Bab 2: Dunia Nathaniel Alvaro

Nathaniel Alvaro dikenal sebagai sosok pemimpin muda yang sukses di dunia bisnis. Di usia yang relatif muda, ia telah mencapai puncak karier sebagai CEO di sebuah perusahaan teknologi yang sedang berkembang pesat. Dengan penampilan yang selalu rapi, tubuh tegap, dan sikap yang tenang, ia menjadi idola banyak orang. Namun, di balik semua itu, kehidupannya penuh tekanan, persaingan sengit, dan sorotan media yang tiada henti.

Setiap pagi, Nathaniel memulai harinya dengan rutinitas ketat. Pukul enam pagi, ia bangun dan berolahraga di gym pribadinya. Hidupnya berjalan dalam ritme yang telah ia biasakan—jadwal padat, keputusan besar, dan ekspektasi tinggi yang harus ia penuhi. Bagi banyak orang, kehidupannya tampak sempurna. Namun, bagi Nathaniel, ini adalah medan perang yang tiada akhir.

Di kantor, ia dikenal sebagai pemimpin yang tegas dan serius. Ia jarang tersenyum dan selalu berbicara dengan nada penuh perhitungan. Para karyawan menghormatinya, tetapi juga merasa terintimidasi. Hanya sedikit yang berani mendekatinya tanpa alasan profesional. Namun, di balik sikapnya yang dingin, ada luka emosional yang sulit ia sembuhkan.

Nathaniel tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan prestasi di atas segalanya. Ayahnya adalah pengusaha sukses yang menuntut kesempurnaan, sementara ibunya lebih memilih diam, memberikan dukungan emosional yang minim. Sejak kecil, ia belajar bahwa dunia ini adalah tempat yang kejam—hanya yang kuat yang akan bertahan. Ia terbiasa menahan perasaan, menyembunyikan kelemahan, dan selalu tampil sempurna.

Ketika memasuki ruang kantornya di lantai teratas gedung pencakar langit, Nathaniel disambut oleh asistennya, Vanessa, yang selalu siap dengan laporan dan jadwal rapatnya.

"Selamat pagi, Nathaniel. Ini laporan yang Anda minta. Ada beberapa pembaruan penting sebelum rapat dengan investor nanti," kata Vanessa dengan nada profesional.

Nathaniel mengangguk, matanya tetap terpaku pada layar laptop. "Terima kasih. Pastikan semuanya berjalan lancar. Saya tidak ingin ada kesalahan hari ini."

"Tentu, saya akan mengurusnya," jawab Vanessa sebelum beranjak pergi.

Nathaniel kembali tenggelam dalam pekerjaannya, membaca laporan-laporan dengan penuh fokus. Namun, di tengah kesibukannya, pikirannya melayang ke pertemuan dengan Arissa di klinik pijat beberapa hari lalu. Sentuhan tangannya yang lembut mampu menghilangkan ketegangan yang selama ini ia abaikan. Itu adalah momen singkat, tetapi terasa berbeda dari interaksi biasanya.

Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran itu. "Ini bukan hal penting," gumamnya dalam hati. Namun, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat rasa ingin tahunya.

Hari itu berlalu dengan jadwal yang padat. Rapat demi rapat dihadapinya dengan ketegasan yang biasa. Namun, sesekali ia melirik ponselnya, berharap ada pesan atau sesuatu yang mengingatkannya pada Arissa.

Ketika akhirnya hari kerja usai, Nathaniel mengambil keputusan yang cukup impulsif. Ia ingin kembali ke klinik itu. Ia tidak membuat janji, tetapi dorongan untuk bertemu Arissa terlalu kuat untuk diabaikan.

Setibanya di sana, ia melihat Arissa tengah berbicara dengan klien lain. Namun, begitu melihat Nathaniel, ia tersenyum hangat.

"Nathaniel! Apa kabar? Ada yang bisa saya bantu lagi?" tanyanya dengan tulus.

Nathaniel sedikit terkejut dengan sambutannya yang ramah. Ia tidak terbiasa dengan orang yang memperlakukannya tanpa rasa segan atau penuh perhitungan.

"Aku... hanya ingin bertemu sebentar. Tidak ada yang khusus, hanya merasa butuh sedikit waktu untuk diri sendiri," jawabnya, berusaha terdengar santai meski dalam hatinya ada kegugupan yang tak biasa.

Arissa mengangguk. "Kalau begitu, duduklah sebentar. Saya bisa menyempatkan waktu untuk ngobrol sebentar."

Mereka duduk di ruang tunggu. Percakapan mereka mengalir lebih alami dari yang Nathaniel duga. Arissa berbicara tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia menikmati membantu orang lain, meskipun hidupnya sederhana. Nathaniel mendengarkan dengan penuh perhatian, sesuatu yang jarang ia lakukan di luar urusan bisnis.

Dalam keheningan yang nyaman, Nathaniel merasa ada sesuatu yang berbeda. Ia telah lama hidup dalam dunia yang penuh perhitungan dan ambisi. Tapi di sini, dengan Arissa, semuanya terasa lebih ringan. Ia tidak harus menjadi CEO, tidak harus menjadi sosok yang selalu sempurna. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bisa menjadi dirinya sendiri.

Namun, ia juga sadar bahwa ini bukan dunia yang biasa ia jalani. Ada perbedaan besar antara mereka—status, latar belakang, dan jalan hidup yang berbeda. Namun, untuk alasan yang belum ia mengerti, Nathaniel ingin tetap mengenal Arissa lebih jauh.

Saat ia meninggalkan klinik, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Ia tahu, ini bukan sekadar efek pijatan yang melepaskan ketegangan fisiknya. Ada sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin ia tak siap hadapi, tetapi tak bisa ia abaikan.