Share

BAB 2

Penulis: Adinda Shafa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-23 01:13:24

Langit senja membentang dengan semburat jingga yang perlahan memudar di balik cakrawala. Angin berembus pelan, menggoyangkan dedaunan dan membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi. Di halaman luas rumah gurunya, Azlan berdiri tegap, menatap cakrawala dengan mata yang penuh keteguhan. Hari ini adalah hari yang telah lama ia nantikan, hari yang sekaligus ingin ia tunda jika memungkinkan.

Di belakangnya, tujuh kakak seniornya berdiri berjajar, menatap punggungnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ada yang masih mencoba tersenyum, meskipun jelas ada kesedihan yang tertahan di sana. Selama bertahun-tahun, mereka bersama, berbagi suka dan duka dalam pelatihan yang keras dan tanpa ampun. Namun, sekarang, momen perpisahan akhirnya tiba.

"Jadi, kau benar-benar akan pergi?" suara lembut salah satu seniornya, Kirana, memecah keheningan.

Azlan menarik napas panjang sebelum berbalik. Matanya yang tajam menyapu wajah para seniornya satu per satu. Kirana, dengan rambut panjangnya yang terurai dan sorot mata penuh kebijaksanaan, adalah kakak senior yang paling ahli dalam pengobatan dan ilmu medis. Wajahnya selalu teduh, seakan membawa ketenangan bagi siapa pun yang berbicara dengannya.

Di sampingnya, Asha, senior dengan kekuatan fisik luar biasa, bersedekap dengan wajah datar, tetapi dari caranya menggigit bibir, Azlan tahu bahwa ia sedang menahan emosi. Ada Liona, yang terkenal dengan kecerdasannya dalam strategi dan bisnis, Reina yang memiliki keahlian seni bela diri paling tinggi di antara para seniornya, serta empat senior lainnya yang masing-masing memiliki keunikan dan kekuatan sendiri.

"Aku harus pergi. Ini adalah janji yang telah lama aku buat," jawab Azlan dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya, ia juga merasa berat meninggalkan tempat ini.

Liona melangkah maju dengan santai dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari saku jaketnya. Ia menyodorkannya ke Azlan dengan ekspresi santai, tetapi nadanya serius.

"Kartu ini adalah kartu akses ke rekening platinum. Hanya ada lima orang di dunia ini yang memilikinya, dan aku salah satunya," katanya. "Jika suatu hari kau dalam kesulitan, gunakan saja."

Azlan menatap kartu itu sejenak sebelum menerimanya. "Aku menghargainya, tapi—"

"Kau tidak bisa menolak," potong Asha dengan nada tegas. "Kami semua sudah sepakat untuk memberikan sesuatu padamu sebelum kau pergi."

Reina melangkah maju dan menyerahkan sebuah cincin emas dengan ukiran naga hitam. "Ini juga untukmu. Simbol komunitas tertinggi yang berisi para pemilik kekayaan, mafia, dan pemegang kekuasaan. Siapa pun yang melihatmu memakai cincin ini akan mengerti siapa dirimu."

Azlan menatap cincin itu lama sebelum menerimanya dengan anggukan kecil.

Satu per satu, para seniornya menyerahkan sesuatu kepadanya. Ada yang memberikan pedang pusaka dengan ukiran khas keluarga mereka, ada yang memberikan akses ke jaringan informasi rahasia, bahkan ada yang memberinya jimat perlindungan khusus yang konon telah diberkati oleh para sesepuh.

"Ini dariku," ujar Kirana, menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan berwarna biru kristal. "Ini adalah ramuan penyembuh terbaik yang pernah dibuat. Bahkan luka yang hampir tak tersembuhkan pun bisa pulih dalam hitungan menit."

Azlan menerimanya dengan rasa syukur. Kirana selalu dikenal sebagai yang paling perhatian di antara mereka.

Salah satu senior lainnya, Suri, melangkah maju dan memberikan sebuah gulungan kecil. "Di dalamnya ada nama-nama orang yang bisa kau percayai di luar sana. Dunia tidak sebaik yang kau pikirkan, dan orang-orang yang terlihat baik belum tentu tulus. Jika suatu hari kau berada dalam masalah dan butuh bantuan, cari salah satu dari mereka."

Azlan mengambil gulungan itu dengan hati-hati. Ia tahu bahwa setiap hadiah ini bukan hanya sekadar benda, tetapi juga simbol kasih sayang dan harapan dari para seniornya.

Setelah menerima semua pemberian itu, Azlan menatap mereka dengan penuh rasa hormat. "Aku tidak akan melupakan ini. Suatu hari nanti, aku pasti kembali."

Tak ada yang berbicara untuk beberapa saat. Hanya angin yang berhembus lembut di antara mereka. Lalu, dengan langkah pelan namun mantap, Azlan berbalik dan mulai berjalan menjauh.

Para seniornya hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, dengan perasaan bercampur aduk. Mereka tahu bahwa perpisahan ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan dengan demikian, perjalanan Azlan untuk menemukan kebenaran dan menghadapi masa lalunya pun dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 36

    Azlan menatap sosok pria berjubah hitam yang kini berdiri tegak dengan ekspresi datar. Meskipun pertempuran sudah berhenti, udara masih terasa tegang, seolah-olah hanya butuh satu percikan kecil untuk kembali meledakkan situasi.Reina dan Kirana tetap di tempat mereka, tidak ingin mengganggu percakapan antara Guru dan pria misterius itu.Azlan menarik napas dalam, mencoba meredakan detak jantungnya yang masih berpacu akibat pertarungan tadi."Aku tidak paham," akhirnya Azlan berkata. "Siapa sebenarnya dia? Dan apa maksudnya tentang gerbang terakhir?"Guru tidak segera menjawab. Ia menatap pria berjubah hitam itu dengan pandangan penuh pertimbangan."Aku adalah penjaga gerbang," pria itu akhirnya berbicara, suaranya masih memiliki gema aneh seperti sebelumnya. "Tugas utamaku bukan untuk melawanmu, Azlan, melainkan memastikan bahwa hanya orang yang layak yang bisa melewati tahap ini."Azlan mengerutkan kening. "Tahap?""Benar," pria itu mengangguk. "Kau mungkin belum sadar sepenuhnya, t

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 35

    Suara langkah kaki itu terdengar begitu berat, bergema di sepanjang lorong gelap yang kini mulai dipenuhi retakan dan debu beterbangan. Azlan menegakkan tubuhnya, tatapannya tajam mengarah ke sosok yang kini muncul dari kegelapan.Reina dan Kirana menahan napas. Bahkan sosok berjubah putih yang selama ini terlihat tenang, kini menggenggam tongkatnya lebih erat.Dari balik bayangan yang semakin pekat, sesosok pria muncul. Tubuhnya tinggi, balutan jubah hitam berkibar pelan mengikuti hembusan angin yang tiba-tiba bertiup dari arah lorong. Wajahnya setengah tertutup tudung, namun sorot matanya tajam seperti pisau.Namun yang paling mengerikan bukanlah penampilannya.Tetapi auranya.Gelombang energi hitam menyelimuti tubuhnya, menekan udara sekitarnya seperti pusaran badai yang siap menelan segalanya.Azlan menghela napas. Entah kenapa, ia merasa pria ini bukan orang biasa.“Jadi, kau akhirnya menyadari siapa dirimu?” suara pria itu terdengar dalam dan menggema, seolah berasal dari dua ar

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 34

    Azlan berdiri diam di depan patung besar yang menyerupai ayahnya. Matanya menelusuri setiap ukiran pada patung itu, mencoba memahami pesan yang tersirat. Sosok berjubah putih di sampingnya menatapnya dengan tenang."Jawabannya tidak ada di tempat ini… tetapi di dalam dirimu sendiri."Kata-kata itu masih menggema di benaknya. Apa maksudnya? Bagaimana mungkin kunci terakhir untuk menjaga segel itu ada dalam dirinya?Reina melangkah maju, menyentuh bahu Azlan. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”Azlan menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi jika kata-kata orang ini benar, maka aku harus mencari tahu lebih dalam tentang kekuatanku.”Kirana yang sejak tadi diam, tiba-tiba bersuara. “Mungkin kita harus melihat lebih dalam ke dalam ingatanmu. Ada teknik yang diajarkan guruku… sebuah cara untuk membuka ingatan tersembunyi.”Sosok berjubah putih itu menoleh ke Kirana, matanya berbinar seolah menyetujui. “Itu bisa berhasil. Tetapi metode itu berisiko. Jika kau tidak cukup kuat, kau bi

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 33

    Tangga batu yang mereka turuni semakin menyesakkan udara di sekitar. Dindingnya dipenuhi ukiran kuno yang tampak bercerita, seakan menyimpan rahasia yang telah terkubur selama berabad-abad.Azlan melangkah lebih dulu, diikuti Kirana dan Reina yang tetap waspada. Cahaya obor yang mereka bawa hanya mampu menerangi beberapa meter ke depan, sementara sisanya tertelan dalam kegelapan yang pekat.“Tempat ini… seperti makam,” gumam Reina sambil menyentuh salah satu ukiran di dinding.Kirana mengangguk. “Tapi ini bukan makam biasa. Lihat simbol-simbolnya, ini mirip dengan yang ada di kitab kuno yang pernah diajarkan guru.”Azlan memperhatikan dengan saksama. Simbol yang terukir bukan hanya sekadar hiasan, tetapi juga tulisan kuno yang tampaknya menjadi bagian dari mantra perlindungan.“Aku merasa seperti sedang diawasi,” bisik Kirana.Azlan tidak menjawab, tetapi ia juga merasakan hal yang sama.Mereka terus berjalan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan besar. Atapnya tinggi dengan pilar-pi

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 32

    Angin malam berhembus dingin di desa tersembunyi itu. Azlan masih duduk diam di dalam rumah lelaki tua yang baru saja mengungkapkan sebagian kebenaran tentang garis keturunannya.Kirana dan Reina duduk tak jauh darinya, sama-sama mencerna informasi yang baru mereka dapatkan."Kau baik-baik saja?" tanya Reina akhirnya, memecah keheningan.Azlan mengangkat kepalanya. "Aku hanya... merasa ada sesuatu yang belum terungkap sepenuhnya."Lelaki tua itu mengangguk. "Kau benar. Apa yang kukatakan barusan hanyalah permulaan. Jika kau ingin mengetahui seluruh kebenaran, kau harus mencarinya sendiri."Azlan menghela napas. "Dan aku yakin perjalanan itu tidak akan mudah."Lelaki tua itu tersenyum samar. "Tidak ada perjalanan menuju kebenaran yang mudah, Azlan. Tapi kau tidak akan berjalan sendirian."Azlan melirik Kirana dan Reina. Mereka berdua mengangguk mantap."Aku sudah ikut sejauh ini, aku tidak akan berhenti sekarang," kata Kirana.Reina menambahkan, "Lagipula, perjalanan ini juga berhubung

  • Pewaris Yang Tersembunyi   Bab 31

    Azlan menarik napas panjang, menatap jasad lelaki yang baru saja dihabisi oleh musuh yang tak terlihat. Ini bukan pertama kalinya seseorang mencoba membungkam orang yang bisa memberinya informasi. Tetapi satu hal yang pasti—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar perburuan terhadapnya.Ia merasakan Kirana dan Reina mendekat, wajah mereka masih tegang setelah pertempuran singkat tadi."Kita tidak bisa tinggal di sini lebih lama," kata Reina. "Mereka sudah tahu lokasi kita."Azlan mengangguk. "Kita berangkat sekarang."Tanpa membuang waktu, mereka segera meninggalkan tempat itu.Di perjalananAzlan, Kirana, dan Reina melangkah cepat menyusuri hutan lebat yang diterangi cahaya bulan. Mereka berjalan dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri."Azlan," kata Kirana tiba-tiba.Azlan menoleh."Kau sadar, kan? Mereka menyebutmu pewaris sesuatu yang tidak seharusnya ada," lanjutnya. "Apa menurutmu ini ada hubungannya dengan masa lalumu?"Azlan terdiam sejenak. "Mungkin.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status