"Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya, Mbak."Salma dan Ayuna yang baru turun dari mobil menoleh ke asal suara. Ayuna mendengkus tak suka kala melihat Prita berjalan ke arahnya dengan menggandeng lengan sang Papa. "Kalian mau makan siang di sini?" Bram menyapa istri pertama dan sang putri. Pria berusia empat puluh delapan tahun itu menepis halus tangan Prita yang bergelayut di lengannya. Tidak nyaman saat matanya berserobok dengan mata Salma. "Iya." Salma menjawab singkat. Tidak ada raut cemburu di wajah wanita berusia empat puluh lima tahun tersebut saat menyaksikan betapa mesranya sang Madu menggandeng lengan suaminya ... lebih tepatnya suami mereka. "Oh ya. Mumpung kita bertemu, aku ingin memastikan. Mbak sama Ayuna pasti datang ke acara pertunangan Anggia, kan? Acaranya jam delapan malam. Tidak hanya keluarga inti saja yang datang, aku juga mengundang kolega bisnis Mas Bram," terang Prita yang sebenarnya tidak penting untuk Salma dengar. "Kamu tidak perlu khawatir. K
"Bara ngajak kamu datang bareng ke acara itu?" Olivia terkejut mendengar cerita sahabatnya. Pasalnya, Olivia tahu bahwa Bara dan Raga adalah sahabat lama yang bekerja di rumah sakit yang sama. "Ya, tadi dia ngomongnya begitu.""Terus kamu terima tawarannya?" Olivia makin penasaran.Ayuna menggeleng. "Belum."Olivia menghela napas lega. Entah mengapa gadis itu kurang setuju jika Ayuna datang ke acara bersama Bara. Bukan karena Bara sahabatnya Raga, tetapi karena ....Ah sudahlah!Olivia menggeleng cepat. Mengenyahkan pemikiran tentang Bara. "Tapi ada bagusnya juga kamu bawa pasangan ke sana. Kamu bisa menunjukkan pada semua orang bahwa kamu sudah move on dari Raga." saran Olivia."Entahlah, Liv. Aku ...."Olivia paham perasaan sahabatnya. Gadis itu berpindah duduk ke samping Ayuna untuk memeluk tubuh sang sahabat. "Yang kuat, Yun. Kamu pasti bisa melupakan Raga," bisiknya seraya mengelus punggung Ayuna. "Aku kok gini banget ya, Liv. Aku cengeng, aku sok tegar di hadapan orang-orang
"Kamu cantik sekali, Sayang."Prita menatap kagum sang putri yang sedang berdiri di depan cermin. Gaun yang ia persiapkan untuk Anggia telah melekat sempurna di tubuh ramping putrinya. "Terima kasih, Ma." Anggia tersipu. "Jujur aku gugup sekali. Aku takut Mas Raga tidak menyukai penampilanku malam ini," lirihnya."Hei, itu tidak mungkin. Kamu akan menjadi wanita paling cantik di acara ini. Mama yakin, Raga akan terpesona melihatmu."Lagi, Anggia dibuat tersipu oleh pujian mamanya. "Sekarang ayo kita keluar. Para tamu sudah banyak yang datang. Raga juga pasti sudah menunggumu di sana."Anggia mengangguk. Gadis itu bertambah gugup saat membayangkan reaksi Raga melihat penampilannya malam ini. Benarkah yang dikatakan sang Mama bahwa pria itu akan terpesona? Atau ... justru Raga akan terlihat biasa saja?Anggia berjalan digandeng oleh Prita. Keduanya tersenyum lebar saat mulai memasuki tempat acara yang di adakan di pekarangan rumah mewah milik Bram dan Prita. Tempat tersebut sudah disu
"Jadi gadis itu putri pertama Bramantyo?""Ya. Lebih tepatnya, putri pertama dan dari istri pertama."Lelaki yang berdiri di sebelah Sadewa menarik napas panjang. Sebenarnya ia sudah mendengar desas desus bahwa pria yang menjadi tunangan putrinya Bramantyo adalah mantan calon suami putrinya yang lain. Namun, ia tidak terlalu peduli karena toh bukan urusannya. Akan tetapi, ketika putranya ternyata jatuh hati pada salah satu putri rekan bisnisnya tersebut, tentu saja ia harus menyelidiki kejadian yang sebenarnya agar Sadewa tidak salah memilih pasangan. Bisa saja Raga memutuskan pertunangan karena gadis itu memang tidak layak dipertahankan. Ia tidak ingin putra sulungnya jatuh cinta pada gadis yang salah. "Se-istimewa apa gadis itu sampai kamu bertingkah gila seperti ini? Berpura-pura menjadi anak sopir hanya demi seorang wanita. Bukankah akan lebih baik kamu mengatakan siapa sebenarnya dirimu? Papa yakin, gadis itu tidak akan menolak putra sulung keluarga Danureja."Sadewa menggelen
"Oma ...."Wanita berusia enam puluh lima tahun itu sontak menoleh. Melihat kedatangan cucu kesayangan yang beberapa hari ini sangat dirindukannya, ia malah memalingkan wajah kembali ke arah lain."Ngapain datang? Bukannya kamu sudah lupa dengan orang tua ini?" ujarnya ketus. Sadewa terkekeh. Dirangkulnya tubuh sang nenek yang sedang merajuk."Jangan marah, dong. Aku pergi lagi, nih."Puspa -- sang nenek sontak saja panik mendengar ucapan cucunya. "Jangan! Kamu gak sayang lagi sama Oma?" rajuknya.Sadewa makin mengeratkan rengkuhan tangan. "Sangat sayang. Makanya, Oma-ku yang cantik ini jangan ngambek. Aku sudah datang untuk memenuhi permintaan Oma.""Tapi kemarin-kemarin kamu ke mana saja?" Puspa menatap lekat wajah tampan sang cucu yang nampak berseri. Sangat berbeda dengan beberapa tahun lalu saat cucunya tersebut ditinggalkan oleh seseorang yang sangat berarti dalam hidup Sadewa. "Aku sedang menjalankan misi."Puspa mencubit lengan sang cucu. "Kalau orang tua nanya itu dijawab
"M-mas membentak aku?"Anggia menutup mulut tak percaya. Air mata mulai berjatuhan di pipi putihnya.Baru pertama kali Raga berbicara dengan nada tinggi padanya dan hal tersebut membuat Anggia nelangsa. Mengapa reaksi sang kekasih seperti itu? Bukankah seharusnya Raga senang karena sebentar lagi mereka akan menjadi sepasang suami istri?Sedangkan Raga mengusap kasar wajahnya. Merutuki diri yang tidak bisa menahan mulut sampai melontarkan kalimat dengan nada tinggi di depan kekasihnya. "Maaf, Nggi. Mas hanya terlalu terkejut," ujarnya melunak, tetapi Anggia malah makin terisak. "Aku pikir Mas akan senang mendengar kabar ini, tapi ternyata reaksi Mas menunjukkan bahwa Mas masih belum bisa sepenuhnya menerima hubungan kita." Anggia berdiri, diikuti Raga yang berusaha meraih lengan gadis itu, tetapi sayang Anggia menepis. "Apa karena Mas masih mencintai Mbak Yuna?"Raga menggeleng. "Kamu salah duga. Semua ini tidak ada sangkut pautnya dengan Ayuna. Ini murni karena Mas terlalu kaget,"
"Kamu berani membantah perintah saya?" Rahang Bram mengeras. Menahan emosi sebab merasa tidak diharga oleh anak muda yang bekerja sebagai sopir di rumahnya. "Maaf, Pak. Bukan maksud saya membantah. Hanya saja, saya bekerja di sini pada Bu Salma dan Non Yuna. Otomatis setiap hari saya akan berinteraksi dengan putri Anda. Kalau saya harus menjauhinya, lantas bagaimana dengan pekerjaan saya?" Sadewa masih bersikap tenang."Kamu bisa mencari pekerjaan di tempat lain.""Maksud Anda saya dipecat?""Ya. Demi kebaikan putri saya, saya terpaksa memecat kamu.""Kebaikan yang mana?" Ingin sekali Sadewa bertanya seperti itu, tetapi ia urungkan sebab tidak ingin memancing emosi Bram lebih besar. "Seperti yang saya katakan tadi. Saya bekerja di sini pada Bu Salma dan Non Yuna. Jadi, hanya mereka yang berhak memecat saya."Bram cukup salut dengan keberanian Sadewa. Sebenarnya apa yang pria muda itu katakan benar. Salma dan Ayuna yang lebih berhak memberhentikan Sadewa sebab pria itu bekerja pada i
"Kamu mau melamar Ayuna?" Raga tercengang mendengar pengakuan sahabatnya. Bara memang sudah berkata padanya akan mendekati Ayuna, tetapi yang Raga kira, sahabatnya itu tidak akan langsung melamar mantan kekasihnya secepat ini. "Ya. Papanya memintaku untuk langsung melamar Ayuna dan aku setuju."Raga menggeleng lemah. "Lalu kamu pikir, Ayuna akan menerima lamaranmu?" tanyanya tak yakin. Sungguh, kabar yang ia dengar kali ini membuatnya terkejut sekaligus tak rela. "Entahlah. Tapi aku harus bergerak cepat, Ga. Kamu pasti sudah mendengar kabar tentang kedekatan Ayuna dengan sopirnya. Aku tidak ingin sopir itu mencuri start dariku." Bara terkekeh. "Gila! Aku harus bersaing dengan seorang sopir," umpatnya. "Tapi gak secepat ini juga, Bar. Aku yakin Ayuna akan syok saat tiba-tiba saja kamu membawa orang tuamu ke rumahnya untuk melamar. Dia pasti tidak siap," ujar Raga. Ah, pria itu ingin sekali berteriak agar Bara tidak melakukan apa yang diminta Bram. Jika ditanya apakah dia rela Bara