Share

Bab 2

Aku menatap keadaan restoran pagi ini, tamu sangat ramai hari ini karena akhir pekan. Dan aku sekali lagi merelakan akhir minggu ini dengan bekerja. Harusnya hari ini aku akan berkumpul bersama-sama teman kuliahku dulu.

Aku juga sebenarnya lebih memilih bekerja di banding harus berkumpul, apalagi tidak ada Ina di sana. Aku kenal mereka melalui Ina, dan aku juga tidak terlalu akrab dengan mereka. Well, sangat mampu di bayangkan bagaimana suasana yang tercipta nantinya. Padahal Ina sudah memaksaku mati-matian untuk berkumpul bersama mereka, tapi dengan alasan Pak Robert—Manajerku—memintaku menggantikannya, ia bisa menerimanya.

Aku bukan orang yang anti sosial, aku lebih ke penyendiri. Dan itu adalah dua keadaan yang berbeda. Aku sudah menghabiskan waktuku hampir seharian bekerja yang menuntutku untuk berinteraksi dengan orang lain, dan aku bertemu berbagai macam karakter yang kebanyakan menyebalkan. Jadi aku sangat membatasi pergaulanku, dan itu terbukti hanya Ina sahabatku, tempat aku menuangkan segala keluh kesahku.

Tentang pekerjaanku ini, aku bukan tak menyukainya, lagipula ini pilihanku jadi sangat tak mungkin aku membencinya. Tapi terkadang kalian pasti pernah mengalami ketika kalian benar-benar lelah, tanpa sebab, hanya lelah. Itulah yang saat ini aku alami. Sebenarnya semua berawal ketika aku mulai meragukan hubunganku dengan Ritchie.

"Capek, mbak?" Tanya Dwi yang sedari tadi memperhatikan gerak gerikku. Dia merupakan juniorku dikampus dulu dan kami dipertemukan pada satu pekerjaan yang sama lagi.

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Yah, harusnya libur hari ini, tapi Pak Robert lagi gak ditempat."

Sebenarnya pekerjaanku tidak terlalu sulit, hanya perlu memonitor para teman-temanku lalu memutuskan langkah selanjutnya bagaimana serta tanggung jawabnya. Hanya bagian tanggung jawabnya saja yang sulit.

Dwi tidak membalas jawabanku, akupun segera beranjak menghampiri tamu yang memanggilku.

"Mbak saya mau order menu ala carte-nya, dong." Ucap tamu tadi ramah, untung tamu Indonesia.

Aku segera mengambilkan menu dan menyerahkannya kepada sang tamu. "Silahkan, Bu."

Tamu tadi melihat-lihat menu yang ada dan aku harus menunggu dengan sabar. Sebenarnya dari sinilah aku belajar tentang kesabaran, sabar menghadapi tamu yang memiliki kepribadian yang unik dan sifatnya yang beragam.

"Pan seared tuna with Greek salad aja deh." Ucap tamu itu akhirnya. Aku segera mencatatnya dan mengulang pesanannya untuk memastikan bahwa aku tidak salah catat.

Aku segera membawa pesanan tersebut menuju dapur. "Pan seared tuna with Greek salad satu porsi." Aku berteriak dengan lantang. Ini salah satu kelebihanku juga. Suara nyaring.

Tio yang muncul dan memperhatikanku. "Kusut aja mukanya, Van. Laper, ya?"

"Berisik. Aku tungguin, buruan dibikin." Aku menampilkan wajah garangku.

Aku selalu sensitif dengan hal-hal kecil saat ini, mungkin karena efek kelelahan. Dan aku harus menunggu lagi? Bless my life, God!

Tiba-tiba pintu ruangan executive chef terbuka dan muncul wajah Ritchie, bersama Tsania. Aku sedikit terkejut tentu saja, apa yang mereka lakukan di ruangan itu ketika pemilik ruangannya tak ada di sana?

"Hai Van, tumben weekend gini masuk?" Sapa Tsania dengan polos.

Note that! Dia bertanya dengan wajah polos seolah tak ada kejadian apapun, padahal dia keluar dari ruangan eksekutif yang sudah pasti kosong hanya berdua dengan Ritchie. Dan semua orang juga tahu kalau Ritchie sudah memiliki pacar, begitu pun dengan Tsania. Dan ini semakin memperkuat keputusanku untuk mengakhiri hubungan ini.

Tsania adalah Pastry Chef de Partie. Dia yang bertanggung jawab atas semua dessert yang ada di restoran. Dan dia juga yang bertanggung jawab atas hubunganku dengan Ritchie yang semakin tak berujung.

Ritchie menyukai Tsania sejak dulu, dan semua karyawan hotel ini juga tahu mengenai itu. Lalu aku? Sedikit lucu ketika memikirkan hubungan kami yang tak memiliki kejelasan seperti ini. Hubungan ini jelas, hanya pria yang nyatanya pacarku tak memiliki kejelasan.

Ingat, kan? Ketika aku mengatakan bahwa aku sama sekali tak tahu bagaimana aku bisa berpacaran dengan Ritchie? Ya. Hal itu juga yang selalu membuat hatiku ragu. Maksudku, dia menyukai Tsania dan justru berpacaran denganku. Mereka sudah sangat akrab, dan aku lebih seperti orang ketiga dalam hubungan mereka.

"Gantiin pak Robert..." Ucapku acuh.

Tingg...

Tio membunyikan bel kecil menandakan makanan sudah selesai.

"Buruuan di bawa, nanti rasa makanannya gak enak." Tio menampilkan senyum manisnya yang sangat menggoda menurutnya.

"Great!" Aku tersenyum simpul kearah Ritchie dan Tsania dan segera berlalu dengan makanan pesanan tamu itu.

**

Aku duduk melamun dikantin mengaduk-aduk makanan yang sama sekali tak aku cicipi. Aku berpikir tentang Ritchie dan Tsania tadi. Mereka terlihat dekat dan aku cemburu. Wajar, kan? Dan aku sudah merasakan kecemburuan itu sejak awal hubungan kami. Itu benar-benar terjadi padaku dan Ritchie pelakunya.

Tahu apa yang aku lakukan atas perbuatannya?

Aku terus memaafkannya dan berlagak kuat, seolah tak terganggu sama sekali dengan kelakuannya. Ritchie memiliki wajah oriental yang tampan, kalian tahu idola Korea yang banyak di gandrungi remaja saat ini? Penggambaran fisiknya kurang lebih seperti itu. Tipe-tipe flower boy. Dan dia selalu menikmati saat-saat para wanita memujanya.

Dan dari cerita yang ia ceritakan padaku, ia dan Tsania lulus dari kampus yang sama. Mereka sudah bersahabat sejak awal perkuliahan dan bahkan sampai mereka lulus kuliah, lalu mereka juga memutuskan melamar pekerjaan di tempat yang sama, dan kelanjutannya adalah yang aku ceritakan ini.

Ritchie bahkan pernah mengatakan padaku bahwa dulu ia sempat menyukai Tsania. Tapi saat itu aku berpikiran positif, dan tetap mempercayai ucapan cinta yang selalu ia ulang-ulang itu. Bodoh, kan?

Ya. Kalian boleh memakiku, tapi yang perlu kalian tahu, itulah yang akan kalian lakukan ketika sudah mempercayakan hati kalian pada satu orang dan meletakkan harapan tertinggi padanya. Aku yakin kalian pernah melakukan hal itu setidaknya sekali dalam hidup kalian, atau mungkin lebih dari sekali.

"Van..."

“Vania!”

Aku tersadar dari lamunanku dan menemukan Tio yang berdiri di samping meja tempatku makan.

 "Aku boleh gabung?"

Aku hanya menganggukkan kepala, masih terlalu tenggelam dalam lamunanku untuk sekedar membalas Tio dan tanpa di minta dua kali ia segera duduk di hadapanku..

"Perasaan mukamu makin kusut aja, balik aja sana kalo emang capek banget." Tio memberikan wajah khawatirnya dan aku lagi-lagi tersenyum. Apa semenyedihkan itu wajahku ini?

"I'm fine. Cuma kepikiran sesuatu aja."

"Kepikiran Ritchie sama Tsania, ya?"

Well, Tio sangat mengerti aku lebih dari Ritchie, dan terkadang aku sangat menyukai perhatian kecil seperti ini. Sepertinya aku sangat kekurangan kasih sayang, hingga dengan perhatian sekecil itu membuat hatiku menghangat.

"Kamu kerja sampingan jadi paranormal, ya?" Aku terkekeh melihatnya.

"Muka kamu itu nunjukin segalanya dan gampang banget ketebaknya."Aku mencibirnya.

Tio ini sebenarnya tak kalah tampan dari Ritchie, yang membedakan adalah warna kulit Tio lebih gelap. Tapi garis rahangnya lebih tajam di banding Ritchie sehingga wajahnya lebih terlihat jantan di banding Ritchie yang lebih lembut. Dan Tio juga lebih humoris dan mampu menanggapi lelucon apapun yang di berikan padanya.

"Bulan depan Chef Marti resign dan katanya kandidat yang paling meyakinkan buat penggantinya ya Ritchie, jadi itu kenapa tadi mereka ngobrol berdua diruangannya Chef Marti."

Aku mengernyit mendengar jawaban Tio, seperti ada yang aneh. "Dan?"

"Well, mereka sama-sama chef de partie, mungkin mereka bahas siapa yang lebih cocok di posisi eksekutif, maybe. Not really sure, actually." Tio hanya menampilkan cengirannya setelah ucapannya.

“Kalo kamu gak yakin, ngapain ngomongin ini. Gak perlu bela mereka di depan aku, Yo.”

“Aku gak belain mereka, kalo-kalo kamu cemburu aja. Tapi aku juga pengen tahu sih, mereka ngapain aja di dalem sana berdua. Dan kamu tahu? Ruangan itu kedap suara.” Tio menaik turunkan alisnya dan menatapku penuh arti.

Aku mendelik melihat tatapan Tio. Aku tahu maksudnya, ia mencoba membuatku semakin cemburu. “Gak ada efeknya semua yang kamu omongin—“

“Ada kalo kamu mau dengerin semua ucapanku dan mulai sadar kalo Ritchie sama sekali gak seberharga itu buat di perjuangin apalagi selalu kamu maafin.”

**

Aku kembali dari makan siangku yang sangat melelahkan, harusnya itu bisa membuatku lebih santai tapi sepertinya istirahat hanya menambah beban hidupku, ditambah aku selalu memikirkan segala hal dengan keras yang hanya menambah beban pikiranku.

Aku segera menyuruh Dwi untuk bergantian makan siang, dia sebenarnya bekerja lebih keras dibadingkan aku tetapi ia terlihat tanpa beban. Sepertinya hanya aku yang memiliki beban berat seperti ini. Ini juga salahku, jika saja aku tak terlibat percintaan rumit seperti ini, mungkin aku akan lebih ceria dan bisa melakukan apapun yang aku mau.

Pekerjaan hari ini cukup santai walau restoran hari ini terlihat ramai, mungkin karena weekend dan aku bersyukur karenanya, setidaknya ada pengalih pikiran untuk saat ini. Ada satu hal yang sangat aku sukai ketika melayani tamu, sebenarnya ini hanya hal sederhana tetapi akan sangat spesial ketika yang aku layani adalah tamu luar negeri. Aku sangat suka melayani mereka, berbincang dengan mereka, terkadang bertukar sosial media. Aku juga sama seperti perempuan lainnya yang akan bersorak kegirangan ketika melihat tamu bule, apalagi yang wajahnya hampir menyerupai Bradd Pitt, tapi tidak semua bule seperti itu, hanya satu dari sekian yang seperti itu.

Ketika aku baru memasuki restoran, Sinta sudah menyambutku dengan senyuman penuh arti. "Mbak, your guest is waiting!" Ucapnya riang lalu berlalu dari hadapanku.

Aku sangat mengenal 'your guest' yang dimaksud sinta ini. Dia bukan tamu di hotel, tapi setiap weekend selalu menyempatkan dirinya makan direstoran ini. Yang aku tahu dia bekerja disalah satu perusahaan di Singapur, tapi aslinya dia adalah orang Filipina. Wajahnya sangat khas Asia, rautnya selalu datar dan sangat irit bicara, dan hanya aku yang selalu menyapa ketika karyawan lain yang sedang incharge enggan mendekatinya dan itu berlangsung hingga sekarang. Hanya aku yang akan melayani ketika ia makan di restoran ini. Karyawan lain selalu mengatakan ia makan disini hanya untuk bertemu denganku, dan ketika aku bertanya hal tersebut ia hanya mengiyakan saja.

"Hey Mister, mencariku?" Sapaku padanya.

Dan yang menguntungkan adalah, ia bisa mengerti omonganku, hanya saja ia tak ingin berbicara bahasa. Menguntungkan dan menyebalkan disaat bersamaan.

"Yes and no." Ucapnya sambil mengangkat bahu.

Kami sudah berteman, semenjak pertama aku menyapanya—enam bulan yang lalu—hingga sekarang. Dan setelah berteman dengannya aku baru mengerti apa maksud dari pepatah 'don't judge book by it's cover', karena dia sangat humoris dibalik wajah dinginnya itu.

"Pesanan seperti biasa?"

"Yeah, and for you too. I want you stay with me while I enjoy my food." Dia memandangku cukup lama sebelum mengeluarkan senyuman manisnya. Manis? Ya karena senyumnya memang manis, di tambah dengan wajah dingin tampan itu. Aku menyukai perpaduan wajah seperti itu.

"David, I've told you before, right? I'm not talking, sit, and eating while in my shift..."

"Do I care?" Tanyanya datar. Jika seperti ini, pasti ada hal mendesak yang ingin diceritakannya.

"I won't..."

"Please, just today. I'm not sure next weekend I could come here,"

"Any problem?"

"Yes, that's why I ask you. Okay?" Dan David mengeluarkan senyuman itu lagi. Seandainya statusku tidak berpacaran mungkin aku akan mengejarnya.

"Okay, just today, tapi lebih baik kalau kita pindah ke pool area biar lebih santai."

Aku memilih kursi yang ada di pool area karena suasana di sana lebih santai dan karyawan lain yang standby di sana juga hanya satu orang, jadi hanya sedikit orang yang melihat. Padahal aku akan tetap mendapat gosip di manapun aku duduk. Karyawan hotel ini sangat mudah mendapatkan gosip apapun walau hanya satu orang yang melihatnya.

David pun segera bangkit dari duduknya dan mencari tempat yang nyaman dipinggir kolam renang, dan aku segera pergi kedapur.

Aku memasuki dapur ketika Tio baru menyelesaikan pesanan sebelumnya dan menyerahkan kertas pesanan David.

"Your fans, huh?" Tanyanya.

David ini selalu memesan makanan yang sama ketika makan di sini, dan selalu aku yang menyampaikan pesanan itu ke dapur, selama enam bulan kami mulai kenal. Jadi wajar saja ketika karyawan dapur pun tahu pesanan siapa yang sedang aku bawa ini.

Aku hanya mengangkat bahuku. "Chocolate cake? Terakhir kali dia pesan kayaknya gak ada chocolate cake deh, dia sama pacarnya?"

"Ya, dan pacarnya yang lagi kamu ajak ngomong ini." Aku tertawa sendiri dengan ucapanku, sedikit bercanda sepertinya tak masalah, kan? Anggap saja untuk melonggarkan urat-urat di tubuhku yang sudah sangat kaku.

Tio hanya mencibir mendengar jawabannku, "Chocolate cake kamu mending langsung ke pastry gih sana biar aku bikinin salmonnya."

Aku langsung mengerucutkan bibirku mendengar perintah Tio, tapi tetap menuju ruangan khusus dessert itu.

"Tsan, choco..." Ucapanku terhenti melihat Ritchie juga berada disana, bersama dengan Tsania. Hanya berdua. Dan mereka baru saja tertawa. Tolong garis bawahi hal itu.

Aku sama sekali tak berpikir akan bertemu Ritchie di ruangan ini, sedang berdua dengan Tsania, setelah tadi aku bertemu mereka sedang keluar dari ruangan yang sama juga. Aku berusaha menguasai diriku dan mengabaikan kenyataan ini lagi sejenak.

"Emm... Van, ada apa?" Tsania terlihat salah tingkah, dan Ritchie hanya memandangku tapi aku tak ingin memandangnya.

"Oh itu, chocolate cake satu porsi ya dikeluarin bareng salmonnya Tio." Hanya itu dan aku langsung keluar tanpa menunggu jawaban Tsania.

"Yo, bunyiin belnya kalo udah ready sekalian sama chocolate cake." Ucapku ketika melewati Tio yang sedang memasak salmonnya.

"Ini udah mau selesai, gak mau nungguin?" Aku hanya terus berjalan tanpa menggubris ucapan Tio.

Suasana hatiku mendadak suram melihat Ritchie dan Tsania mengobrol berdua. Mungkin mereka hanya mengobrol tapi perasaanku mengatakan ada hal lainnya antara mereka berdua, dan perasaanku tak pernah salah.

Ini yang kedua kalinya aku memergoki mereka, aku bahkan tak tahu sudah berapa kali mereka berduaan seperti itu tanpa aku pergoki. Seharusnya aku meliburkan diri saja jika aku hanya akan mendapatkan kenyataan pahit seperti ini.

**

Shiftku yang harusnya selesai jam tiga sore harus molor sampai jam lima karena mengobrol dengan David. Ia sedang dijodohkan oleh orang tuanya dan harus kembali ke Filipina secepatnya. Permasalahannya hanyalah ia tak ingin jika tiap akhir minggunya nanti tidak bertemu denganku, bahkan ia memintaku untuk menjadi pacarnya yang mana aku tolak mentah-mentah. Aku menyukainya, tapi hanya sebagai teman dan setelah lama membujuknya akhirnya ia akan menerima perjodohan itu dan kembali ke Filipina.

Dalam satu hari ini banyak sekali yang terjadi padaku, hingga rasanya tak sanggup untuk dipikirkan. Dan saat ini aku sangat malas untuk beranjak keluar dari basement untuk mencari angkutan umum. Kalau bisa malah aku ingin tidur di gazebo ini saja sampai besok, tapi sepertinya itu tidak mungkin.

Setelah kejadian tadi, aku memang tak bertemu dengan Ritchie lagi. Ia juga tak berusaha mencariku untuk sekedar menjelaskan apa yang sedang ia lakukan sehingga harus berduaan terus dengan Tsania. Aku sepertinya sudah tak bisa lagi menerima semua ini. Hatiku sudah tak bisa lagi menahan semua rasa sakit yang ia berikan.

"Vania..." Aku mengalihkan pandanganku dan menemukan Ritchie berada di damping gazebo yang aku duduki.

"Oh hai Ritch, mau pulang?" Tanyaku sedatar mungkin padanya.

Well, aku bertemu dengannya di saat aku sedang tak memiliki mood untuk bertemu dengannya. Aku bahkan sudah tak memiliki emosi sama sekali untuk menghadapinya, bahkan untuk tersenyum rasanya sudah muak.

"Kamu belum pulang?" Tanyanya tanpa rasa bersalah di wajah dan di tambah dengan senyuman.

Apa ia bahkan tak mengerti apa yang dilakukannya dengan Tsania tadi dan sekarang ia tersenyum padaku? Aku rasa ia sudah sering melakukan ini pada gadis lain, dan aku hanya korban kesekiannya.

"Lagi nungguin Tio." Jawabku asal. Aku bahkan tak tahu apa Tio masih digedung ini.

Aku melirik Ritchie untuk memastikan ekspresinya, dan wajahnya berubah dingin tanpa ekspresi. Apa ia cemburu? Dia bahkan mungkin tak memikirkanku ketika berbicara dengan Tsania. Lalu dia cemburu? Ingin rasanya aku menonjok wajah tampannya itu.

Dan tepat setelah itu Tio berjalan melewati aku dan Ritchie, ia hampir duduk di gazebo ketika aku cepat-cepat menahannya.

"Yo, ayo buruan balik tadi katanya mau nyobain ayam cabe ijo di gang deket kos ku itu?"

"Hah?" Tio menatapku bingung. Aku segera menyeret lengannya tanpa persetujuan darinya menuju motor yang menjadi kendaraan setiap ia berangkat kerja.

**

“Jujur deh, Van sama aku. Sebenernya kamu sama Ritchie kenapa? Apa ini gara-gara Tsania?" Tanya Tio lagi untuk kesekian kalinya.

Kami sedang menikmati ayam cabe ijo yang tak jauh dari kos tempatku tinggal. Hitung-hitung ongkos Tio karena mau mengantarku pulang, dengan paksaan sebenarnya.

"Udah makan aja sih, ditraktir juga." Ucapku dengan kesal.

"Well, aku cuman gak mau aja besok ada perang pisaunya aku sama Ritchie gara-gara kamu."

Aku menyipitkan mataku, tingkat kepedean Tio sangat luar biasa. "Kamu pikir Ritchie bakal cemburu gitu sama kamu? Pede banget sih."

"Ya jaga-jaga aja sih, lagian kamu kenapa, sih? Kayak bukan kamu yang biasanya.”

"Aku ngerasa Ritchie lebih cocok sama Tsania daripada sama aku." Dan aku mulai membayangkan mereka berdua lagi.

Yah, sepertinya mereka memang lebih cocok. Aku semakin merasa seperti orang ketiga dalam hubungan mereka. Dan semakin di pikirkan, aku merasa semakin kesal. Pada diriku sendiri yang sangat bodoh dan mempercayai semua ini. Jika saja saat itu aku tak luluh pada perlakuan Ritchie yang jika kubayangkan saat ini, aku bahkan tak ingin membayangkan. Harusnya aku sudah tahu dari awal, dan mendengarkan semua ucapan sahabatku tentang akibat yang akan aku terima jika berpacaran dengan Ritchie.

"Setelah hampir dua tahun ini kamu pacaran sama Ritchie dan baru nyadar?"

Aku menatap tajam Tio, omongannya sangat benar dan itu sangat menggangguku. Setidaknya aku butuh di hibur setelah aku melewati hari yang buruk ini.

"Becanda Van," Tio nyengir. "Aku bukannya mau ikut campur, tapi kenapa gak diobrolin aja dulu. Mungkin mereka ngobrolin kerjaan."

"Aku juga tau, Yo mana yg ngobrolin kerjaan sama yg bukan kerjaan. Dan kamu juga tadi yang bilang kalau kemungkinan mereka gak cuman ngobrolin kerjaan."

Aku membenamkan kepalaku dilipatan tanganku diatas meja. Aku semakin lelah rasanya. Sepertinya memang tak ada harapan antara aku dan Ritchie lagi.

"Besok aku libur, mau jalan bareng?" Tio sepertinya merasa sangat bersalah telah mengatakan hal itu padaku tadi, terdengar dari helaan nafasnya.

Aku langsung menegakkan badanku mendengar kata libur. Aku menatap Tio seksama. Ide yang bagus untuk meringankan beban pikiranku, lagipula jatah liburku masih banyak dan aku bisa mengambilnya kapan saja.

"Aku bukannya nolak sih, tapi aku masih pacar Ritchie. Prinsipku gak akan jalan sama cowok lain kalo aku masih pacar orang, apalagi berdua aja."

Tio menatapku, “Setelah semua yang terjadi dan apa yang kamu lihat secara langsung, kamu masih bisa bilang kayak gitu? Kamu bahkan gak tau, kan apa yang mungkin Ritchie lakuin tanpa sepengetahuan kamu?”

"Aku tahu, bodoh, kan?”

“ Kamu lebih dari bodoh, Van. Dan Ritchie gak pantes dapetin semua itu dari kamu.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status