Bab 16

Aku masih bisa mengingat dengan jelas pria yang waktu itu tiba-tiba mencurahkan isi hatinya padaku, bahwa dia baru saja di putuskan oleh tunangannya. Sudah satu minggu berlalu, tapi aku bisa mengingatnya. Aku bahkan menceritakan hal itu pada Mbak Gita dan juga Emi. Mereka hanya tertawa. Tapi aku tetap mendapatkan tip yang ia janjikan.

Aku sebenarnya sudah menolaknya, aku tak ingin mengambil kesempatan ketika orang tersebut sedang menghadapi masalah. Tapi ternyata ia memaksa, dan berterima kasih sudah menemaninya. Padahal bisa di bilang aku tak melakukan apapun, aku hanya berdiri di belakangnya sampai ia memutuskan untuk pergi.

Harapanku hanya satu, semoga dia bisa segera lepas dari semua permasalahnnya. Dia terlihat seperti pria baik, walaupun senyumnya tak pernah terlihat bahkan sampai ia pergi.

“Jadi, Mbak gak minta nomor hape cowok itu? Padahal lumayan, kan dia lagi butuh hiburan gitu,” ucap Emi. Ia adalah orang yang paling heboh merespon ceritaku. Ia juga sampai menyusun skenario aneh di kepalanya itu.

Aku hanya tertawa saja mendengarnya, dia memang pria tampan. Tapi pasti ada alasan kenapa tunangannya sampai membatalkan pertunangan mereka. Dan saat ini yang terlintas di kepalaku adalah Ritchie. Inilah kenapa aku sangat menjauhi romansa, aku belum siap memulai apapun yang berhubungan dengan kisah cinta.

“Ini juga pertama kalinya Mbak Vania muji cowok ganteng, biasanya dia sama sekali gak mau akuin cowok ganteng,” lanjut Emi lagi.

Dan kali ini aku mengiyakan, selama enam bulan aku selalu tak bereaksi apapun ketika bertemu atau di kenalkan dengan pria tampan. Aku masih di bayangi oleh Ritchie, walaupun sudah tak sering.

“Tapi beneran ganteng, Mi. Kulitnya itu coklat, terus mukanya juga eksotis. Kamu kalau ketemu dia juga pasti bakal kagum sama mukanya itu.”

“Aku jadi penasaran deh, Mbak, seganteng apa dia. Sayang banget kemaren aku lagi sibuk banget, jadi gak sempat perhatiin.”

“Kalian ini, tamu pun kalian gosipin juga. Kasian cowok itu pasti gak tenang banget dia sekarang karena kerasa sama gosip kalian.” Timpal Mbak Gita.

Mbak Gita ini sudah bersuami, jadi ia sedikit lebih diam dan berbicara ketika ada sesuatu yang sangat penting. Selama aku bekerja di sini, aku tak pernah mendengar ia berkata yang tak pantas atau ikut bergosip seperti yang aku dan Emi sering lakukan. Ia sangat bijak, dan selalu menjadi senior panutanku di sini.

“Mbak aku pulang duluan, ya,” ucapku dengan terburu-buru. Barang-barang yang ada di loker, kumasukkan begitu saja ke dalam tasku.

Jam pulangku sudah sejak setengah jam yang lalu, tapi karena aku mengobrol dengan Mbak Gita dan Emi, aku jadi sedikit lupa kalau sore ini aku harus menempuh perjalanan panjang menuju Kuta.

“Buru-buru banget, Van, biasanya kamu sampai malam. Besok kamu juga libur, kan?” tanya Mbak Gita.

Aku memang selalu pulang lewat dari jam pulangku, karena kebiasaan jadi aku susah menghilangkannya. Tapi hari ini pengecualian.

“Aku mau ke Kuta, Mbak. Jadi harus buru-buru,”

“Pasti mau ngejar sunset, kan?” tebak Emi.

Aku hanya memberikan cengiran pada Emi. Ia sudah sangat tahu kebiasaanku. Mbak Gita juga tahu tentang kebiasaannku ini.

“Hati-hati, Van!”

Aku hanya melambaikan tangan pada kedua orang tersebut. Perjalanan ke Kuta membutuhkan waktu setidaknya tujuh puluh menit, jika tidak mengalami kemacetan. Mengejar matahari terbenam sudah seperti kebiasaan untukku, itu mengasyikkan dan mampu menghilangkan rasa stresku.

**