Share

Chapter 4

Keesokan harinya, Erin merasa bersemangat sekaligus gamang di saat bersamaan. Saking semangatnya, Erin sampai membuat dua loyang pai untuk hari ini. Teman-temannya yang menjalani shift pagi bilang Alex tidak datang, berarti ia mungkin akan datang sore ini atau larut seperti semalam. Mengetahui itu, Erin merasa lega dan galau juga. Ia belum pernah merasa campur aduk seperti ini dalam waktu lama.

Erin mencoba mengalihkan perasaannya dengan bekerja. Mau bagaimana pun juga, ia tetap seorang barista handal yang sudah melayani banyak pembeli sejak jam kerjanya dimulai. Pelanggan berikutnya adalah seorang gadis berpenampilan trendi layaknya seorang selebgram. Erin menemui pelanggan seperti ia setiap hari karena Pi Coffee memang lebih populer di kalangan muda seperti gadis itu. Ia memesan kopi susu, menu paling populer di kedai ini serta seiris pai apel buatan Erin. Setelah membuat pesanannya, Erin memanggil nama gadis itu sesuai dengan yang tertera di gelas plastik kopi. “Kopi susu dan pai buat kak Amel!”

Amel yang menanti pesanannya di kursi tunggu menghampiri konter untuk mengambil kopi dan painya yang dibungkus dalam kantong kertas. “Makasih kak! Aku beli pai ini karena Alex, lho!”

Erin terkesiap. “Alex? Alex yang fotografer itu?”

Amel mengangguk. “Iya! Alex pernah motretin aku buat konten sosmed aku. Semalam aku lihat story dia mention pai dari kedai ini. Katanya enak banget, makanya aku mau coba.”

“Oh ya?” Erin tidak tahu harus menjawab apa. Ia sama sekali tidak menyangka satu story dari Alex bisa berdampak seperti ini pada penjualan painya. Sebelum Erin bisa merespons Amel, ia mendengar Hana menyebut pesanan berikutnya yang harus ia proses. Amel mengambil pesanannya sambil berterimakasih lagi pada Erin sebelum meninggalkan kedai.

Pesanan Erin berikutnya lagi-lagi meminta pai Erin. Kali ini painya dipesan dua iris. Walaupun masih teralihkan dengan nama Alex yang disebut barusan, Erin berusaha membuat pesanannya seteliti mungkin supaya ia tidak salah menakar kopi dan bahan lainnya yang harus dicampur ke dalam gelas. Kali ini yang memesan adalah seorang pria berpenampilan hipster bernama Edwin. Saat Erin menyajikan pesanannya di konter, Edwin bertanya padanya, “Ini pai yang dibilang sama Alex?”

“Iya,” jawab Erin dengan singkat karena masih belum tahu harus bereaksi apa.

“Gue jarang makan pai buatan kafe, tapi kalau Alex bilang enak gue bakal coba,” Edwin berkomentar.

“Lu follow Alex?” tanya Erin.

“Ya, dia fotografer yang sekarang lagi naik daun. Dia sering motretin selebgram sama brand-brand terkenal di sosmed. Thanks buat pesanannya, ya,” kata Edwin sebelum meninggalkan kedai.

Berikutnya, apa yang terjadi adalah pesanan pai Erin mulai membanjiri kedai. Setidaknya satu dari sepuluh pelanggan memesan pai Erin hingga painya tersisa setengah pada separuh jam kerjanya. Hana yang menjaga kasir akhirnya bisa bicara pada Erin saat antrean pelanggan sudah selesai dilayani. “Orang-orang yang beli pai lu kebanyakan pada nanyain mana pai yang diendorse sama Alex.”

“Hah? Mereka bilang pai gue diendorse Alex?” Mata Erin terbelalak kaget.

“Mereka sih mikirnya gitu.”

Erin paham kenapa para pelanggan mengira itu yang terjadi. Alex memang pernah beberapa kali mengunggah post atau story yang menyebut Pi Coffee, baik secara langsung mention akun kedai atau secara tidak langsung seperti menunjukkan gelas Pi Coffee di dalam fotonya. “Kayaknya Alex masih mikir yang bikin painya itu bukan gue sendiri.”

“Kalau gitu, kasih tahu dia dong.” Hana menyenggol lengan Erin. “Harusnya ini jadi pertanda baik kalau dia pasti bakal nerima lu baik-baik.”

Tidak lama kemudian, terdengar lagi pelanggan memasuki kedai. Seolah Tuhan setuju dengan pertanda baik yang dibilang Hana, pelanggan yang baru masuk adalah Alex. Mereka berdua tertegun sejenak melihat kedatangannya sebelum Hana menoleh ke arah Erin sambil berbisik, “Ya ampun, orangnya beneran dateng!”

Alex menanti untuk dilayani dengan senyuman kecil di depan kasir. Di kedai yang kecil, Erin dapat mendengar Alex memesan minuman dan pai seperti biasanya. Bahkan sebelum Hana menyebutkan pesanan Alex, Erin sudah menyiapkan semuanya. Inikah saatnya untuk berbicara lagi dengannya, pikir Erin.

Saat Alex menghampiri konter terima pesanan, apa yang ia pesan sudah Erin sediakan. Alex pun sadar pesanannya jadi dalam waktu cepat. “Wah, kenapa pesanan saya bisa jadi secepat ini?”

Sebelum Erin menjawab, Alex menatap Erin lalu berkata, “Hey, kamu yang semalam menyiapkan pesanan aku, bukan?”

Walaupun jantung Erin serasa ingin meloncat keluar, ia berusaha untuk menjawab dengan sikap biasa saja. “Oh iya! Kak Alex, ya?”

That’s my name,” Alex mengambil pesanannya. Lalu ia merogoh saku jaketnya untuk mengambil sejumlah uang yang kemudian ia taruh ke toples tip. “Terima kasih, ya. Pai kalian yang bikin aku jadi pelanggan setia kalian.”

Sekarang saatnya! Suara hati Erin menjerit. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, Erin akhirnya berkata pada Alex, “Kak Alex, sebenarnya yang buat pai itu aku sendiri.”

Walaupun hanya sepersekian detik, rasanya lama sekali menanti Alex untuk bereaksi. Erin tidak bisa menebak apa yang ia pikirkan sekarang. Ia hanya melihat wajah pria yang ia idamkan selama tiga bulan ini tersenyum. “Really? Your pie is amazing!”

“Y-ya, kak. Semalam kakak upload pai aku di sosmed kakak, makanya hari ini banyak yang beli. Untung kakak udah ke sini sebelum painya habis.”

Today I’m lucky, then,” gumam Alex seolah sambil memikirkan sesuatu. Erin mencoba untuk mencari apakah ada makna lain yang tersirat dari ucapannya barusan. “Apakah kamu menerima pesanan?”

“Ya, kak! Aku bisa terima pesanan kalau kakak mau!” Erin menyadari jawabannya terlalu keras karena hampir semua orang yang ada di kedai menoleh ke arahnya. Erin menunduk lalu meringis malu.

“Aku akan mengadakan acara tahun baru di apartemenku. Kalau bisa, aku mau pesan lima loyang pai dengan rasa berbeda-beda. Do you have a card?” 

“K-kartu?”

Your business card. Atau aku harus hubungi kedai ini saja untuk pembayaran?”

“Ngg, maaf kak, aku belum punya kartu nama,” jawab Erin dengan gelagapan. Ia menyesal karena dulu ia tidak mengikuti saran Alya untuk membuat kartu nama jika ada yang ingin memesan painya secara langsung. Kemudian, ia melihat Alex mengambil kartu namanya dari kantong tasnya. “Tolong hubungi aku untuk biaya yang harus aku bayar.”

Tangan Erin gemetaran menerima kartu itu. “Siap, kak. Kakak mau rasa apa aja?”

Up to you. Sepertinya aku sudah makan semua rasa pai yang sudah kamu buat. Semuanya enak buat aku,” jawab Alex. “By the way, aku masih belum tahu nama kamu. Seperti di kartu namaku, aku Alex.” Ia mengulurkan tangannya pada Erin.

Erin menyambutnya dengan segenap hati. “Namaku Erin.”

Thank you for your pies, Erin. They always make my day,” ujar Alex sebelum meninggalkan kedai.

Meski Alex sudah pergi, Erin masih menatap kartu nama di tangannya. Semua kontak Alex termasuk nomor ponselnya tertera di kartu tersebut. Setelah tiga bulan mengamati Alex dari jauh, akhirnya ia berani mengenalkan dirinya padanya. Tidak, justru Alex yang malah mengajaknya berkenalan.

“Aku baru tahu kamu bisa terima pesanan, Rin.” Hana menghampiri Erin.

“Aku emang nggak pernah terima pesanan sebelumnya!” Erin terhenyak panik. “Duh, gimana nih?”

Hana malah tertawa. “Saking saltingnya, ya?”

“Iya! Karena dia yang ngajak aku kenalan!” Erin terengah-engah. Ia berpegangan pada konter karena kakinya terasa lemas. “Ya ampun, apa aku bisa bikin lima loyang pai pas tahun baru nanti?”

“Pasti bisa! Kamu harus bisa!” Hana menyemangatinya. “Dari reaksi dia tadi, aku yakin dia pasti bakal suka banget sama kamu karena dia udah tahu kamu yang buat pai kesukaannya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status