Aku menatap keadaan restoran didepanku. Ramai dan padat. Siang ini memang ada buffet lunch dari perusahaan yang sedang mengadakan rapat. Aku memastikan semua timku mengerjakan setiap tugasnya masing-masing. Terkadang aku ikut melayani tamu-tamu itu seperti yang lainnya, hanya saja hari ini aku terlalu lelah.
"Wi, aku makan dulu dikantin ya. Nanti kita gantian." Ucapku pada Dwi, orang kepercayaanku yang in charge di bar siang ini.
"Okay, take your time. Kamu udah pucet banget itu."
Aku berjalan kekantin dengan gontai. Aku butuh makan. Malam ini sepertinya akan lembur karna masih ada buffet dinner yang menanti. Pekerjaan ini menyenangkan tapi juga melelahkan untukku. Dan ini bukan pengalaman baruku bekerja di bidang ini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun aku menjadi waitress, dan karena kinerjaku yang cukup bagus jabatanku mulai naik menjadi supervisor.
Bisa di bilang itu merupakan waktu yang singkat untuk naik jabatan, tapi toh aku bangga. Aku mendapatkannya karena kerja kerasku selama ini.
Aku melihat kantin yang masih agak ramai dan tidak ada kursi kosong. Aku menghembuskan nafas lelah, aku tidak akan bisa istirahat jika seperti ini. Aku membelokkan diri untuk menuju ruang loker dan ketika melewati loker pria aku melihat Ritchie yang juga baru keluar dari ruang lokernya.
"Van..." sapanya. Langkahku seketika berhenti mendengar panggilan itu. Aku menatapnya, tampan seperti biasa dengan seragam chefnya.
"Kamu udah makan? Kok pucet banget?" Dia bertanya dengan kekhawatirannya. Aku menyukainya, itu artinya dia masih peduli, kan?
"Kantin rame banget, kamu gak di kitchen? Lagi rame, kan?"
"Ada yang handle. Ke gazebo mau? Sambil nunggu kantin sepi," ajaknya.
"Tapi aku udah laper banget, lesehan aja deh dikantin," ucapku entah pada siapa. Lebih tepatnya aku sedang berusaha menghindarinya.
Lalu aku segera berbelok ke kantin lagi, untuk menghindarinya. Aku sangat menyukai perhatiannya, tapi entah kenapa aku takut.
Kami sudah berpacaran selama hampir dua tahun. Aku sebenarnya tak terlalu yakin bagaimana kami bisa mulai berpacaran, semua terjadi begitu cepat. Hingga sekarang ini aku tak yakin dengan hubungan kami. Dan hampir seluruh karyawan di hotel ini tahu bahwa kami berpacaran.
Beberapa kursi sudah kosong dikantin. Untunglah. Ketika aku sudah duduk dengan makananku, aku melihat Ritchie masuk kekantin. Aneh sebenarnya melihat dia dikantin ini, dia jarang makan dikantin apalagi berdua denganku.
Kami sangat jarang menunjukkan kebersamaan di hotel ini, bahkan hubungan kami semakin lama semakin dingin. Banyak yang menjuluki kami pasangan yang tak seperti pasangan pada umumnya. Komunikasi yang kami lakukan di hotel hanya sebatas urusan pekerjaan, di luar itu pun kami juga tak menunjukkan apa yang orang lain sebut dengan pacaran.
"Tumben kamu makan dikantin?" Tanyaku ketika ia sudah duduk didepanku.
Dia tertawa mendengar ucapanku. "Aneh, ya? Apalagi kita makan berdua dikantin ini." Ucapnya, dengan senyum yang masih belum hilang.
"Kamu kenapa hari ini, kok banyak senyum banget?"
"Makan aja, Van. Muka kamu itu pucet banget. Oh ya, nanti kamu pulang jam berapa? Kita bareng, ya?"
"Gak bisa deh kayaknya. Ada buffet dinner malam ini. Emang kamu gak incharge?"
"Aku udah minta Tio gantiin, tapi kalo kamu in charge malam ini aku ikutan deh, males balik sendirian."
"Kamu bener-bener aneh, deh hari ini."
Aku hanya menggelengkan kepala. Masih tak percaya dengan kelakuan Ritchie hari ini. Biasanya kalau kami berada di shift yang sama, kami memang pulang berdua. Tapi kami berdua bukan tipe yang akan uring-uringan jika tak pulang bersama. Tapi ini, apa mungkin Ritchie baru saja terbentur kompor di dapurnya?
**
Buffet lunch sudah selesai, sekarang tinggal menyiapkan buffet dinner. Harusnya aku pulang jam 3 sore ini, tapi berhubung Manajer sedang tidak ditempat jadi aku harus menggantikannya memantau tim melakukan tugas yang sudah di berikan.
Aku sedang melakukan pengarahan untuk buffet dinner nanti malam, kebetulan pengarahan kali ini dilakukan di koridor antara jalan menuju restoran dan dapur. Kami memang sering melakukannya disini agar tidak terlalu formal. Walaupun sudah supervisor disini, tapi aku tidak ingin timku merasa ada jenjang diantara kami.
"Oke, semuanya, udah pada ngerti, kan tugasnya masing-masing? Jangan sampai ada kesalahan malam ini."
Aku mengakhiri pengarahan ini dan semuanya mulai kembali ke aktifitasnya masing-masing. Ini melelahkan dan sepertinya aku banyak mengeluh belakangan ini. Ini bukan seperti aku. Tapi walaupun begitu aku tetap melakukannya berulang-ulang.
Aku bersandar didinding koridor. Aku sangat ingin bertemu dengan kasur dan bantalku. Minggu ini sangat padat event. Aku menatap kearah dapur dan mereka sama sibuknya dengan kami, aku jadi ingin melihat Ritchie.
Seberapa keras pun hatiku meragukan Ritchie, aku tetap mengharapkan kehadirannya sebagai obat dari segala rasa lelahku. Dan aku sudah seperti budak cintanya. Aku bisa merasakan bahwa ia sudah tak memiliki rasa cinta yang seperti dulu. Lalu aku dengan bodohnya mampu menerima semua itu dan berharap suatu saat Ritchie akan berubah.
Seperti menjawab suara hatiku, aku tiba-tiba dikejutkan dengan seseorang yang menepuk bahuku. Aku menoleh dan Ritchie ada disebelahku.
"Kamu kenapa, Van? Kalo gak kuat pulang aja, deh."
"Pengennya, tapi belum selesai kerjaannya." Seandainya bukan di hotel aku pasti akan memeluknya sekarang.
"Ya udah sebelum di restoran keadaannya jadi hectic, mending istirahat dulu. Aku balik ke dapur dulu, ya."
Ritchie mengelus kepalaku sebelum pergi, hal yang paling aku suka. Dan aku tersenyum hanya karena hal itu. Dan jika sudah seperti ini aku akan melupakan keraguan yang sesaat aku rasakan. Aku terkadang ingin memaki diriku sendiri karena sifat yang sangat di luar batas kendali kewarasan.
Aku tetap memutuskan untuk menuju lokerku, berbaring sebentar mungkin mampu menjernihkan pikiranku. Tapi ketika melewati kantin aku berhenti karena Ina yang melambaikan tangannya padaku, menyuruhku menghampirinya.
“Lemes banget sih, gak dapet jatah dari Ritchie apa gimana?” Ina dan mulut ceplas ceplosnya itu tak pernah berubah sejak dulu.
Aku hanya menopangkan tanganku di dagu dan menatap Ina dengan malas. “Kayaknya sih, gitu. Mungkin besok aku bakal nyari berondong buat mengatasi hasrat kelelahan ini.”
Ina tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Sepertinya aku tak bermaksud melawak, tapi Ina selalu tertawa jika aku sudah menimpali ucapan ngawurnya.
“Aku bener-bener nunggu sampe kamu bisa ngelakuin apa yang kamu bilang itu.”
Aku mendelik mendengar ucapannya yang seperti mengejekku—dan memang seperti itu—tapi aku mengabaikannya.
“Lagian kamu juga jadi cewek terlalu lurus banget, get laid lah sekali-kali. Apalagi pacar kamu modelan kayak Ritchie.”
Aku melotot mendengar ucapan Ina. Well, tak heran lagi sebenarnya dengan semua ucapan frontalnya. Mungkin kali ini terlalu frontal, apalagi ini masih di kantin. Ada ibu kantin dan beberapa staf yang mendengarkan obrolan kami.
“Language, please!” Aku mengisyaratkannya untuk memelankan suara yang menurutku lumayan keras untuk di dengar orang lain.
Ina mengabaikan isyarat yang aku berikan. “Sampai kapan juga kamu mau bertahan sama Ritchie? Aku kan udah sering bilang kalo—“
Aku menginjak kakinya dengan cepat karena aku rasa ia tak akan berhenti dalam waktu dekat dan aku sudah melihat Tsania berjalan masuk ke kantin ini. Dan untungnya Ina menangkap dengan cepat isyaratku kali ini.
“Cuti kali ini kamu mau kemana?”
Aku tergagap mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Ina, aku pikir ia hanya akan diam. “Bali kayaknya asyik.” Aku menjawab dengan asal.
“Pilihan yang bagus. Setidaknya kamu bisa menyegarkan pikiran kamu, kamu tahu, pria ini sama sekali gak berarti apapun buat bikin kamu kayak gini.”
Dan sekarang ini aku benar-benar tak habis pikir dengan ke-frontalan Ina yang sulit hilang ini. Aku tak bisa melakukan apapun selain menggeleng dengan dramatis.
**
Aku menatap keadaan restoran pagi ini, tamu sangat ramai hari ini karena akhir pekan. Dan aku sekali lagi merelakan akhir minggu ini dengan bekerja. Harusnya hari ini aku akan berkumpul bersama-sama teman kuliahku dulu.Aku juga sebenarnya lebih memilih bekerja di banding harus berkumpul, apalagi tidak ada Ina di sana. Aku kenal mereka melalui Ina, dan aku juga tidak terlalu akrab dengan mereka. Well, sangat mampu di bayangkan bagaimana suasana yang tercipta nantinya. Padahal Ina sudah memaksaku mati-matian untuk berkumpul bersama mereka, tapi dengan alasan Pak Robert—Manajerku—memintaku menggantikannya, ia bisa menerimanya.Aku bukan orang yang anti sosial, aku lebih ke penyendiri. Dan itu adalah dua keadaan yang berbeda. Aku sudah menghabiskan waktuku hampir seharian bekerja yang menuntutku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan aku bertemu berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Jadi aku sangat membatasi pergaulanku, dan itu terbukti hanya Ina sahabatku, tempat aku
Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak
Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya. Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.Ritchie calling... Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Ak
Akhirnya karena aku bersikeras melihat sunset, Tio mengajakku melihat sunset dari jembatan Barelang. Not bad, tapi pasti akan lebih indah jika bisa melihatnya langsung di pantai. Dan setelah itu kami segera pulang karena memang sudah hampir malam. "Happy?" Tio bertanya setelah kami dalam perjalanan pulang, dia tidak banyak bertanya sejak tadi kami sampai di pantai dan juga makan malam. Aku juga tak ingin mengungkit masalahku dan hanya menikmati liburan singkat ku dan berbagai cerita lucu yang Tio ceritakan. Jika bisa mungkin aku akan membuang semua masalahku di pantai tadi, sehingga aku tak perlu membawanya bersamaku lagi. "Ya, aku gak tahu apa jadinya kalau aku gak ngajakin kamu pergi tadi." Itu saja, aku belum sanggup menambah cerita kepada orang lain. "Ini ada hubungannya sama Ritchie, ya?" Ini dia. Things I wouldn't tell anyone, but he knows. "Kami putus." Tio tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. "Kamu serius? Tapi kenapa?" "Gak perlu kaget gitu kali, kamu pasti udah nyangk
Pagi ini aku terlihat segar dan ceria. Aku bahkan menyapa seluruh karyawan yang aku temui di koridor dan di restoran. Tapi ini tidak berarti mood ku telah kembali, aku tidak ingin terlihat lemah dan aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja walau sudah putus dari Ritchie. Dia tak sepenting itu sehingga bisa terus mempengaruhiku. "Jadi kayaknya kalo diliat dari gelagat kamu, semalam kamu itu gak beneran sakit, kan?" Lucas menyapaku di area bar dengan senyuman yang mampu melelehkan hati para tamu dan karyawan wanita di sini. Aku menaikkan alisku pura-pura tak mengerti. "Kamu gak percaya sama aku, Luke? Jadi arti pertemanan kita selama ini apa?" Aku mengatakannya dengan helaan nafas yang kubuat sedemikian rupa. "Kali ini aku percaya kalo kamu sakit." Lucas menatapku seolah-olah aku adalah hal yang paling menjijikkan di dunia ini. Satu hal yang tak bisa di terima Lucas, aku yang menunjukkan aktingku dengan pura-pura lelah dan pura-pura imut. Aku hanya tertawa mendengar kalimatnya.
Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka. Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku. Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko p
Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak
Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket