Setelah mengeluarkan kemampuan mengebutku yang sangat payah, aku berhasil sampai di Kuta tepat pada pukul lima kurang sepuluh menit. Aku memarkirkan motor yang yang kugunakan sedikit asal, pasti ada tukang parkir yang akan mengaturnya nanti.
Karena efek buru-buru itu, aku bahkan masih mengenakan kebaya dan juga kain kamen, dan tak lupa sepatu fantofel yang ada di genggaman tanganku, yang kulepas agar bisa merasakan pasir pantai ini. Aku sangat salah kostum datang ke pantai ini, aku bahkan bisa merasakan mata dari para turis yang memandangku, tapi aku tidak peduli. Aku hanya terus berjalan menuju spot yang bisa melihat matahari terbenam dengan jelas.
Setelah menemukannya, aku hanya terus berdiri, sangat tidak memungkinkan untukku duduk di pasir dengan kain ini. Walaupun kaki ini sedikit keram, tapi tak masalah, karena aku sangat mencintai pantai, matahari terbit dan juga matahari terbenam.
Hanya beberapa menit, dan perlahan matahari itu mulai turun dengan cahaya oranye yang sangat indah itu. Walaupun aku sudah sering melihatnya, tapi hal ini sama sekali tak membosankan. Setelah seharian memandangi hutan serta air terjun di Kayon, memandangi matahari terbenam di pantai juga tak buruk. Ini terapiku.
Aku bisa saja merekam atau memotret fenomena alami ini, lalu aku tinggal memandangi dari ponselku, dan aku tak perlu menempuh perjalanan jauh ke pantai ini. Hanya saja, rasanya tak akan sama ketika aku bisa memandangi secara langsung seperti ini.
Selang beberapa menit aku memandangi keindahan itu, perlahan matahari mulai hilang dan hanya menyisakan jejak oranye. Mbak Gita bahkan sering menasehatiku untuk tak selalu melakukan hal ini. Menempuh perjalanan jauh hanya untuk melihat pemandangan yang hanya beberapa menit ini.
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling pantai, beberapa orang mulai meninggalkan pantai. Seketika pandanganku terpusat pada seorang pria yang juga berdiri jauh di sampingku. Dia juga sepertinya baru pulang menyelesaikan pekerjaannya. Jasnya ia genggam di tangan, kemeja putih itu juga sudah tak rapi lagi. Jadi bukan hanya aku saja yang meninggalkan pekerjaan buru-buru hanya untuk mengejar matahari terbenam ini.
Aku sudah bersiap meninggalkan pantai ketika mataku tak sengaja menatap pria itu lagi, dan pria itu juga sedang menatapku. Wajah pria ini cukup familiar untukku, tapi aku kesulitan mengingatnya. Kami bahkan cukup lama bertatapan. Apa pria ini juga mengenalku?
Perlahan ia berjalan ke arahku, dan aku sama sekali tak bergerak dari posisiku. Aku sedikit penasaran dengan pria ini, jadi sepertinya hatiku memerintahku untuk tetap berdiri di sini menunggu pria itu.
“Enjoy the sunset?” tanya pria itu setelah sampai di hadapanku.
“Apa kita saling mengenal?” Aku mengerutkan dahiku mencoba mengingat siapa sebenarnya pria ini. Aku tak memiliki banyak teman di Bali, apalagi yang berpenampilan seperti pria ini.
“Sepertinya kamu tak mampu mengenali wajahku dengan baik, ya? Bagaimana dengan ini?” Pria itu membalik tubuhnya, memperlihatkan punggung lebarnya, “Aku bahkan belum memotong rambutku,” ucapnya.
Aku tak mengerti apa yang di maksud pria ini, dan seketika pikiranku berpusat pada satu pria dengan punggung lebar yang sama seperti ini. Hanya ada satu orang, dan itu pria yang menjadi tamu tempo hari, yang baru saja di tinggalkan oleh tunangannya.
“Ah, saya baru ingat. Maaf, ingatan saya tentang wajah orang lain sangat buruk,” ujarku menyesal.
Pria itu mulai membalikkan badannya lagi, dan memasang senyum di bibirnya yang tak ia tunjukkan saat itu. “Gak masalah, kamu juga waktu itu hanya mengingat punggungku.”
Aku hanya memberikan senyuman. Ini pertemuan tak terduga yang sangat canggung. Aku masih sama seperti minggu lalu, tak mampu memberikan reaksi lebih, kami juga tak sedekat itu untuk saling menyapa ketika bertemu seperti ini.
“Saya Erlangga.”
Pria itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan. Apa ini sangat di haruskan? Maksudku berkenalan. Ini sedikit aneh untuk ku pikirkan sendiri. Dengan ragu aku menjabat tangan yang terulur itu, hanya untuk sopan santun saja. Siapa tahu dengan begini ia akan kembali menginap di Kayon.
“Vania.”
Pria itu tersenyum lagi, dan itu membuatnya semakin tampan. Jika aku bersama Emi sekarang, mungkin kami akan berteriak berbarengan dan sibuk memandangi ketampanannya, dari jauh tentu saja.
“Apa kamu keberatan kalau kita makan malam dulu? Saya traktir, anggap saja sebagai rasa terima kasih karena sudah mendengarkan cerita saya waktu itu.”
Aku melirik arlojiku, “ Tapi mungkin saya tak bisa lama, karena saya harus kembali ke Ubud.”
Pria itu hanya tersenyum lalu memimpin jalan kami menuju rumah makan terdekat. Aku menikmati makan malam itu, tapi aku tahu kalau makan malam itu adalah awal masalah baru yang akan menimpaku.
**
Aku keluar dari ruang meeting dengan lesu. Ini bukan hanya rapat bulanan seperti biasanya. Aku tak menyangka mereka akan secepat ini mengeluarkan surat resmi pengangkatanku sebagai manajer.
“Saya sangat bahagia karena pada akhirnya kami sampai pada keputusan bahwa kamu adalah kandidat paling cocok dengan jabatan manajer ini.”
Ucapan Mister Benjamin tadi masih terngiang di telingaku dengan jelas, dengan campuran bahasa Indonesia dan logat Perancisnya, yang mengatakan hal itu. Untung dia tampan, kalau tidak mungkin aku akan mengamuk di dalam ruangan tadi.
Ini hanya terlalu cepat untukku, dan aku sangat tahu pasti banyak yang menentangnya, meski di dalam ruangan tadi mereka mengucapkan selamat dan tersenyum lebar. Aku sangat tahu kalau semua itu sangat palsu, ini bukan seperti aku yang baru satu hari bekerja pada bidang ini. Terkutuklah Mister Benjamin dengan ketampanannya itu.
Aku berjalan lunglai menuju Kepitu restoran, restoran utama di resort ini. Aku melihat mereka sedang berkumpul di dekat bar, entah apa yang mereka bicarakan. Tujuanku adalah ruang istirahat. Rapat tadi berjalan cukup lama, dan aku harus menahan kebosananku selama lebih dari sembilan puluh menit.
Baru aku ingin membuka pintu ruang istirahat, sebenarnya ini bukan ruang istirahat, hanya tempat penyimpanan cutleries dan juga beberapa linen, tapi kami sering menjadikan ruang ini sebagai tempat istirahat kami ketika tamu sedang memenuhi restoran.
Viki menahan tanganku yang akan membuka pintu, “Bu manajer, ini terlalu dini untuk istirahat,” ucap Viki. Ia menggelengkan kepalanya dengan dramatis sembari mengerakkan telunjuknya kekanan dan kiri di depan wajahku.
Aku menatapnya memelas, percayalah saat ini yang kuinginkan hanyalah duduk sebentar setelah rapat intens tadi.
“Kita harus mengadakan perayaan kecil untuk ini, kan? Bu manajer?”
Itu suara ‘si uler’ yang aku katakan kemarin, dengan nada mengejeknya yang sangat kentara. Dialah kandidat yang sangat menginginkan jabatanku sejak dulu, bahkan sangat terobsesi. Aku tak tahu kenapa Mister Benjamin tidak memberikan jabatan ini saja padanya. Dia terlihat sangat cocok.
Wanita itu sangat menyebalkan, sejak awal aku sudah tak menyukainya, dan aku sudah membencinya. Demi Lucas dan semua tato di tubuhnya, aku setidaknya harus menunjukkan sikap yang baik sebagai manajer mereka, suka atau tidak.
Aku menunjukkan senyum tipisku, lalu menghampiri kerumunan di meja bar itu, “Jadi kita harus melakukan apa?”
“Sebelum para tamu datang, kita harus merayakannya sedikit. Oneshot?” Bara menyerahkan satu sloki whiskey padaku. Dia adalah Head Bar yang sangat mumpuni dalam dunia minuman keras.
Aku menerimanya, satu tegukan whiskey tak mampu membuatku mabuk. Aku tahu itu adalah minuman haram yang sangat di larang dalam agamaku, tapi ini bukan pertama kali aku mencoba minuman ini. Tingkat toleransiku terhadap alkohol juga sangat tinggi, tapi jika Lucas mengetahui aku meminum cairan itu, akan ku sarankan kalian untuk menjauhinya. Ia sangat mengerikan ketika mengamuk.
Aku mengambil gelas kecil itu dan meneguknya dalam hitungan detik, rasanya pahit. Aku tak pernah menyukai jenis alkohol apapun itu bentuknya. Wine mungkin? Rasanya pas untukku. Oke, sebenarnya minum alkohol ketika masih dalam lingkungan pekerjaan itu sangat di larang, karena aku sudah menjadi manajer maka akan kuberikan pengecualian. Hanya hari ini saja.
“Gimana rasanya jadi manajer, aku bertaruh pasti kamu merasa berkuasa sekarang, kan?”
‘Si uler’ lagi. Dan belum saatnya kalian mengetahui namanya, aku masih belum berminat untuk memberitahukan namanya. Ceritanya akan sangat panjang, dan hanya menguras otakku saja untuk memikirkannya.
“Sepertinya begitu, jadi, kembali ke pekerjaan kalian masing-masing. Para tamu sudah menunggu.”
Aku segera membubarkan kerumunan yang sebenarnya tak ramai itu. Dengan dengusan sinis ‘si uler’ itu tentu saja yang sangat merendahkanku. Aku tak peduli, toh aku yang jadi manajer. Dan jika ia menginginkan jabatan ini, ia bisa saja meminta pada Mister Benjamin secara langsung.
“Jadi, apa sekarang aku bisa mulai mengencani manajer baru yang cantik ini?” tanya Bara. Ia tersenyum manis dan sedikit mengedipkan matanya padaku.
Bara ini hampir mirip dengan Lucas, memiliki tato di sepanjang lengannya dan aku yakin di bagian tubuhnya yang lain juga ada gambaran abstrak itu. Kulitnya sawo matang, perawakannya tinggi berisi tapi tak gemuk. Ia sangat manis ketika tersenyum di wajahnya yang kasar itu. Dan ia sangat suka menggodaku.
“Next time?” Aku berlalu dengan kerlingan mata yang juga sama menggodanya.
**
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk