Share

Chapter 3

Erin tidak dapat menahan senyum selama perjalanan pulang. Sambil mendengarkan lagunya PVRISsebuah band yang pernah Alex bilang di media sosial adalah salah satu band kesukaannyaia berterimakasih pada dirinya sendiri karena telah sanggup mengobrol dengan Alex. Entah ia dapat kekuatan dari mana untuk bisa melakukan hal itu. Erin bahkan belum sanggup mengunggah status di media sosial tentang pertemuannya dengan Alex tadi. Ia belum mau membagikan apa yang terjadi ke semua orang karena masih ingin menikmati salah pengalaman terbesarnya seumur hidup. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam momen yang ia alami barusan sambil diiringi suara vokalis bandnya yang Alex bilang hipnotis.

Erin tiba di apartemen yang ia tinggali bersama Alya sambil bersenandung kecil. Saat ia baru menutup pintu, ia mendengar Alya memanggil namanya dari dapur. Ketika Erin menghampiri Alya, sahabatnya sedang mengunyah pai sisa Erin yang tidak ia jual sambil menatap ponsel di tangannya. “Ciyee, ada yang abis dinotis gebetan.”

Erin terkesiap malu. “Kok lu udah tau? David cerita ke lu, ya?”

Alya menunjukkan ponselnya pada Erin. “Nggak, Alex yang ngasih tau. Coba lihat storynya Alex, deh.”

Erin merebut ponsel dari tangan Alya lalu melihat profil media sosial Alex di layar. Walaupun ia hanya perlu sekali ketukan untuk melihat story Alex, Erin menekannya dengan tidak sabar. Ia sudah melihat semua story Alex hari ini kecuali satu yang baru diunggah setengah jam lalu: foto kopi dan pai Erin yang ia beli barusan beserta pesan, “Terima kasih untuk @pi.coffee yang masih menerima aku walaupun kalian sudah close order. I always feel special every time you treat me with your hot brew! And their pies is the best one I have eaten since my return to Jakarta!”

“Jadi gimana?” tanya Alya. “Ceritain semuanya ke gue!”

Erin menatap layar ponsel dengan terkesima sebelum bergumam, “Dia bilang pai gue yang paling enak.” Ia menoleh ke Alya yang bersandar di konter dapur sambil menyilangkan tangannya, masih menanti Erin untuk bercerita. Ketika tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Erin, Alya bersorak padanya. “Gue bangga banget sama lu! Akhirnya lu bisa kenalan sama cowok yang selama ini lu taksir diem-diem!”

Erin meringis. “Kita emang ngobrol sebentar, sih. Tapi dia masih belum tahu nama gue.”

Setelah Erin menceritakan semua yang terjadi pada Alya, sahabatnya hanya merespons maklum, “Yah...harusnya gue bikin kartu nama buat staf biar Alex bisa tahu nama lu.”

“Nggak apa-apa, kok. Kalau dari story Alex barusan, berarti dia nggak ilfeel sama gue di kedai tadi,” jawab Erin.

“Berarti lu bisa ajak dia kenalan waktu dia dateng lagi.”

“Al, gue aja tadi nggak tahu bisa dapet keberanian dari mana sampai bisa ngomong sama dia,” sanggah Erin. “Mungkin jiwa barista gue keluar biar kedai lu tetap dapat pemasukan walaupun udah tutup.”

Alya tertawa. “Kira-kira bisa nggak jiwa barista lu keluar lagi buat kasih tahu selama ini lu yang buat pai yang dia suka?”

Erin mendadak tertegun. Ia tidak tahu ingin menjawab Alya dengan apa. Ia tidak ingin Alex kecewa kalau selama ini painya dibuat oleh seorang wanita yang diberikan pekerjaan barista oleh sahabatnya karena kasihan melihatnya hampir kehilangan segala hal berharga di hidupnya. Kalau pun ia sudah berkenalan, apa selanjutnya? Ia tidak bisa memberikan apa pun ke dalam hubungannya dengan pria sukses seperti Alex.

Namun, ketika Erin melihat Alya menghabiskan pai sisaannya, ia tersenyum. Setidaknya, ia bisa membuat hari-hari Alex lebih baik dengan pai yang dia buat. Ia tidak ingin Alya membahas soal ini lebih jauh lagi sehingga ia mencoba mengalihkan topik obrolan. “Hari ini lu nyiapin acara pertunangan lu, ‘kan? Gimana prosesnya?”

Mata Alya berbinar saat ia menjawab. “Jadi acara lamaran bakal diadain di rumah gue. Gue maunya tetap simpel aja. Lamaran resmi sama keluarga bakal diadain sebelum tahun baru. Rencananya gue cuma mau undang kerabat, teman-teman dekat sama karyawan. Gue sekarang lagi nentuin pilihan wedding organizer sama vendor buat lamaran sama pernikahan nanti.”

Erin tersenyum bahagia. “Semoga semua dilancarin ya, Al. Apa pun yang lu minta buat semua prosesnya, pasti gue bakal bantu.”

“Bicara soal bantuin gue,” kata Alya seraya mendekat ke Erin. Ia kelihatan sudah menanti-nanti apa pun yang ingin dia katakan berikutnya. “Gue mau lu jadi bridesmaid gue!”

“Yes! Gue mau! Mau banget!” Erin bersorak. “Lu juga mau gue bikinin pai buat resepsi lu?”

“Nggak usah, gue cuma mau lu tampil cantik dan temenin gue. Gue nggak mau sahabat gue capek dan repot pas hari pernikahan gue.”

“Apa pun buat lu, Al.” Erin mengacungkan jempol sebelum ia memeluk sahabatnya. “Makasih banyak, ya. Lu emang sahabat gue yang paling baik.”

“Tapi gue mau lihat lu bahagia juga, Rin,” ujar Alya usai mereka berpelukan. “Gue juga mau lihat lu bisa punya pasangan yang cinta sama lu. Orang itu saat ini bisa jadi Alex, lho. Bisa jadi lu takut kenalan bukan karena takut ditolak, tapi karena lu takut buat buka hati lu buat orang lain.”

“Bisa jadi,” gumam Erin. Walaupun dia naksir berat sama Alex, memiliki pasangan hidup dan menjalin hubungan serius seperti Alya dan Daniel belum pernah terbesit di pikirannya selama beberapa tahun belakangan. Ia masih menikmati pekerjaannya sebagai barista. Ia sendiri saja masih tidak menyangka sekarang ia bisa membuat pai yang bisa dia jual sendiri. Ia tidak sanggup membayangkan hidupnya bisa lebih dari pekerjaan yang ia jalani saat ini. Mungkin karena itu dia masih belum berani mengenalkan dirinya ke pria yang ia suka.

“Lu nggak apa-apa, Rin?” Alya membuyarkan lamunannya. “Sori kalau omongan gue tadi nyinggung lu.”

“Nggak apa-apa, kok. Lu bener kok, Al. Mungkin gue yang belum siap buat buka hati gue. Lagian juga, yang di pikiran gue sekarang cuma kerja sama bikin pai. Buat gue itu udah cukup untuk sekarang,” jawab Erin.

“Pelan-pelan aja,” kata Alya dengan nada menghibur. “Buka hati emang nggak gampang, apalagi prosesnya nanti waktu lu ngejalaninnya. Tapi gue tahu, begitu Alex udah kenal lu, berarti tandanya lu bener-bener udah siap melalui itu semua.”

“Iya, Al.” Erin mengingat ucapan sahabatnya di dalam hatinya sebagai motivasi.

“Lu mau buat pai lagi sekarang?”

“Bentar lagi, gue mau nonton serial yang Alex share kemarin di story.” Erin beranjak ke sofa di depan televisi.

“Lu mau nonton Breaking Bad? Ih, itu acaranya kan nggak lu banget.”

“Biarin!”

“Dasar bucin!” Komentar Alya sebelum ia masuk ke kamarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status