitia yang dibawanya, begitupun dengan kendaraan yang dibelinya sendiri, semua jatuh ke tangan Evan. Bus atau angkutan umum adalah alat transfortasinya setiap hari. Terkadang, jalanan macet membuatnya mengantuk seperti pagi ini. ‘Astaga, aku lupa seharusnya mengambil uang dulu!’ Hatinya bermonolog di tengah kantuk yang melanda. Seragam satpam masih membalut tubuhnya tanpa hoddy atau apapun yang menutupinya, tetapi justru pakaian hitam ini selalu membuatnya terlihat lebih gagah hingga tidak sedikit para gadis ataupun wanita dewasa yang mengaguminya. Apalagi keseharian Ansel menggunakan angkutan umum,
Satu jam kemudian, Alea membiarkan Ansel beristirahat. Dia ingin memberikan waktu tidur lebih lama pada suaminya. Jadi, wanita ini bergegas mengajak Ocean keluar dari rumah tentunya dengan sangat berhati-hati supaya tidak berpapasan dengan Rima. “Apa Rima masih berada di daerah sini?” Ini adalah satu-satunya pertanyaan yang diukir di hatinya. Halaman mulai ditinggalkan, Alea menyusuri jalanan sempit meninggalkan area rumah sewa milik Rina hingga berakhir di lapangan luas. “Aku harus bersembunyi. Tempat ini terlalu terbuka,” cemasnya. Maka, sebuah warung dipilihnya, tentunya dengan jarak cukup jauh dari rumah sewa. Namun, tidak lama Alea duduk di sini Rina menyapa, “Eh, ada Ocean. Tumben di sini,” kekeh hangatnya, tetapi sikapnya membuat Alea terkesiap.“Bu ...,” sahut Alea dengan grogi. Rina segera duduk di bangku panjang di sisi Alea. “Suami kamu sudah pulang, Nak?” tanya lembutnya. “Sudah, Bu ..., Ansel sedang tidur jadi sengaja Alea bawa Ocean kesini.” Senyuman kakunya akibat p
Alea barusaja kembali tiga jam kemudian saat Ocean hendak dimandikan, Ansel masih terlelap sangat damai hingga tanpa sadar senyuman ditarik teduh. “Selamat tidur,” bisiknya.Setelah Ocen dimandikan, bayinya ikut terlelap bersama ayahnya. Saat ini Alea meraih handphone milik Ansel walaupun sebelumnya wanita ini tidak pernah melakukannya karena tidak ada seorang pun yang harus dihubungi. “Eh, ada Aisha?” Maka, pesan adik iparnya dibaca dengan saksama. “Malam ini ada pesta dan Evan akan menghadirinya. Aku tidak boleh lupa mengatakannya pada Ansel!” Wajahnya sedikit memucat karena ini adalah kabar menakutkan. [Ansel sedang tidur, akan aku sampaikan nanti. Aisha, bagaimana kabarmu?] Sebuah chat diluncurkan. Panggilan dari Aisha segera berdering. “Kak, jangan lupa ya. Aku takut kakak kenapa-kenapa kalau bertemu Evan!”“Kakak juga sangat khawatir.” Pun, Alea mengutarakan isi hatinya. “Bagaimana kabar kamu dan papa?” ulangnya dengan cemas.“Keadaan papa masih sama, Kak?” sendu Aisha, sedangk
Alea ternganga mendengar kalimat Ansel. “Kenapa? Harusnya kamu ambil libur saja, kamu bisa beralasan.” “Tidak. Aku harus menghadapi Evan, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang dan apakah dia masih berani menjatuhkanku di sana. Supervisor tahu aku adalah putra dari papa, salah satu pemasok berlian di sana.” Ansel berkata tegas.Saat ini ada banyak kekhawatiran yang ingin disampaikan Alea, tapi wanita ini juga tidak bisa melarang niat Ansel toh setidaknya suaminya pintar beladiri walaupun mungkin itu kurang efektif saat mengadapi Evan yang menyerangnya lewat kekuasaan. Puncak kepala Alea dibelai lembut bersama senyuman teduh. “Jangan khawatir, buang khawatir kamu, Sayang. Aku akan baik-baik saja malam ini dan aku akan pulang tepat waktu, aku janji.” Seharusnya janji Ansel menjadi obat ketegangan yang menyerang Alea, tetapi nyatanya tidak. Justru kekhawatiran semakin menjalar. Pada sore harinya Ansel membantu Alea memersiapkan usaha kecil-kecilan istrinya. Pria ini mendukung penuh lan
Evan dan Ansel berjabatan tangan formal. “Sudah lama kita tidak bertemu.” Sikap hangat Evan yang jelas adalah kepalsuan. Namun, Ansel meladeni penjilat di hadapannya ini, dia memasang sikap yang sama. “Aku sibuk.” Kalimat singkat Ansel dengan senyuman hambar. Saat ini tangannya saling menggapai bahu lawan bicaranya, tetapi Evan maupun Ansel saling meremas bahu alih-alih bersikap sebagaimana seorang ipar.“Aku tahu hidupmu berat,” kekeh Evan yang sebenarnya sangat puas, tetapi dibuat seolah sangat iba. Dia tidak pernah memberikan penjelasan apapun pada kolega jika Ansel hidup melarat, maka kalimatnya itu diungkapkan berdasarkan seragam satpam yang akhirnya diketahui semua orang di dalam pesta. “Ya, papa membuatku hidup dari nol. Itu sangat berat, tapi aku yakin akhirnya aku akan sukses seperti papa atau bahkan lebih dari papa.” Kalimat ini adalah sindiran untuk Evan walaupun terpaksa Ansel harus menggunakan ayahnya sebagai kambing hitam karena mereka berbicara di sekitar kolega.Evan
Ansel berdiri di halaman gedung pencakar langit milik Adhitia. Malam sangat dingin dan cukup sunyi, tetapi sinarnya sebagai seorang pewaris tidak redup sama sekali bahkan satpam segera memberikan penghormatan pada CEO yang selama ini dikenali mereka. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” ‘Ternyata Evan tidak mengganti satpam dengan antek-anteknya!’ Rasa puas mulai menjalar perlahan karena hal ini dapat mempermudah dirinya. “Ya. Aku ada urusan di dalam!” Wibawanya ditunjukan. “Silakan, Tuan.” Satpam menggiring Ansel menuju pintu utama gedung. Namun, rupanya kali ini pintu masuk diakses oleh sidik jari. “Di mana ID cart kalian?” Ansel segera menyadari jika dirinya tidak dapat masuk karena tidak ada akses sidik jari miliknya. “Tuan Evan sudah mengganti semua akses karyawan menggunakan sidik jari, Tuan,” penjelasan diberikan pria ini dengan cukup heran karena seharusnya sebagai pewaris tunggal, Ansel sudah memahami setruktur gedung. Sejenak, Ansel menggeram kesal, “Bu
Evan tidak melihat istrinya saat membuka pintu rumah, jadi pria ini mengira jika istrinya sedang berada di dalam kamar mertuanya, tetapi ternyata Adhitia masih sendiri di atas kursi roda yang menghadap pada sinar matahari pagi. Sengaja, Evan berjongkok di hadapan mertuanya yang tidak dapat melakukan gerakan apapun. “Apa penyakit Papa bertambah parah, hm ...? Papa terlihat seperti bayi yang barusaja lahir, tidak dapat melakukan apapun.” Caranya menatap Adhitia memang lembut, tetapi senyuman sarkasme menemani raut wajahnya.“Di mana Aisha, apa putri Papa sudah bosan menemani Papa karena ternyata orangtua yang tersisa tidak memiliki kemajuan apapun. Mengenaskan sama sekali.” Evan menggelengkan kepalanya bersama tawa sarkasmenya walaupun hanya menggunakan volume kecil, tetapi sudut matanya seolah ingin membunuh Adhitia saat ini juga.‘Evan bisa membunuhku kapan saja, tapi bukan itu yang aku khawatirkan. Aku takut Evan mengincar Ansel dan Aisha!’ Kata hati Adhitia yang sangat ingin diungka