Share

Bab18

Author: Elien Prita
last update Last Updated: 2022-11-07 08:06:56

Aku melewati meja resepsionis ketika selesai mengantar pesanan tamu, aku hendak bersiap pulang karena jam kerjaku sudah selesai.

“Van…”

Suara panggilan dari Ismi, salah satu resepsionis yang bertugas sore ini menghentikanku. Aku menghampirinya, “Kenapa?”

“Ada yang nyariin kamu, katanya dia temen kamu,” ucap Ismi sembari menunjuk orang yang di maksud, orang itu duduk di sofa yang membelakangi meja resepsionis.

“Tamu di sini?” Aku bertanya lagi.

“Iya, dia baru aja check-in, katanya sebelum ke villanya dia mau ketemu kamu dulu.”

Aku hanya menganggukkan kepala dan berterima kasih pada Ismi. Aku segera menghampiri orang itu. Setahuku, aku tak memiliki teman di Bali kecuali rekan kerjaku. Apa mungkin itu Lucas? Dia kemarin berjanji akan berkunjung lagi ketika cutinya sudah di terima oleh Pak Robert.

Atau yang lebih buruknya, itu Ritchie atau Tio.

Aku mendekatinya dengan perlahan, untuk memastikan siapa pria ini, “Permisi.”

Pria itu mendongakkan wajahnya, dan ini adalah wajah yang kutemui minggu lalu di Pantai Kuta. Erlangga. Kejutan macam apa ini?!

Dia sontak berdiri dan tersenyum dengan lebarnya, “Hai. Kamu gak lupa lagi dengan wajah ini, kan?” tanyanya dengan ramah.

Aku tersenyum sungkan lalu mulai menyadarkan diriku sendiri. Mungkin ia tak berniat memberiku kejutan, hanya saja eksistensinya sudah sangat mengejutkanku. Pertemuan kami waktu itu bukan jenis pertemuan yang mampu membuat kami berteman dekat seperti ini. Pria ini penuh kejutan, dan aku tidak suka dengan kejutan.

Aku tertawa sedikit, “Bapak menginap di sini?” tanyaku sopan. Kami dalam posisi tamu dan pelayannya, jadi tentu saja harus formal.

“Gak perlu terlalu formal, aku juga belum setua itu untuk di panggil Bapak.”

Pria ini masih terus menunjukkan senyum yang sangat mempesona itu. Aku tak ingin mengakuinya, tapi ia sangat tampan hingga sulit untuk menolak pesonanya. Beruntung aku memiliki kontrol diri hingga tak perlu terlalu lama mengaguminya.

“Profesionalitas kerja. Selamat menikmati villanya, mungkin kita sesekali akan bertemu,” ucapku dengan senyum tipis yang masih setia kuberikan.

“Bagaimana kalau aku ingin kita sering bertemu? Aku tak keberatan jika kita harus bertemu sesering mungkin.”

Makan malam minggu lalu itu membuatnya memaksakan diri dengan panggilan ‘aku’ agar tak terlalu formal dan lebih cepat akrab. Aku tak semudah itu mengiyakan, aku sangat menghindari seseorang yang berusaha sok dekat denganku. salahkan saja semua masa lalu burukku hingga mengubah diriku menjadi sering curiga pada orang lain.

Aku kembali menunjukkan senyum simpulku. Ia sangat tampan, dan aku hanyalah gadis biasa yang tak memiliki imun dengan pria sepertinya, tapi aku juga wanita yang memiliki pengalaman buruk terhadap pria. Pria dengan tipe ini hanya perayu ulung yang akan meninggalkan satu wanita untuk wanita lainnya, jadi aku tak akan terlalu menanggapinya.

“Selamat sore, Pak, saya permisi.”

Aku hendak berbalik ketika ia menahan pergelangan tanganku. Pria ini sangat berani.

“Jam kerja saya sudah usai, selamat berisirahat,” ucapku. Aku segera melepaskan tangannya dan benar-benar berlalu.

Aku tak ingin berurusan terlalu lama dengan pria seperti itu. Ia sangat buruk dan sangat tak cocok denganku. Dia hanya pria yang baru di putuskan tunangannya dan mencari pengalihan lain dari rasa sakit hatinya.

**

"Jadi tamu kemaren itu cowok yang Mbak bilang ganteng itu?!”

Emi sudah sangat histeris ketika gosip tentang pria yang kutemui di lobi menyebar. Siapa lagi pria yang kutemui selain Erlangga? Gosip sangat cepat menyebar, kan? Entah siapa yang memulainya, padahal aku sama sekali tak ada hubungan dengan pria itu.

Kami sedang beristirahat di loker setelah jam makan siang yang lumayan padat itu. Ini bukan bulan liburan, tapi hampir semua villa terisi sampai minggu depan. Ini menguntungkan untukku, karena aku tak perlu terlalu meladeni Erlangga yang setiap bertemu denganku pasti akan mencoba untuk mengajakku mengobrol lebih lama.

“Gak perlu histeris gitu, Mi. Aku juga gak tahu dia bakal nginep di sini lagi, kalau bisa aku gak mau ketemu dia lagi.” Aku menghela napasku lelah, entah apa yang di inginkan Erlangga dariku.

“Beruntung banget, ya, kayaknya kamu kerja di Bali. Jadi Manajer dan juga bisa dapet pria kaya dalam sekejap, aku jadi penasaran sama pelet yang kamu pakai.”

Aku menoleh ke sumber suara, dan menemukan ‘si uler’ itu sedang berdiri dengan angkuhnya di depan wastafel sambil menunjukkan wajah angkuh, yang sudah tak heran lagi tentunya. Semua tentangnya tak pernah jauh dari kata angkuh, tolong ingat-ingat kata itu untuk beberapa saat.

“Tentu saja, kamu gak merasa iri, kan? Karena kamu kayaknya pengen banget ada di posisiku ini,” balasku tak kalah angkuh.

Aku menantangnya, tentu saja. Apa kalian berpikir aku akan takut pada wanita seperti dia? Itu hanya menodai harga diriku saja, dan lagi populasi wanita seperti dia juga cukup banyak, jadi itu tak mengherankan. Aku juga sudah sering bertemu dengan wanita jenis ini.

Wajah tak terimanya terpantul di kaca wastafel dengan sangat jelas. Walaupun dia senior, tapi sifatnya sangat tak mencerminkan seorang senior, jadi bagaimana mungkin aku bisa menghargai? Mbak Gita sangat jauh lebih baik darinya. Aku juga tak pernah menginginkan jabatan ini, jika saja kalian tahu berapa banyak tanggung jawab yang ada di tanganku.

“Jangan terlalu bangga dengan posisimu saat ini, kamu tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya,” ucapnya lagi. Masih dengan gaya angkuh yang selalu ia banggakan, dan ia berlalu dari loker.

“Aku nunggu banget waktu yang tepat buat pecat dia,” ucapku spontan. Itu memang yang ada dalam benakku sejak dulu.

“Jangan di dengerin, Mbak. Dia emang ngeselin. Semua yang ada di sini juga gak suka sama dia.”

Aku mengiyakan ucapan Emi, tapi ia masih memiliki anak buah yang setia padanya. Citra namanya, dan Citra sangat menurut pada semua yang di katakan wanita itu.

Apa kalian sudah siap jika aku menceeritakan tentang ‘si uler’ ini? Karena aku dengan senang hati akan menceritakannya sekarang. Kalian harus memahami dengan baik dan pikirkan apa dia memang seburuk itu, kalau aku sendiri memang merasa dia seburuk itu, jadi biarkan aku mendeskripsikannya dengan segala ketidaksukaan yang sangat kentara jelas.

**

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pilihan Kedua   Bab 34

    Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu

  • Pilihan Kedua   Bab 33

    Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan

  • Pilihan Kedua   Bab 32

    Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku

  • Pilihan Kedua   Bab 31

    Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper

  • Pilihan Kedua   Bab 30

    “Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny

  • Pilihan Kedua   Bab 29

    “Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status