Aku mendelik tajam menatap si ikan mas, lalu berbicara melalui telepati, "Hei, Raka apa yang kau rencanakan?" Ikan mas tukang modus itu malah berenang dengan berbagai gaya. Bawang Putih kegirangan melihatnya. Sementara Tabib Dharma dan Danar melongo dibuatnya, mungkin tak menyangka akan ada ikan mas seaneh itu. Aku menatap Raka lebih tajam. "Jawab, Raka! Atau kau mau kujadikan ikan bakar, hah?" ancamku melalui telepati. Suara Raka mendadak menggema dalam pikiran. “Dua saingan berat muncul. Aku akan mengawasimu, Sayang.” “Rakaaa!” “Mbakyu, kenapa? Kenapa marah pada Raka?” Mata Bawang Putih berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Putih. Tadi ada semut yang menggigit tangan Mbakyu, jadi kaget dan berteriak.” Syukurlah, Bawang Putih percaya. Aku melotot lqgi pada Raka di dalam gentong. Ikan mas tukang modus itu membuka tutup mulutnya, membuatku seketika ingin memasak ikan bakar. Beruntung, Bawang Putih segera mengamankan gentong berisi Raka ke samping rumah. Ibu juga keluar dari dapur dan m
“Raka, Mbakyu .... Raka tidak bergerak. Lakukan sesuatu Mbakyu huhuhu ....” Aku melepaskan cengkraman Danar dan menghampiri Bawang Putih. Benar ucapannya, ikan mas tampak terapung dengan tubuh terbalik. Raka cengengesan saat dipelototi. “Ya sudah sini gentongnya!” Aku pun mengambil alih gentong dari pelukan Bawang Putih, lalu bergegas ke luar kedai. Tentu saja, Raka juga ikut diseret. Sempat terlihat wajah merah padam Danar. Sementara Dharma memasang raut wajah yang semakin muram. Masa bodoh dengan mereka! Urusan ikan mas ini harus diselesaikan lebih dulu. “Cepat balik ke tubuh ikan mas!” perintahku. “Aku tidak tahan melihat mereka cari perhatian kamu. Aku menyesal, tahu begini, tidak akan aku–” Aku mendelik. “Tidak akan apa?” “Tidak ada apa-apa.” Aku menatap lekat. Raka mengalihkan pandangan, lalu tiba-tiba menghilang. Ikan mas dalam gentong sudah sehat kembali dan berenang-renang dengan riang. Dasar curang! Huh, ya sudahlah! Nanti kuinterogasi lagi. Aku membawa gentong
Tepukan pelan di pipi membuatku membuka mata perlahan. Pandangan sempat buram sebelum terlihat wajah tampan sekaligus cantik tengah tersenyum manis. Aku hampir tak sadarkan diri lagi. “Tunggu, Sayang, jangan pingsan dulu! Aku bisa jelaskan!” Kenapa jadi seperti adegan di drama perselingkuhan? Aku mengerjap berkali-kali. Sosok Raka masih ada di hadapan. Mata menelusuri setiap inci tubuhnya, bukan mesum, tapi hendak memastikan tidak ada bekas gigitan. “Ikan mas itu memang sudah mati, tapi kutukanku sudah terlepas,” jelasnya seolah mengerti pikiranku. Ralat, dia memang bisa membaca pikiran. “Kutukannya lepas?” “Kamu masih ingat waktu kubilang, kutukannya akan lepas jika dicium gadis yang tulus?” Aku mengangguk, berpikir sejenak dan refleks menepuk kening. “Ciuman Bawang Putih!” “Tepat sekali.” Raka pun menjelaskan kronologis kejadiannya. Saat Bawang Putih mencium ikan mas kemarin, kutukannya langsung terlepas. Namun, dia ingin berbuat jail padaku sehingga masih merasuki si ikan
Badai semalam telah berlalu. Aroma rumput basah terasa menyegarkan. Aku mengajak Bawang Putih keluar. Banyak yang harus diperiksa di toko. Simplisia-simplisia di sana mungkin saja menjadi basah. Kami akan menjemurnya untuk mencegah tumbuhnya jamur. “Mbakyu, lihat itu!” Bawang Putih berseru heboh saat membuka pintu. “Ada apa, Putih?” “Ada tanaman yang indah sekali di bekas kuburan Raka.” Aku langsung keluar. Ceritanya mulai berjalan normal lagi. Kuburan ikan mas akan menumbuhkan tanaman emas. Aneh juga, padahal, Raka sudah terlepas dari kutukan. Kami pun mendekati tanaman dan berjongkok mengamati. Benar saja, tanaman jenis perdu ini berdaun emas. Mata menjadi silau dibuatnya. “Ini mungkin hadiah dari Raka untuk kita. Raka ....” Bawang Putih kembali menangis. “Sudah, Bawang Putih. Aku yakin Raka lebih suka melihat temannya tersenyum.” Bawang Putih menyeka kasar air mata di pipi, juga menyedot ingus yang sempat melorot. Senyuman manis tersungging di bibirnya. Aku mengusap rambut
Kami semua menahan napas. Aku sedikit khawatir karena Bawang Putih tampak mengerahkan tenaga. Padahal, seingatku, dia seharusnya bisa mencabutnya dengan mudah. Buuuk! Baru saja dipikirkan, malah kejadian. Bawang Putih terjungkal ke belakang. Jariknya menjadi kotor karena terduduk di tanah. Tanaman emas telah berhasil dicabut. Aku menghampirinya bersama Raka yang masih tembus pandang. Sementara itu, Bawang Putih tampak menatap tak percaya pada tanaman emas di tangannya. Kami semua sempat terjebak hening hingga aku mengulurkan tangan untuk membantu berdiri. Bawang Putih berhasil berdiri meskipun sedikit oleng. Dia membersihkan tanah yang menempel di jarik. Sementara itu, Pangeran Arya mendekat dengan tatapan khawatir. Bawang Putih tersenyum lebar, seolah mengatakan dirinya baik-baik saja, lalu menyerahkan tanaman emas. Obat langka itu pun berpindah tangan. “Terima kasih, Dinda Bawang Putih. Istana akan menghadiahkan seratus kantung uang emas.” Telingaku seketika berdiri. Mata ka
Akhirnya, kuda-kuda yang kami tunggangi memasuki halaman istana. Aku sudah membayangkan tempat duduk empuk. Pinggang sudah terasa hampir patah. Perjalanan berjam-jam tentu sangat mengurus energi bagi seorang gadis remaja, kecuali Bawang Putih. Dia tetap terlihat prima. Kami pun turun dari kuda, lalu memasuki pendopo istana. Pangeran Arya memimpin, diikuti Danar. Sementara Dharma sengaja melambatkan jalannya agar bisa bersisian denganku dan Bawang Putih, membuat Raka terus mendecakkan lidahnya. “Kangmas Arya sudah pulang!” Sosok cantik bertubuh semampai mendekap erat Pangeran Arya. Garis wajah dan gerak-geriknya menunjukkan keanggunan seorang bangsawan. Pakaian pun jauh berbeda dengan kami. Kemben dan jarik yang dikenakan dari bahan berkualitas tinggi. Wajah Bawang Putih seketika berubah muram. Aku dengan sigap merengkuh bahunya. Kenapa tidak pernah terpikirkan sebelumnya? Bukankah di zaman ini lumrah saja seorang pangeran atau raja beristri banyak? Pangeran Arya terkekeh. “Dinda
Entah sudah berapa kali aku menelan ludah. Wajah cantik di hadapan masih dihiasi senyum. Senyuman menyimpan duri. Lantai yang kududuki terasa panas membara. Sementara Putri Sekar Ayu duduk anggun di ranjang berukiran bunga. “Tidak menyangka ada tabib kampung yang begitu cantik seperti Anda.” Kata “kampung” dalam tutur bahasa halus jauh lebih menohok, seolah tidak menyinggung, tetapi menegaskan perbedaan status sosial. Lirikan sinis sang putri terasa menghunjam. Raka yang berdiri di sebelahku mulai menunjukkan gelagat dongkol. Gurat-gurat kekesalan tersaput samar di wajahnya. Putri Sekar Ayu menyeruput wedang di meja sebelum melanjutkan ucapannya. “Tapi, cantik tidak akan ada gunanya kalau tidak memiliki tatakrama.” Tangan Raka terkepal. Aku memberi isyarat agar bersikap tenang. Tidak lucu, jika dia sampai meluluhlantakkan istana dengan kekuatan ajaibnya. Cerita ini sudah kacau, jangan sampai semakin tidak jelas. “Itu benar, Tuan Putri. Tata krama memanglah sangat penting,” sahutk
“Kenapa, Dinda? Apa kamu mencintai orang lain?” cecar Pangeran Arya. Mata elang menatap sendu gadis pujaan hati. Sementara itu, Bawang Putih menggeleng lemah. Tangannya sibuk memilin ujung kebaya. Aku menjadi gemas. Setelah terdiam dalam waktu lama, Bawang Putih akhirnya bergumam lesu, “Apakah saya pantas untuk Yang Mulia." Dia tampak menggigit bibir dan mengepalkan tangan. "Lagi pula saya ... tidak mau berpisah dengan ibu dan mbakyu.” Perasaanku bercampur aduk. Ada rasa haru karena kasih sayang Bawang Putih yang begitu besar, tapi juga takut Pangeran Arya akan murka. Untunglah, lelaki tampan itu malah tertawa. Pangeran Arya menepuk pelan bahu Bawang Putih. “Semua manusia itu sama, Bawang Putih. Kenapa cinta harus terhalang kasta? Sebenarnya, aku sangat ingin menghapuskan sistem itu,” tuturnya serius. Coba Tuan Putri Sekar Ayu memiliki seuprit saja kebaikan hati Pangeran Arya.“Soal ibu dan mbakyumu tentu mereka akan tinggal di sini juga setelah kita menikah,” tambah Pangeran Ary