Andai saja bukan karena permintaan Bram, Prita tidak sudi hadir di acara resepsi pernikahan Sadewa dengan Ayuna yang tentunya tak kalah mewah dari tadi siang.Bukan hanya para pengusaha sukses dan tamu dari kalangan atas lainnya. Acara malam itu juga dihadiri oleh pejabat pemerintah serta anggota dewan yang kebetulan memang sangat mengenal keluarga Hadiwijaya.Wajah Prita makin ditekuk saat menyaksikan interaksi Ayuna dengan wanita berusia enam puluh lima tahun yang dikenal sebagai Oma dari Sadewa. Apalagi, ketika kata-kata pujian tak hentinya wanita itu lontarkan kepada cucu menantunya tersebut, rasanya Prita ingin berteriak bahwa Ayuna tidak sesempurna yang mereka kira. Ya ... bukankah Raga lebih memilih Anggia, dan itu tandanya, Anggia memang lebih unggul dari kakaknya itu. "Kamu cantik sekali. Sadewa memang pandai mencari istri," ujar Marini-- omanya Sadewa seraya mengelus pipi Ayuna. "Terima kasih, Oma." Ayuna tersenyum manis. "Oma doakan semoga pernikahan kalian langgeng sam
"Mama mau ke mana?" Bram bertanya saat melihat Prita yang sudah berdandan rapi."Mama mau arisan. Mas kok belum berangkat ke kantor? Ini sudah jam 9 lho, Mas." Prita menatap heran suaminya yang masih bersantai di ruang tamu. "Nanti saja agak siangan. Hari ini Papa ada meeting sama Pak Hadi sekalian makan siang," terang Bram seraya meletakkan ponsel yang sejak tadi menjadi fokusnya. Sebenarnya pria itu sedikit malas untuk bertemu dengan Hadiwijaya yang akan membahas perkembangan kerjasama mereka. Bram masih malu atas sikapnya yang terang-terangan menghina Sadewa dan meremehkan pria yang kini sudah menjadi menantunya tersebut."Ya sudah begitu. Aku berangkat dulu ya, Mas." Prita sedikit menunduk untuk mengecup pipi sang suami. Bram membalas dengan kecupan singkat di kening sang istri. Arisan kali ini diadakan di rumah salah satu teman Prita yang dikenal sebagai pemilik toko perhiasan terbesar di kota itu. Kedatangan Prita disambut hangat oleh mereka yang sudah tiba lebih dulu. "Maaf
"Selamat pagi, istriku."Mata Ayuna mengerjap, terbuka perlahan dan mulai memperhatikan sekeliling. Ternyata bukan di kamarnya. Ayuna mengingat-ingat saat ini ia sedang berada di mana. Tiba-tiba tatapannya tertuju pada wajah seorang pria yang begitu dekat dengannya, Ayuna sontak terperanjat dan langsung duduk. "Mas Dewa?" pekiknya kaget. Sadewa tersenyum melihat reaksi istrinya. Pria yang sudah terlihat segar itu mengelus pipi mulus sang istri yang tetap terlihat cantik meski baru bangun tidur."Capek banget, ya? Kamu tidurnya nyenyak sekali. Mas sebenarnya gak tega bangunin kamu. Tapi Mama dan Papa juga Oma sudah menunggu kita di bawah untuk sarapan," ujarnya lembut. Ayuna terperangah. Ia menoleh ke arah jendela yang sudah terbuka. Ternyata sudah terang! "Aku kesiangan, Mas! Kenapa gak dibangunin dari tadi sih!" Ayuna panik. Gadis yang sudah resmi menjadi istri Sadewa itu bergegas menyibak selimut dan berniat turun dari ranjang. Namun, pergerakannya terhenti ketika Sadewa menaha
Raga memejamkan mata. Ia sadar bahwa dirinya telah mempermalukan keluarga Bram, juga Anggia yang pasti merasa sedih ketika bukan nama gadis itu yang keluar dari mulutnya. Namun, Raga tidak bisa mengendalikan diri ketika yang ada dalam benak dan pikirannya saat ini adalah Ayuna. Raga melihat sang mantan kekasih yang begitu cantik, duduk berdampingan dengan pria yang kini sudah resmi menjadi suami gadis itu. Keduanya saling melempar senyum serta tatapan mesra, dan Raga cemburu dibuatnya. "Silakan ulangi sekali lagi dan ini kesempatan terakhir. Jangan sampai calon mempelai pria salah menyebut nama lagi," ujar penghulu di depan Raga. Bram menatap nyalang calon menantunya dengan wajah memerah menahan amarah. Andai saja saat ini mereka bukan sedang berada di pesta pernikahan putrinya, Bram pasti sudah menghajar Raga habis-habisan."Fokuslah. Jangan mempermalukan putriku di hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya," desis Bram menahan geram. Raga kembali memejamkan mata. Berusaha me
"Apa Mas menyesal menikahiku?"Raga yang baru saja akan merebahkan tubuh di atas tempat tidur, urung melakukannya setelah mendengar pertanyaan dari Anggia. Pria itu menghela napas berat, sebelum akhirnya kembali duduk menghadap istrinya yang juga tengah duduk bersandar di ranjang mereka. "Jangan menanyakan sesuatu yang hanya akan membuatmu sakit hati." Raga memilih tidak menjawab pertanyaan istrinya, sebab ia takut Anggia akan marah dan histeris seperti waktu itu. "Jawab saja, Mas. Aku ingin mendengar pengakuan jujur dari mulutmu." Anggia bersikeras menuntut jawaban, meski ia tahu pada akhirnya jawaban yang keluar dari mulut Raga akan menyakitkan untuknya. Raga memejamkan mata untuk meredam emosi. Sebenarnya malam ini ia sangat lelah dan ingin segera beristirahat. Acara tadi siang, juga omelan Prita yang menuduhnya ingin mempermalukan keluarga Tanujaya, membuat kepalanya hampir pecah. Namun, sepertinya keinginan untuk beristirahat tidak akan terwujud sebab saat ini justru Anggia k
"Nanti malam Papa mau hadir ke acaranya Hadiwijaya. Dia akan memperkenalkan Sadewa sebagai Direktur Utama yang baru."Prita hampir tersedak mendengar ucapan suaminya. Pun dengan Anggia dan Raga yang sama-sama tertegun di tempatnya duduk. Mereka sedang menikmati sarapan bersama untuk pertama kalinya yang dihadiri anggota keluarga baru. "Ma ... Mama denger Papa ngomong, kan?""Eh ... iya, Mas. Aku denger." Prita gelagapan. Mati-matian menyembunyikan hawa panas yang tiba-tiba menjalari hatinya. Sadewa menjadi Direktur Utama? Ah ... pasti Salma dan Ayuna merasa di atas angin. "Papa berangkat dari rumah Salma. Tapi kalau Mama mau ikut, Papa bisa jemput Mama dulu. Bagaimana?" tawar Bram pada sang istri kedua, sebab biasanya Prita selalu antusias jika ia mengajaknya hadir ke acara-acara penting seperti itu. "Lihat nanti saja deh, Mas. Kalau aku mau ikut, nanti aku kabari lagi."Bram mengangguk. Kini fokusnya beralih pada sepasang pengantin baru yang sedari tadi hanya diam, padahal Bra
"Papa tidak suka melihat cara Prabu menatap Mama."Salma yang sedang membersihkan riasan wajah, menghentikan kegiatan. Wanita anggun tersebut menatap Bram yang sedang duduk di pinggir ranjang, memperhatikan dari cermin di depannya. "Sepertinya dia masih ada rasa sama Mama."Salma menghela napas panjang. Tidak ingin menanggapi ucapan suaminya, Salma memilih melanjutkan kegiatan yang sempat terjeda."Mama dengar Papa bicara, kan?" Bram yang merasa Salma tidak menanggapinya, berdiri menghampiri sang istri untuk mengelus bahunya. "Papa cemburu, Ma."Salma tersenyum mendengar kalimat terakhir suaminya. "Kok Mama malah senyum?" Bram mengerutkan dahi. "Memangnya harus bagaimana? Aku hanya merasa lucu sama tingkah kamu, Mas. Kecemburuan kamu tidak beralasan. Wajar kalau dia bersikap ramah karena seharusnya memang seperti itu.""Tapi sama Mama sikap dia berbeda. Papa jelas melihat dia masih ada rasa sama Mama.""Itu bukan urusanku," sergah Salma seraya menepis tangan Bram dari bahunya, kem
Airin NatasyaNama itu pernah terpatri di hati Sadewa dan menempatinya selama beberapa tahun. Gadis berperawakan tinggi tersebut adalah mantan kekasihnya saat kuliah dulu. Gadis yang untuk pertama kalinya mengenalkan Sadewa pada rasa cinta, tetapi juga luka secara bersamaan. Sadewa dengan susah payah menghapus nama itu setelah pengkhianatan yang dilakukan sang gadis. Ia sampai harus berpindah ke negeri orang agar segala hal tentang Airin tidak pernah didengarnya lagi. Sadewa berhasil membuang nama Airin dari hatinya, bahkan telah mengisinya dengan nama lain. Namun, ternyata takdir mempertemukan mereka kembali dengan kondisi Airin yang sangat jauh berbeda. "Papa ketahuan korupsi. Semua harta kami disita dan Papa dipenjara. Aku dan Mama tinggal di kontrakan kecil tidak jauh dari sini."Airin mulai bercerita. Saat ini keduanya duduk di salah satu meja di sudut cafe. Sadewa memutuskan untuk berbincang sebentar dengan Airin karena walau bagaimanapun, mereka pernah punya hubungan baik di