Brandon mengatur napas, saat tiba di dekat pintu masuk ruang berkabung. Dia membungkuk sejenak, kemudian menegakkan badan lagi. Ekor matanya kemudian menangkap sosok sang Ibu yang telah berada di luar ruangan berkabung.
"Ibu! Apakah udah selesai berdoa untuk Oma?" tanyanya begitu menghampiri Camilia.
"Astaga, Sayang ... bikin Ibu kaget aja." Camilia tersentak sejenak dan menjawab pertanyaan sang anak.
"Sudah menjelang petang, sebaiknya Ibu menginap di rumah Ayah," ujar Brandon kepada ibunya yang tampak resah menoleh ke sana ke mari, sembari memandang langit yang mulai tampak gelap.
"Sebaiknya lekas masuk ke dalam, temani ayahmu! Ibu akan pulang sebelum ketinggalan kereta terakhir di stasiun!" seru Camilia sembari mengelus pundak anak semata wayangnya itu.
"Tunggu sebentar, Bu! Aku akan memberitahu Ibu sesuatu lagi!" pinta Brandon, sebelum ibunya berlalu.
<Brandon mengurung diri di kamar hingga menjelang malam. Dia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan ayahnya. Pikiran bocah lelaki berusia 12 tahun itu begitu kalut. Satu sisi, ia memikirkan keadaan ibunya yang gawat dan sisi yang lain, sang ayah justru mengharapkan dirinya melupakan ibunya.Bocah lelaki itu turun dari ranjang dan melangkah menuju sisi jendela. Dia mengamati keadaan di luar rumah dari kamarnya. Suasana tampak sepi dan batinnya memang mengharapkan hal itu.Dia lantas meraih tas dan membuka lemari pakaian miliknya yang berada di sudut kamar. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu sigap memasukkan beberapa helai pakaian. Kemudian, ia melangkah perlahan keluar kamar, menyusuri anak tangga dengan mengendap-endap.Brandon berhasil keluar rumah tanpa sepengetahuan siapapun. Kini, ia bersembunyi di balik dinding teras untuk mengamati jalanan di samping halaman arah ke gerbang rumah mewah tersebut. Dia te
Brandon segera bangkit dari jongkok, kemudian berlari menyusuri jalan menuju sumber suara. Sedangkan Emily dan Jason juga terus mengikuti arah melangkah anak dari Camilia tersebut. Brandon tiba di depan rumah yang tampak rusak dengan napas tersengal-sengal.Rengekan sang Ibu yang tadi terdengar samar di telinga Brandon, kini menghilang. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu lantas merangsek ke rumah yang tampak tidak berpenghuni itu. Nahas, sang ibu tidak berada di tempat itu.Tubuh bocah lelaki berusia 12 tahun itu kemudian luruh begitu saja di lantai yang masih berupa tanah. Dia berulangkali berteriak meratapi nasib ibunya. Sedangkan Emily dan Jason yang berdiri di belakangnya, hanya mampu terpaku dan membisu.Setelah beberapa lamanya menangis, Brandon lantas bangkit. Dia menyusuri ruang demi ruang yang tampak gelap di dalam bangunan rumah tak terawat itu. Nihil, tak ada jejak ibunya yang tertinggal di sana.
"Hei, apa yang membuatmu mengajak Jason pergi dari rumah? Dasar anak tak tau diri!" bentak Nyonya Agatha begitu berada di dekat Brandon."Aku tidak mengajaknya, Ma. Jason sendiri yang ingin ikut bersamaku!" sahut Brandon mencoba membela diri."Ibumu yang menyuruh mencuri perhiasan dan sejumlah uang untuk diberikan padanya. Ibumu sekarang kekurangan uang hingga menyuruhmu untuk mencuri dan mengantarkannya ke sana? Iya?" Nyonya Agatha berteriak, menuduh Brandon mencuri perhiasan dan sejumlah uang miliknya."Apa?! Aku tidak mencurinya, Mama. Aku tidak akan melakukan hal memalukan seperti itu. Ibuku tidak pernah mengajarkannya kepadaku!" bela bocah lelaki berusia 12 tahun itu."Apa yang kamu katakan? Kamu tidak mencurinya? Sebelum kamu tinggal di rumah ini, tak ada kejadian seseorang berani membuka lemari untuk mencuri dompet dan perhiasanku di dalam kotak. Jadi, siapa lagi kalau bukan kamu?" Nyonya Agat
"Tuan, apakah benar anda yang menyuruh seseorang untuk menculik ibuku? Katakan, Tuan! Kenapa Tuan berbuat seperti itu terhadap ibuku? Apa salah dia?" teriak Brandon saat mencecar Tuan Reinhard."Seharusnya kamu bertanya, apakah ibumu baik-baik saja apa tidak!" sahut asisten pribadi kepercayaan Tuan Alfonso itu."Oke. Sekarang aku tanya, apakah ibuku baik-baik saja, Tuan?" tanya Brandon kemudian."Keselamatan ibumu tergantung pada dirimu. Percuma, Presiden Direktur berjanji akan mencarinya, karena semua aku yang mengendalikannya," kilah Tuan Reinhard membuat Brandon mengernyitkan dahi. Bocah lelaki berusia 12 tahun itu merasa bingung dengan ucapan asisten pribadi kepercayaan ayahnya itu."Apa yang harus aku lakukan, agar ibuku baik-baik saja, Tuan?""Ikuti perintahku! Pergilah dari sini! Jika kamu pergi dari sini, ibumu akan baik-baik saja." Tuan Reinhard mengancam anak dari Camil
Bocah lelaki yang menyandang tas itu terus berlari kencang. Dia terus saja menoleh ke segala arah untuk memastikan gerombolan preman itu. Brandon kemudian berhenti berlari saat berada di bangunan seperti pabrik. Dia kemudian memanjat pagar dan merangsek ke pabrik tersebut.Brandon terbengong ketika mendapati seorang lelaki yang usianya diperkirakan lebih dari setengah abad. Lelaki itu sedang memeriksa batang kayu berbagai jenis. Bocah lelaki itu rupanya memasuki sebuah gudang yang menimbun kayu."Jangan berdiri di situ! Cepatlah bersembunyi di sini! Aku akan menutup pintu gudangnya," ujar lelaki yang berada di gudang tersebut sambil melambaikan tangan.Brandon lantas mengikuti perintah lelaki yang terbilang tua itu. Bocah lelaki yang sedang mencari keberadaan ibunya tersebut, kemudian duduk di kursi meja kerja yang berada di sudut ruang gudang tersebut. Dia menunggu lelaki tua yang pantas dipanggilnya kakek yang sedang m
Brandon segera menghabiskan minumannya, kemudian meninggal satu lembar uang kertas kepada pemilik warung. Dia menghampirinya ayahnya Emily yang telah menyandar di tiang pinggir jalan. Lelaki tambun itu lantas ditanyai Brandon.Ayahnya Emily menjawab tiap pertanyaan Brandon meskipun dalam keadaan mabuk. Dia juga membisikkan suatu alamat kepada anak Camilia itu. Setelah mendapatkan informasi, Brandon segera kembali ke bedeng di proyek bangunan tempatnya bekerja.***Waktu berlalu dengan cepat. Brandon tumbuh menjadi pemuda yang emosional. Namun, begitu dia bisa menempatkan diri. Dia hanya akan berbuat kasar kepada orang-orang yang menyenggol harga dirinya atau memulai pertengkaran.Brandon telah mengumpulkan banyak informasi tentang siapa saja orang yang terlibat dalam penculikan ibunya. Satu-satunya orang yang paling dicari Brandon adalah seseorang yang mempunyai gambar naga di bagian lengan. Namun, a
Brandon berjalan terhuyung dengan darah yang menetes dari wajahnya. Sebelah tangannya memegangi perut. Anak lelaki Camilia itu berusaha sampai di tempat tujuannya, meskipun tubuhnya terasa tidak kuat lagi.Pandangan pemuda itu semakin kabur saat berjalan tertatih-tatih. Suasana jalanan yang tampak lengang, membuatnya susah meminta pertolongan. Tubuh kekarnya lantas terjatuh dan ia tidak sadarkan diri di depan sebuah rumah yang mirip sebuah kantor.***"Ibu! Benarkah ini Ibuku?" tanya Brandon begitu dirinya terjaga dari tidur."Ya jelas benar, aku ibumu," sahut Camilia sambil membaca sebuah majalah."Tapi, Ibu ... aku tadi melihatmu diculik oleh seseorang. Ibu dibawa lari entah ke mana. Aku takut, Ibu," rengek Brandon sambil mengucek matanya."Jangan bercanda, dari tadi Ibu ada di sini!" seru Camilia."Ibu! Aku takut. Ibu jangan perg
Brandon bangkit dari tersungkurnya, kemudian melawan lelaki bertubuh kekar itu lagi. Tak hanya adu fisik, anak Camilia yang niatnya merasa terhalangi terus saja menyerocos dengan nada emosional. Sang pemilik gudang pun tak terima dengan sikap Brandon yang ugal-ugalan."Keluar dari gudang ini segera!" teriak lelaki yang baru saja melayangkan bogem mentah ke arah Brandon."Aku tidak mau. Aku harus menemukan orang itu! Aku tadi melihatnya ada di sini!" bantah Brandon yang tidak merasa takut sedikitpun."Sudah kubilang, tidak ada orang yang kamu cari di sini. Keluarlah segera, jika tidak ingin aku menghajarmu lagi!" hardik orang itu lagi kepada anak Camilia tersebut."Aku tidak akan keluar dari sini sebelum menemukannya. Hayo siapa dari kalian yang mempunyai tato naga di lengan!" teriak Brandon lagi."Rupanya kamu ingin melawanku, ya? Oke!" Lelaki yang menghardik itu kemudian mengham