"Maaf kalau kamu tidak nyaman. Mas hanya tidak mau kamu sampai sakit."
Raga sadar betul apa yang dikatakan Ayuna benar adanya. Sikap gadis di depannya itu memang berubah semenjak ia memutuskan pertunangan mereka.Ayuna menjadi lebih tertutup. Beberapa hari ini sosial media milik gadis itu tidak pernah menunjukkan aktivitas apa pun, dan apa yang Raga lihat saat ini bukanlah kebiasaan Ayuna. Keluar di malam hari dan secangkir kopi, adalah dua hal yang dulu sangat Raga larang demi kesehatan sang gadis.Raga ingin hubungan mereka tetap baik, meski mereka bukan lagi sepasang kekasih. Tidak bisakah Ayuna menganggapnya teman? Setidaknya, gadis itu tidak menghindarinya saat bertemu atau berpapasan dengan dirinya."Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jangan pernah lagi menunjukkan perhatian seperti tadi karena aku tidak ingin calon istri Mas Raga salah paham," ujar Ayuna. Gadis itu kembali menghindari tatapan Raga."Sudah setengah jam kita di sini, tapi orang yang menjemputmu belum juga datang. Ayo, Mas antar kamu pulang." Raga tak mengindahkan peringatan Ayuna. Kekhawatirannya pada gadis ini lebih besar ketimbang rasa takut ketahuan oleh Anggia."Mas Raga, please! Tolong jauhi aku!" Ayuna sedikit berteriak. Lama-lama sikap pria itu membuatnya muak. "Sudah kubilang aku bisa menjaga diriku sendiri! Urus saja calon istri Mas yang penyakitan itu!"Ayuna baru saja akan melangkah menjauhi Raga saat sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Gadis itu bernapas lega. Akhirnya orang yang ia tunggu datang juga.Seorang pria keluar dari mobil tersebut. Raga menyipitkan mata melihat pria yang tidak ia kenal menghampiri Ayuna.Baru kali ini Raga melihat pria ini. Dari segi penampilan, jelas ia lebih unggul. Namun, ia akui wajah sang pria sangat tampan."Maaf saya terlambat, Nona." Pria itu sedikit membungkukkan badan."Gak papa, Mas Dewa. Kita pulang sekarang."Dewa bergegas membukakan pintu untuk sang majikan. Ayuna memasuki mobil tanpa menoleh terlebih dahulu pada Raga, apalagi berpamitan pada mantan kekasihnya tersebut."Tunggu." Raga menahan Dewa yang baru saja menutup pintu mobil bagian belakang di mana Ayuna duduk di sana."Ya?""Kamu siapa? Saya baru pertama kali melihatmu."Dewa tersenyum. "Saya sopirnya Non Yuna," jawabnya. Raga akui pembawaan pria ini cukup tenang."Sopir? Lalu Pak Kardi?""Saya putranya. Untuk sementara saya yang akan menggantikan dia."Raga meneliti penampilan Sadewa. Pria ini tidak ada kemiripan sama sekali dengan Pak Kardi. Dewa terlalu tampan untuk ukuran seorang sopir, dan Raga tidak nyaman karenanya.Setiap hari Ayuna akan bertemu dengan Sadewa dan bisa saja mereka menjadi makin dekat.Ah, Raga segera menepis pemikiran gila yang sempat melintas. Mana mungkin Ayuna akan menjalin hubungan dengan anak dari seorang sopir? Papanya Ayuna pasti tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi."Saya titip Ayuna. Pastikan dia baik-baik saja sampai di rumah."Satu alis Sadewa terangkat. Pria ini memintanya menjaga Ayuna? Tanpa pria itu minta, tentu saja akan ia lakukan karena sudah menjadi tugasnya."Anda tenang saja. Saya akan menjaga Non Yuna lebih dari menjaga diri saya sendiri."Ah, kedengarannya terlalu berlebihan di telinga Raga."Permisi."Raga mengangguk. Pria itu menatap mobil Ayuna yang makin menjauh. Entahlah. Hatinya tidak rela menyaksikan mantan kekasihnya pergi dengan pria lain, meski pria tersebut hanya sebatas sopir."Ada apa dengan hatiku? Bukankah aku sudah yakin lebih memilih Anggia?" Raga bermonolog. Merutuki diri yang masih saja mengkhawatirkan Ayuna.******"Nona butuh ini?"Sadewa menyodorkan tissu ke hadapan Ayuna. Sepanjang perjalanan, pria itu memperhatikan putri sang majikan yang sedang menangis di bangku belakang. Sengaja ia menghentikan mobil agar bisa berbicara dengan sang gadis.Ayuna menatap tissu yang diulurkan Dewa, kemudian mengambilnya dengan sedikit ragu."Terima kasih," lirihnya.Sadewa tersenyum. Pria itu memperhatikan Ayuna yang sibuk menghapus air mata."Maaf, Mas Dewa harus melihat saya seperti ini. Saya ... saya hanya--""Tidak apa-apa. Kalau dengan menangis bisa membuat Nona lebih lega, maka lakukanlah. Saya akan setia menunggu sampai Nona jauh lebih tenang."Tangis Ayuna kembali pecah. Ia sama sekali tidak peduli jika Sadewa menganggapnya cengeng. Perhatian dari Raga membuat Ayuna kembali mengingat masa-masa indah mereka.Bohong jika Ayuna berkata sudah benar-benar ikhlas melepas Raga. Pada kenyataannya, hampir setiap malam ia tidak bisa tidur mengingat sebentar lagi pertunangan mantan kekasih dengan adiknya akan digelar."Apakah rasanya sangat menyakitkan?"Ayuna mendongak. Matanya berserobok dengan mata pria yang sedang memperhatikannya."Maksud, Mas Dewa?" Ayuna tidak mengerti maksud ucapan sang sopir."Apakah sangat menyakitkan saat orang yang kita cintai lebih memilih orang lain?" Sadewa mengulang pertanyaan."Mas Dewa tahu masalah saya?"Sadewa mengulas senyum dan mengangguk. "Berita batalnya pertunangan Nona sudah tersebar. Saat tentu tahu karena saya salah satu penggemar berat Nona."Ayuna terkekeh. Miris. Ternyata berita tentang dirinya dan Raga yang batal menikah sudah tersebar makin luas."Sakit. Sangat sakit, apalagi orang yang telah merebut calon suami saya adalah adik saya sendiri."Tatapan Sadewa menyendu. Ah, andai saja posisinya bukan seorang sopir, ia ingin menawarkan bahu agar sang gadis bisa bersandar padanya.Namun, ia sadar siapalah dirinya. Terkesan lancang jika ia sampai melakukan hal itu."Mas Dewa juga pernah patah hati?"Ditanya seperti itu, Sadewa menggaruk tengkuknya. "Pernah," jawabnya lirih."Iyakah?""Ya. Seperti halnya Nona, pacar saya juga lebih memilih orang lain."Ayuna terperangah. "Pria setampan Mas Dewa juga diselingkuhi?""Begitulah." Sadewa terkekeh. "Nona jangan bilang saya tampan. Saya jadi tersanjung dipuji oleh gadis secantik Anda."Senyum Sadewa menular pada Ayuna. Gadis itu hampir lupa bahwa dirinya baru saja menangisi Raga."Serius. Mas Dewa ini tampan, lho. Bodoh banget cewek itu," ujarnya dengan mencebik.Sadewa tidak menjawab. Pria itu lebih fokus memperhatikan sang gadis yang sudah bisa tersenyum."Teruslah seperti ini. Nona jauh lebih cantik saat tersenyum."Ayuna terpaku. Ucapan Sadewa beserta tatapan lembut pria itu membuatnya merasa canggung.*****"Kamu mau ke mana, Ga?"Raga menghentikan langkah. Pria yang baru saja berlari menuruni tangga itu menoleh ke arah papanya yang duduk di ruang tamu."Raga mau melihat kondisi Ayuna. Dia sakit, Pa. Pasti karena semalam.""Ayuna?" Pras -- papanya Raga menautkan alis."Ya. Tadi asistennya bilang penyakit lambung Ayuna kambuh. Aku harus memeriksa kondisinya." Raga bersiap melangkah, tetapi lagi-lagi ditahan sang Papa."Jangan lagi temui dia, Ga. Ayuna sakit pasti sudah ada yang mengurusnya.""Tapi Raga harus memastikan baik-baik saja, Pa." Raga bersikeras."Dia pasti baik-baik saja. Kenapa kamu masih mengkhawatirkan dia? Kamu tidak punya hak atas dirinya setelah kamu memutuskan lebih memilih adiknya."Pras mendekat ke arah sang putra. Pria itu menepuk bahu Raga yang bergeming setelah mendengar ucapannya barusan."Kamu mengkhawatirkan kondisi fisik gadis itu. Lalu bagaimana dengan hatinya yang sudah kamu sakiti sedemikian rupa? Belajarlah konsisten pada pilihanmu, Ga. Dua hari lagi pertunanganmu dengan Anggia. Fokuslah pada gadis itu yang menurutmu lebih baik dari Ayuna."**Bersambung."Saya senang akhirnya kita bisa berkumpul seperti ini," ujar Bram pada semua orang yang hadir di rumahnya. Malam itu, ia sengaja mengundang Hadiwijaya bersama Miranda, juga Pras dan Yunita untuk makan malam bersama. "Kalian jadi bulan madu?" Tatapan Bram beralih pada Ayuna dan Raga yang duduk di depannya. "Jadi, Pa." Raga yang menjawab. "Aku sudah mengajukan cuti minggu depan.""Baguslah. Nikmati bulan madu kalian. Semoga saja sepulang kalian nanti, ada kabar bahagia untuk kami," ujar Hadiwijaya, ikut membuka suara. "Betul. Semoga saja, tidak lama lagi Athalla, Alika sama Zeya akan punya adik," timpal Miranda dan diaminkan oleh semua orang yang berada di sana. Kebahagiaan benar-benar menyelimuti keluarga mereka setelah mendapat kabar tentang Airin yang mendapat vonis hukuman dua puluh tahun penjara, meski sebenarnya Hadiwijaya tidak puas dengan vonis tersebut karena yang dia inginkan, wanita yang telah menyebabkan putranya meninggal dihukum seumur hidup. Namun, pria paruh baya it
"Jadi, kalian mau bulan madu?" tanya Farhan. Saat ini pria itu sedang menemui Raga di ruangannya. "Iya. Aku sudah ngambil cuti beberapa hari. Gak jauh kok. Cuma ke Bali," jawab Raga. "Memangnya, hubunganmu sama Ayuna sudah membaik, ya? Dia gak sering menghindar lagi?"Raga mengulum senyum. Ingatannya tiba-tiba melayang ke kejadian tadi malam saat pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, dan Raga benar-benar dibuat tergila-gila oleh istrinya itu. Ayuna bukan saja memuaskan dahaganya sebagai seorang pria dewasa yang beberapa tahun tidak mendapatkan sentuhan dari seorang wanita, tapi juga membuatnya merasa menjadi pria paling beruntung karena bisa memiliki istri sempurna yang diidamkan banyak pria. "Ya. Hubungan kami sudah jauh lebih baik. Aku sama dia sudah sepakat untuk menjalani pernikahan kami sebagaimana mestinya."Farhan tersenyum lebar. Ia turut bahagia mendengar pernikahan sahabatnya itu sudah membaik dan perjuangan Raga untuk mendapatkan cinta Ayuna lagi tidak b
"Aku tidak percaya, ternyata wanita ib*is itu yang telah membuat Sadewa meninggal," ujar Hadiwijaya dengan mengepalkan tangan. Saat ini, Ia, Bram, dan Raga sedang berada di ruang tamu rumah Raga, sedangkan Salma dan Miranda sedang menemani Ayuna serta cucu-cucunya di kamar. "Dia menyimpan dendam karena dulu ditolak Sadewa dan merasa dipermalukan oleh Ayuna," timpal Raga. "Dan parahnya, ternyata Alex juga terlibat." Hadiwijaya kembali menyahut. Ia sangat terkejut saat mengetahui salah satu reka bisnisnya tersebut adalah suami dari Airin, sekaligus orang yang membantu wanita itu mencelakai putranya. "Kita harus memastikan wanita itu dihukum seberat-beratnya." Bram yang sejak tadi diam, ikut membuka suara. "Itu pasti." Hadiwijaya berdiri, melangkah menuju kamar Ayuna untuk melihat kondisi mantan menantunya itu. Di sana, di kamar itu, Ayuna sedang dipeluk oleh Salma, sedangkan Miranda sedang menatap Athalla dan Alika yang tertidur. Hati Miranda kembali dilanda nyeri saat mengingat me
Raga baru saja selesai mandi saat mendapati Ayuna sedang duduk menghadap jendela dengan tatapan kosong. Raga mengira, istrinya itu sedang memikirkan sesuatu yang cukup serius karena Ayuna tidak menjawab panggilannya setelah beberapa kali ia menegur sang istri.Raga memutuskan menghampiri Ayuna dengan handuk yang masih tersampir di lehernya. Ia menatap Ayuna dengan lembut, lalu mengusap rambut sang istri penuh kasih. "Sedang memikirkan apa, hmm?" Raga bertanya lembut. "Mas perhatikan, dari kemarin kamu sering melamun."Ayuna sedikit tersentak, kemudian menoleh pada suaminya. "Aku tidak sedang memikirkan apa pun, Mas. Aku hanya sedikit lelah."Raga mengangguk pelan, berusaha mempercayai ucapan istrinya, meski ia menebak Ayuna sedang berbohong.Direngkuhnya kepala sang istri untuk ia sandarkan di bahunya. "Kalau ada yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa cerita sama Mas. Jangan dipendam sendirian."Ayuna tersenyum tipis. Ia mulai merasa nyaman dengan sentuhan dan perhatian dari suaminya.
Alex duduk di kursi mobilnya setelah meninggalkan Hadiwijaya dan keluarganya. Meski ia sempat berpamitan dengan sopan, pikirannya terus berputar tentang Ayuna. Bayangan wajahnya dan cara Ayuna menatapnya membuat dadanya berdebar, meskipun ia tahu itu salah. Ayuna adalah istri Raga, dan lebih dari itu, mantan istri Sadewa, musuh yang tak pernah ia temui, namun sudah menjadi bagian dari hidupnya melalui cerita-cerita Airin.“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumam Alex, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam dirinya. Dia menghembuskan napas panjang, seolah-olah mencoba mengeluarkan perasaan tersebut.Tapi semakin dia mencoba, semakin kuat bayangan Ayuna menghantui pikirannya.Airin selalu menggambarkan Ayuna sebagai wanita licik yang berhasil merebut Sadewa darinya. Namun, dari setiap interaksi singkat yang terjadi, Ayuna tak pernah terlihat seperti wanita yang Airin gambarkan. Sebaliknya, Ayuna selalu menunjukkan sikap yang tenang dan penuh kasih, terut
Alex mengepalkan tangan. Laporan yang ia dapat dari anak buahnya makin membuatnya yakin bahwa Airin tengah bermain curang di belakangnya. Wanita itu menemui seorang pria dan Alex bisa menangkap gelagat tak biasa dari keduanya, apalagi dalam video tersebut pria itu berani mencium istrinya. "Kamu sudah mulai bermain api, Airin. Jika terbukti hubunganmu dengan pria itu sudah sangat jauh, aku tidak akan berpikir dua kali untuk membuangmu," gumam Alex dengan mata yang terus tertuju pada video yang dikirimkan anak buahnya. Alex memang mencintai Airin. Namun, pria itu sangat membenci yang namanya pengkhianatan dan tidak akan pernah ada kata maaf untuk yang satu itu. Alex berdiri dari tempatnya duduk. Pria itu berjalan ke arah balkon dengan sebatang rokok yang menyelip di sela-sela jemarinya. Ia hisap benda tersebut dan menghembuskan asapnya ke udara. Kilasan masa lalu ketika ia pertama kali bertemu Airin hingga jatuh cinta dan memutuskan menikahi wanita itu melintas dalam ingatan pria ber