Share

Pilihan Kedua
Pilihan Kedua
Penulis: Elien Prita

Bab 1

Aku menatap keadaan restoran didepanku. Ramai dan padat. Siang ini memang ada buffet lunch dari perusahaan yang sedang mengadakan rapat. Aku memastikan semua timku mengerjakan setiap tugasnya masing-masing. Terkadang aku ikut melayani tamu-tamu itu seperti yang lainnya, hanya saja hari ini aku terlalu lelah.

"Wi, aku makan dulu dikantin ya. Nanti kita gantian." Ucapku pada Dwi, orang kepercayaanku yang in charge di bar siang ini.

"Okay, take your time. Kamu udah pucet banget itu."

Aku berjalan kekantin dengan gontai. Aku butuh makan. Malam ini sepertinya akan lembur karna masih ada buffet dinner yang menanti. Pekerjaan ini menyenangkan tapi juga melelahkan untukku. Dan ini bukan pengalaman baruku bekerja di bidang ini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun aku menjadi waitress, dan karena kinerjaku yang cukup bagus jabatanku mulai naik menjadi supervisor.

Bisa di bilang itu merupakan waktu yang singkat untuk naik jabatan, tapi toh aku bangga. Aku mendapatkannya karena kerja kerasku selama ini.

Aku melihat kantin yang masih agak ramai dan tidak ada kursi kosong. Aku menghembuskan nafas lelah, aku tidak akan bisa istirahat jika seperti ini. Aku membelokkan diri untuk menuju ruang loker dan ketika melewati loker pria aku melihat Ritchie yang juga baru keluar dari ruang lokernya.

"Van..." sapanya. Langkahku seketika berhenti mendengar panggilan itu. Aku menatapnya, tampan seperti biasa dengan seragam chefnya.

"Kamu udah makan? Kok pucet banget?" Dia bertanya dengan kekhawatirannya. Aku menyukainya, itu artinya dia masih peduli, kan?

"Kantin rame banget, kamu gak di kitchen? Lagi rame, kan?"

"Ada yang handle. Ke gazebo mau? Sambil nunggu kantin sepi," ajaknya.

"Tapi aku udah laper banget, lesehan aja deh dikantin," ucapku entah pada siapa. Lebih tepatnya aku sedang berusaha menghindarinya.

Lalu aku segera berbelok ke kantin lagi, untuk menghindarinya. Aku sangat menyukai perhatiannya, tapi entah kenapa aku takut.

Kami sudah berpacaran selama hampir dua tahun. Aku sebenarnya tak terlalu yakin bagaimana kami bisa mulai berpacaran, semua terjadi begitu cepat. Hingga sekarang ini aku tak yakin dengan hubungan kami. Dan hampir seluruh karyawan di hotel ini tahu bahwa kami berpacaran.

Beberapa kursi sudah kosong dikantin. Untunglah. Ketika aku sudah duduk dengan makananku, aku melihat Ritchie masuk kekantin. Aneh sebenarnya melihat dia dikantin ini, dia jarang makan dikantin apalagi berdua denganku.

Kami sangat jarang menunjukkan kebersamaan di hotel ini, bahkan hubungan kami semakin lama semakin dingin. Banyak yang menjuluki kami pasangan yang tak seperti pasangan pada umumnya. Komunikasi yang kami lakukan di hotel hanya sebatas urusan pekerjaan, di luar itu pun kami juga tak menunjukkan apa yang orang lain sebut dengan pacaran.

"Tumben kamu makan dikantin?" Tanyaku ketika ia sudah duduk didepanku.

Dia tertawa mendengar ucapanku. "Aneh, ya? Apalagi kita makan berdua dikantin ini." Ucapnya, dengan senyum yang masih belum hilang.

"Kamu kenapa hari ini, kok banyak senyum banget?"

"Makan aja, Van. Muka kamu itu pucet banget. Oh ya, nanti kamu pulang jam berapa? Kita bareng, ya?"

"Gak bisa deh kayaknya. Ada buffet dinner malam ini. Emang kamu gak incharge?"

"Aku udah minta Tio gantiin, tapi kalo kamu in charge malam ini aku ikutan deh, males balik sendirian."

"Kamu bener-bener aneh, deh hari ini."

Aku hanya menggelengkan kepala. Masih tak percaya dengan kelakuan Ritchie hari ini. Biasanya kalau kami berada di shift yang sama, kami memang pulang berdua. Tapi kami berdua bukan tipe yang akan uring-uringan jika tak pulang bersama. Tapi ini, apa mungkin Ritchie baru saja terbentur kompor di dapurnya?

**

Buffet lunch sudah selesai, sekarang tinggal menyiapkan buffet dinner. Harusnya aku pulang jam 3 sore ini, tapi berhubung Manajer sedang tidak ditempat jadi aku harus menggantikannya memantau tim melakukan tugas yang sudah di berikan.

Aku sedang melakukan pengarahan untuk buffet dinner nanti malam, kebetulan pengarahan kali ini dilakukan di koridor antara jalan menuju restoran dan dapur. Kami memang sering melakukannya disini agar tidak terlalu formal. Walaupun sudah supervisor disini, tapi aku tidak ingin timku merasa ada jenjang diantara kami.

"Oke, semuanya, udah pada ngerti, kan tugasnya masing-masing? Jangan sampai ada kesalahan malam ini."

Aku mengakhiri pengarahan ini dan semuanya mulai kembali ke aktifitasnya masing-masing. Ini melelahkan dan sepertinya aku banyak mengeluh belakangan ini. Ini bukan seperti aku. Tapi walaupun begitu aku tetap melakukannya berulang-ulang.

Aku bersandar didinding koridor. Aku sangat ingin bertemu dengan kasur dan bantalku. Minggu ini sangat padat event. Aku menatap kearah dapur dan mereka sama sibuknya dengan kami, aku jadi ingin melihat Ritchie.

Seberapa keras pun hatiku meragukan Ritchie, aku tetap mengharapkan kehadirannya sebagai obat dari segala rasa lelahku. Dan aku sudah seperti budak cintanya. Aku bisa merasakan bahwa ia sudah tak memiliki rasa cinta yang seperti dulu. Lalu aku dengan bodohnya mampu menerima semua itu dan berharap suatu saat Ritchie akan berubah.

Seperti menjawab suara hatiku, aku tiba-tiba dikejutkan dengan seseorang yang menepuk bahuku. Aku menoleh dan Ritchie ada disebelahku.

"Kamu kenapa, Van? Kalo gak kuat pulang aja, deh."

"Pengennya, tapi belum selesai kerjaannya." Seandainya bukan di hotel aku pasti akan memeluknya sekarang.

"Ya udah sebelum di restoran keadaannya jadi hectic, mending istirahat dulu. Aku balik ke dapur dulu, ya."

Ritchie mengelus kepalaku sebelum pergi, hal yang paling aku suka. Dan aku tersenyum hanya karena hal itu. Dan jika sudah seperti ini aku akan melupakan keraguan yang sesaat aku rasakan. Aku terkadang ingin memaki diriku sendiri karena sifat yang sangat di luar batas kendali kewarasan.

Aku tetap memutuskan untuk menuju lokerku, berbaring sebentar mungkin mampu menjernihkan pikiranku. Tapi ketika melewati kantin aku berhenti karena Ina yang melambaikan tangannya padaku, menyuruhku menghampirinya.

“Lemes banget sih, gak dapet jatah dari Ritchie apa gimana?” Ina dan mulut ceplas ceplosnya itu tak pernah berubah sejak dulu.

Aku hanya menopangkan tanganku di dagu dan menatap Ina dengan malas. “Kayaknya sih, gitu. Mungkin besok aku bakal nyari berondong buat mengatasi hasrat kelelahan ini.”

Ina tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Sepertinya aku tak bermaksud melawak, tapi Ina selalu tertawa jika aku sudah menimpali ucapan ngawurnya.

“Aku bener-bener nunggu sampe kamu bisa ngelakuin apa yang kamu bilang itu.”

Aku mendelik mendengar ucapannya yang seperti mengejekku—dan memang seperti itu—tapi aku mengabaikannya.

“Lagian kamu juga jadi cewek terlalu lurus banget, get laid lah sekali-kali. Apalagi pacar kamu modelan kayak Ritchie.”

Aku melotot mendengar ucapan Ina. Well, tak heran lagi sebenarnya dengan semua ucapan frontalnya. Mungkin kali ini terlalu frontal, apalagi ini masih di kantin. Ada ibu kantin dan beberapa staf yang mendengarkan obrolan kami.

“Language, please!” Aku mengisyaratkannya untuk memelankan suara yang menurutku lumayan keras untuk di dengar orang lain.

Ina mengabaikan isyarat yang aku berikan. “Sampai kapan juga kamu mau bertahan sama Ritchie? Aku kan udah sering bilang kalo—“

Aku menginjak kakinya dengan cepat karena aku rasa ia tak akan berhenti dalam waktu dekat dan aku sudah melihat Tsania berjalan masuk ke kantin ini. Dan untungnya Ina menangkap dengan cepat isyaratku kali ini.

“Cuti kali ini kamu mau kemana?”

Aku tergagap mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Ina, aku pikir ia hanya akan diam. “Bali kayaknya asyik.” Aku menjawab dengan asal.

“Pilihan yang bagus. Setidaknya kamu bisa menyegarkan pikiran kamu, kamu tahu, pria ini sama sekali gak berarti apapun buat bikin kamu kayak gini.”

Dan sekarang ini aku benar-benar tak habis pikir dengan ke-frontalan Ina yang sulit hilang ini. Aku tak bisa melakukan apapun selain menggeleng dengan dramatis.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status