"Bagaimana kabar kamu, Sayang? Raga memperlakukan kamu dengan baik, kan?"Prita mengelus punggung sang putri yang nampak lebih kurus. Semenjak pernikahan Anggia dan Raga dua bulan yang lalu, kali ini memang pertama kalinya Prita mengunjungi sang putri di rumahnya. Perubahan Bram akhir-akhir ini membuat Prita harus waspada. Ia mulai menurunkan ego dengan tidak lagi menjelekkan Salma dan berusaha memberi pelayanan sebaik mungkin pada suaminya tersebut, hingga ia lupa pada Anggia yang belum pernah dikunjunginya. "Aku baik-baik saja, Ma. Mas Raga memperlakukan aku dengan baik." Anggia mengilas senyum, menyembunyikan kesedihan agar sang Mama tidak khawatir. Semenjak malam di mana Raga menyentuhnya dan berakhir dirinya yang merasa bodoh dan mengenaskan, Anggia tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri sebagaimana mestinya, meski sikap Raga tetap sama. Dingin dan bicara seperlunya. Pria itu tetap memberinya nafkah lahir maupun batin, tetapi hanya sebatas kewajiban saja. "Tapi kam
"Kamu dari mana, Mas? Kenapa jam segini baru pulang?"Anggia menjegal langkah Raga yang akan memasuki kamar mandi. Sudah beberapa jam ia menunggu suaminya pulang, tetapi Raga baru muncul di jam sembilan malam. Anggia menebak Raga pasti menghabiskan waktu bersama wanita yang tadi ia lihat di Resto. Andai dugaannya benar, Anggia harus mencari tahu wanita itu untuk memberinya peringatan agar tidak dekat-dekat dengan suaminya. "Dari rumah sakit. Memangnya dari mana lagi?" Raga menjawab dengan santai. Tak ia hiraukan raut wajah Anggia yang nampak menahan kekesalan. "Yakin dari rumah sakit?"Raga mengerutkan kening. "Yakinlah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?""Karena aku tahu kamu berbohong!" Gerakan tangan Raga yang membuka kancing kemeja terhenti. "Kamu nuduh aku berbohong? Atas dasar apa?" desisnya mulai terpancing emosi sebab Anggia menuduhnya tanpa alasan. "Jangan mengelak lagi, Mas! Aku melihatmu di Resto dengan seorang wanita. Bisa-bisanya ya kamu makan siang di luar dengan wa
Rasanya seperti mimpi. Pengakuan yang diucapkan Ayuna membuat Sadewa terpaku beberapa saat. Ayuna mencintainya. Akhirnya ... kata cinta ia dengar dari mulut sang istri. "Kamu ... tidak sedang becanda, kan?" Sadewa ingin memastikan tidak salah dengar.Ayuna menggeleng. "Tidak. Aku sedang tidak becanda. Aku memang mencintai Mas Dewa. Entah sejak kapan rasa ini tumbuh, tapi yang pasti, aku takut kehilanganmu, Mas. Aku cemburu melihat kamu dekat dengan Airin."Sadewa mengeratkan pelukan. Dikecupnya rambut sang istri dengan lembut. "Terima kasih, Sayang. Mas bahagia mendengarnya. Kamu tenang saja. Tidak ada ruang di hati ini untuk wanita lain selain kamu. Hanya kamu yang berhak menempatinya." Sadewa tidak sedang membual. Hati dan cintanya memang telah habis hanya untuk Ayuna. "Benarkah?" Ayuna mengurai pelukan. Kepalanya mendongak, menatap Sadewa, mencari kesungguhan lewat mata suaminya. "Bagaimana dengan Airin?" Sadewa mengerutkan dahi. "Memangnya kenapa dengan Airin?"Ayuna mencebik
"Bagaimana rasanya memimpin perusahaan? Sudah mulai terbiasa?"Pertanyaan yang dilontarkan Brata, jelas ditujukan pada Sadewa. Seluruh anggota keluarga tengah berkumpul di ruang keluarga. Acara makan malam telah selesai dan saatnya untuk bercengkrama. "Begitulah, Opa. Sedikit pusing, tapi ya ... tetap harus dijalani. Namanya juga tangguh jawab," jawab Sadewa dengan tersenyum. Tangannya tak lepas dari jemari Ayuna yang duduk di sampingnya. "Betul. Yang namanya bertanggung jawab dalam memimpin perusahaan memang tidak mudah. Tapi Opa yakin, kamu bisa menjalankannya dengan baik. Kehebatan keluarga Januarta dalam mengelola bisnis sudah tidak diragukan lagi. Kamu adalah penerus mereka dan pasti kehebatan itu menular padamu," ujar Brata. Merasa bangga sebab cucunya mendapatkan suami yang mewarisi darah sahabatnya, Malik Januarta yang terkenal sangat disegani di kalangan para pebisnis pada zamannya. Sadewa hanya tersenyum saja. Tidak ingin menanggapi pujian Brata terlalu berlebihan, sebab
"Hallo, Mas Bara. Saya ingin bertemu malam ini untuk membicarakan tawaran kerja sama kemarin."Bara menyeringai. Pria itu memang sangat yakin Airin akan menghubunginya setelah kemarin ia menawarkan kerjasama yang menguntungkan bagi mereka. Tak sengaja mendengar percakapan Sadewa dan Airin membuatnya tak ingin membuang kesempatan. Dari pembicaraan mereka, Bara yakin Airin masih mencintai Sadewa. "Oke. Nanti saya kirim alamat tempat kita ketemuan lewat pesan."Bara mematikan ponsel setelah Airin mengiyakan. Pria itu mengepalkan tangan kala mengingat penolakan Ayuna terhadap lamaran darinya, dan memilih Sadewa yang saat itu belum mereka ketahui identitas yang sebenarnya. Bara memang sudah jatuh hati pada Ayuna sejak lama, semenjak sang wanita menjadi kekasih Raga. Bara menahan perasaannya tersebut sebab menghargai sahabatnya. Namun, ketika ia tahu Raga mengkhianati Ayuna, Bara memutuskan untuk mulai bergerak. Ia tidak ingin sampai telat mengambil langkah hingga Ayuna kembali dimiliki
"Kalau sudah seperti ini, apa Mas masih ingin mempertahankan mantan kekasihmu itu di perusahaan?"Nada suara Ayuna terdengar dingin. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa marah dan kesal sekaligus setelah mendengar cerita dari suaminya. Ternyata ancaman Airin tidak main-main. Wanita itu nekat melakukan cara kotor demi menjerat Sadewa agar menjadi miliknya."Tentu saja tidak. Besok Mas akan memecatnya." Sadewa mengeratkan pelukan pada tubuh sang istri. Merasa bersalah sebab tidak mendengar peringatan Ayuna ketika mengatakan bahwa Airin bisa melakukan apa saja untuk membuatnya kembali pada pelukan wanita itu. "Baru sadar, heh? Kemarin ke mana saja? Masih belum tega berpisah dari mantan?""Sayang ...."Sadewa memelas. Sindiran sang istri sangat membuatnya tidak nyaman. "Memang bener, kan? Padahal aku sudah ngasih peringatan, tapi gak didengar juga." Ayuna mencebik. "Maaf. Mas memang terlalu naif. Tapi Mas janji akan segera menyelesaikan semuanya." Sadewa bersungguh-sungguh. Ayuna tersen
"Kamu gila, Bar! Kenapa kamu sampai nekat seperti ini?"Dua sahabat itu masih berdiri berhadapan dengan mata yang sama-sama menatap nyalang. Tangan Raga mengepal di kedua sisi tubuh. Mantan kekasih Ayuna tersebut tidak pernah menyangka bahwa Bara, sahabat yang ia kenal sangat baik, bisa berbuat hina hanya karena obsesi ingin memiliki Ayuna. Kecurigaan Raga bermula ketika pria itu tak sengaja melihat Ayuna dan Bara sama-sama memasuki Resto. Entah dorongan dari mana sebab Raga ingin sekali membuntuti keduanya. Pria itu duduk di meja tidak jauh dari tempat mereka dan berpura-pura makan siang di sana juga. Raga dibuat makin curiga saat melihat Bara memasukkan sesuatu pada minuman Ayuna. Hampir saja ia mendekat saat melihat Ayuna hampir limbung, tetapi pergerakannya terhenti karena Bara lebih dulu menahan tubuh mantan kekasihnya itu. Raga tidak bisa untuk berhenti berpikiran buruk kala melihat Bara membawa Ayuna ke dalam mobil milik sahabatnya tersebut, apalagi tujuan Bara ternyata bukan
"Mas ....""Hei, Sayang. Sudah bangun?"Sadewa mendekat ke arah Ayuna yang baru saja terjaga. Digenggamnya tangan sang istri dan mengecupnya lama. "Butuh sesuatu?" Ayuna memperhatikan sekitar. Ruangan itu terasa asing untuknya. "Aku di mana?""Kamu di rumah sakit.""Kok bisa?" Ayuna terperangah. Ingin bangkit dari posisi tidur, tetapi Sadewa menahan bahunya. "Jangan dulu banyak bergerak. Rebahan lagi," titahnya lembut. Ayuna menurut karena memang tubuhnya terasa tidak enak. Ia berusaha mengingat apa yang dialaminya hingga bisa berada di tempat itu. Bara. Ya. Ayuna ingat tadi dirinya sedang bersama Bara sebelum kesadarannya benar-benar menghilang. Namun entah di mana pria itu sekarang, sebab Ayuna tidak mengingat kejadian selanjutnya. Apakah Bara yang membawanya ke rumah sakit dan menghubungi suaminya?"Katakan, Mas. Kenapa aku bisa berada di tempat ini? Seingatku tadi, aku makan siang sama Mas Bara." Ayuna tidak bisa menahan rasa penasaran. Sadewa menghela napas panjang. Sedik