Share

Bab 3

Aku akhirnya memutuskan untuk mengunjungi my garden, salah satu kafe yang baru melakukan soft opening. Suasananya sangat menenangkan, dan ini lumayan untuk menghabiskan hari liburku. Aku menyesal menolak tawaran Tio kemarin. Aku sudah di khianati sebegitu rupa dan masih memikirkan kesetiaan dalam hubungan yang sudah sangat tak sehat. Mungkin aku harus memenangkan piala sebagai wanita yang memiliki hati sekuat baja.

Minumanku datang, sore yang indah sambil menikmati secangkir Americano, rasanya pahit tapi tak sepahit kenyataan yang sedang kujalani. Tapi aku tetap menyukai kopi. Ia menunjukkan rasa aslinya walaupun masih ada yang membencinya. Dan sangat tak sinkron untuk di bandingkan dengan kisahku, aku hanya ingin memikirkan hal selain hubunganku dengan Ritchie.

Ponselku berbunyi, tanda pesan masuk.

Dwi : Mbak, anak magang baru udah dateng dan dia sepupunya Tsania.

Aku mengernyit membaca pesan dari Dwi. Minggu ini memang hotel kami kedatangan anak magang lagi, untuk menggantikan anak magang yang sebelumnya. Semuanya dari sekolah Pariwisata di berbagai kota.

Terus kenapa, Wi?

Dwi membalasnya dengan sangat cepat, padahal ini masih jam kerja.

Dwi : Bang Lucas nyuruh kasih tahu Mbak Vania, katanya ini penting.

Aku hanya membaca pesan balasan Dwi tanpa berniat membalasnya. Lucas itu salah satu sahabat pria yang kupercaya di hotel, karena kami melakukan wawancara kerja di hari yang sama dan kami juga di terima pada waktu yang sama. Dan kami juga di terima di departemen yang sama juga. Banyak yang menyayangkan kenapa kami tak pacaran saja, tapi aku tak memedulikannya, begitu pun dengan Lucas.

Lucas itu versi cowok dari perwujudan Ina. Dan dia juga yang sangat menentang hubunganku dengan Ritchie. Ia bahkan sering dengan sengaja menunjukkan afeksinya padaku dengan merangkulku, mengusap kepalaku, tapi hanya itu. Alasannya melakukan itu adalah agar Ritchie tahu bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bersahabat dekat dengan Tsania.

Terkadang aku menertawakan perilakunya yang sangat kekanakan, tapi jika sekarang aku memikirkannya, maka aku sangat berterima kasih padanya. Aku tidak menyadarinya, dan rupanya banyak yang sudah menyayangiku. Selama ini aku hanya terpaku pada Ritchie dan merasa tak membutuhkan orang lain, tapi ternyata aku salah.

**

Setelah puas duduk melamun di kafe tanpa mendapatkan suatu pencerahan apapun aku memutuskan kembali ke kos dengan berjalan kaki. Jarak kafe dan tempat kos ku memang tak terlalu jauh—hanya jika kalian sangat ingin berjalan kaki—karena biasanya banyak orang akan berkendara walaupun jaraknya dekat, untungnya aku tidak seperti itu. Aku sangat menyukai jalan kaki walau aku akan berhadapan dengan asap kendaraan yang berlalu lalang. Well, jika aku sudah cantik alami dari lahir bagaimana mungkin asap-asap ini menjadi masalah? Aku bahkan seperti jalan di runway.

Oke, abaikan saja kalimat terakhir tadi. Aku juga sangat jijik memikirkan kalimat itu tadi.

Aku hanya ingin mengatakan bahwa saat ini aku mensyukuri pilihanku berjalan kaki, tapi di satu sisi aku bisa merasakan rasa sesak di dadaku ketika melihat pemandangan di seberang jalan sana. Itu Ritchie dan Tsania yang sedang tertawa bersama di warung tenda, yang kemarin baru kukunjungi bersama Tio untuk menikmati ayam cabe ijo.

Mataku mulai memanas melihat pemandangan itu, bukankah mereka sangat kejam?

Mereka dengan tegas menyatakan bahwa mereka sahabat. Mungkin persahabatan mereka sangat dekat sehingga mereka sangat nyaman saat bersama. Tapi, orang awam manapun pasti akan mengatakan bahwa mereka lebih cocok menjadi pasangan. Bahkan aku sangat yakin Ritchie sangat mengetahui kenyataan itu, sehingga ia semakin memperjelas dengan menghabiskan waktu berdua.

Tapi, kenapa ia melakukan itu setelah aku menjadi pacarnya? Kenapa tak ia lakukan sejak dulu ketika kami belum berpacaran? Dan kenapa ia menyatakan cintanya padaku? Ritchie pacar pertamaku, dan ia tahu hal itu. Dan ia memanfaatkan semua itu, berakting sebagai pria luar biasa yang bisa membuatku jatuh cinta padanya, walau kenyataannya ia melakukan itu untuk membuat Tsania cemburu padanya.

Sebulan sebelum aku resmi berpacaran dengan Ritchie, Tsania menjauhi Ritchie karena ia baru saja resmi berpacaran dengan seseorang yang sudah ia sukai sejak kuliah. Lalu sejak saat itu, entah kenapa Ritchie mulai mendekatiku dan sampai kami berpacaran.

Kalian ingin tahu bagaimana aku bisa tahu cerita itu?

Ina yang menceritakan itu padaku. Lalu aku dengan bodohnya tak menanggapi dengan serius hal itu dan tetap percaya pada Ritchie. Dan penyesalan itu baru datang setelah aku menyadari semuanya.

Aku memutuskan untuk tak berdiri lebih lama di sana. Ritchie memang cukup brengsek untuk melakukan semua itu. Harus berapa kali aku memaki diriku sendiri agar penyesalan ini segera hilang?

**

Lebih baik kita putus.

Aku memandangi ponselku lama, menatap pesan yang kukirim dua hari yang lalu pada Ritchie. Ia bahkan belum membalasnya, dan aku juga belum bertemu dengannya di hotel. Yang aku dengar dari Tio, dia sedang menghadiri seminar di Bali menggantikan chef Marti. Dia bahkan tidak memberitahuku sama sekali.

Sebenarnya aku bukan tipe wanita posesif, hanya saja untuk ukuran pergi selama berhari-hari bukankah tidak salah jika memberitahuku? Aku bahkan harus mengetahui hal sekecil itu dari orang lain. Aku akan menyimpulkan dia sudah membaca pesanku. Ia bisa mengetahuinya dari pop-up notifikasi tanpa perlu membukanya.

Aku juga sudah terlalu muak dengan hubungan ini, dia tak pernah memedulikanku. Jadi, jangan salahkan aku jika aku seperti ini. Dan harusnya kulakukan ini sejak dulu. Aku bahkan sudah tak bisa menghitung lagi berapa kali aku menyumpahi diriku sendiri, selalu mengandaikan segalanya. Aku sudah sangat berada pada titik terendahku.

Aku masuk ke kantin, menghampiri Ina. Aku memang sudah janji bertemu dengannya. Sudah lebih dari lima tahun kami bersahabat. Dan hanya dia yang paling mengerti aku selama ini, walaupun terkadang dia bisa sangat menyebalkan dan to the point pastinya, tanpa mengenal tempat tapi itu sangat menghiburku.

"I see the storm here." Komentarnya ketika aku sudah duduk di hadapannya.

Ya, aku memang terlihat seperti itu saat ini. Perpaduan antara angin puting beliung, tornado, tornado api, badai angin dan segala jenis badai yang terjadi di dunia ini, seperti itulah penggambaran yang sangat pas untuk wajahku.

"Aku putus sama Ritchie." Ucapku sepelan mungkin tapi masih bisa didengar olehnya.

Ina masih mencerna ucapanku, lalu kemudian berteriak dengan menyebalkan.

"Wah, gila lo Van. How come you break up with him?"

Untung kantin ini sepi, sehingga tak terlalu menarik perhatian para karyawan hotel. Aku segera menyuruhnya diam. Seperti itulah dia, tak akan ada yang mampu menghentikannya. Kecuali Mister Benjamin—General Manager hotel ini—dengan penuh keajaiban muncul di kantin ini. Karena Ina sangat memuja pria itu.

"Lalu apa ada solusi lain? Just tell me and I'll do it. Dia juga sama sekali belum balas pesanku, ini cuman keputusan sepihak."

"Lo emang beneran udah gak tahan sama dia? Apa gara-gara Tsania itu?" Well, logatnya Ina memang seperti itu, agak mengikuti atasannya yang memang dari Jakarta.

"Menurut L? Kamu pikir gimana perasaan aku selama ini? About Tsania, it's a yes and no. I don't know really, mereka bahkan lebih serasi dari aku dan Ritchie. Lalu menurutmu aku harus seperti apa, Na?"

Ina memandangiku beberapa saat, tampak berpikir. Dia pandai menempatkan dirinya ketika aku sedang bercanda dan serius.

"Actually, you did a great job. Tapi apa emang ini yang kamu mau? Maksudku, kamu begitu memuji dia dan selalu percaya sama dia. Kamu gak pernah goyah walaupun aku sama Lucas sampe capek nasehatin kamu. Dan sekarang kamu putus.”

“Aku udah capek, Na. Salahku karena gak pernah dengerin kalian. Seandainya dulu aku gak terima dia mungkin aku gak akan semenyesal ini. Aku bahkan gak bisa ngitung lagi berapa banyak aku nyesel atas semuanya.”

Ina menggenggam tanganku erat, memberiku kekuatan.

“Gak perlu nyesel, Van. Jadiin ini pelajaran biar gak terulang lagi. Aku selalu di sini buat kamu, Van.”

Aku membalas genggaman tangan Ina. Aku tak tahu bagaimana hidupku jika tanpanya. Walaupun banyak yang meremehkannya, karena sikap centil dan blak-blakannya, tapi percayalah dia lebih baik seribu kali dibandingkan ratusan teman yang kita punya. Karena aku sudah menjadi sahabatnya.

**

Dan ini adalah hari ketigaku setelah pesan yang kukirim pada Ritchie, dan belum juga mendapatkan balasan. Well, hari ini harusnya dia sudah kembali dari seminar itu, jika informasi yang kudapat akurat. Aku bahkan harus mencari informasi pacar—mantan pacar—dari orang lain

Dan saat ini aku sulit fokus dengan pekerjaanku, menjadi profesional ditengah masalah sangat sulit ternyata.

"...buat coffee break kita gimana, Van?"

"Van..."

"Vania..."

Aku menoleh dan melihat Lucas disampingku, sangat kebetulan aku bisa berada di shift yang sama dengannya.

"Eh iya... Kenapa Luke?"

Lucas menghela nafasnya kesal. "Jadi dari tadi aku ngomong gak di dengerin..." Lucas memasang wajah cemberut yang di buat-buat.

"Ish! Don't you dare use that face in front of me, Luke!" Aku memukul lengannya dengan wajah jijik. Raut wajahnya yang gentle itu sangat tidak cocok dengan wajah imut yang dibuat-buat apalagi dengan tato yang menghiasi lengannya.

"Makanya diajak ngomong itu di tanggepin, emang eyke apaan disini, patung?"

Dan aku tertawa dengan candaan Lucas yang sangat tidak berkelas itu. Bayangkan saja dengan perawakan seperti itu dan ia mencoba menunjukkan wajah imut. Tingginya hampir seratus delapan puluh senti, kulitnya kecoklatan, sepanjang lengannya di hiasi tato yang tak kumengerti, lalu rambutnya di cat, dan hari ini rambutnya berwarna hitam tanpa warna lain.

Kenapa penggambarannya mengerikan? Padahal ini merupakan city hotel yang sangat sering kedatangan tamu dari pemerintahan. Tapi ia merupakan karyawan favorit Pak Robert dan ia sudah seperti itu sebelum bekerja di sini. Lagipula kebanyakan tamu yang berkunjung sangat menyukainya, bahkan terang-terangan penasaran dengan tato yang ada di tubuhnya.

Aku melihat Tio yang sedang mengecek makanan breakfast buffet pagi ini, dia terlihat ceria seperti biasa. Ia tak pernah terlihat dengan wajah murung, ia sangat terlihat lepas sama seperti Lucas.

"Asik ya kalian makan gaji buta disini," ucapnya sambil menepuk lengan Lucas sedikit keras.

"Kenapa? Cemburu aku berduaan sama Vania disini?" Balas Lucas sambil merangkulkan tangannya di bahuku.

"Padahal kemaren kami baru jalan bareng, lho." Tio menyilangkan lengannya di dada. Ia sedang membicarakan acara makan sore kami yang penuh paksaan itu.

“Susah, ya kalo misalnya tenar gini. Kalian gak perlu lah ngerebutin aku kayak gitu….”

Lucas mulai melepaskan rangkulannya di bahuku, dan memandangku aneh.

“Bro, kayaknya aku balik ke dapur aja, deh.” Tio membalikkan tubuhnya bersiap untuk pergi, lalu Lucas menepuk bahu Tio dengan penuh perasaan.

“Kita harusnya gak perlu ngomong kayak gitu tadi, Vania yang kayak gitu lebih serem di bandingin pas dia lagi diem.”

Aku mulai mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Mereka berbisik, tapi dengan suara yang keras. Aku tertawa mendengar obrolan mereka lalu menarik baju mereka dari belakang.

“Luke, si Bella nyariin kamu, tuh.”

Bella adalah anak magang baru yang katanya sepupu Tsania itu, dan ia selalu mengganggu Lucas apapun situasinya. Gosip terbarunya, Bella ini sudah menyukai Lucas sejak pertama ia datang. Lucas memang memiliki pesonanya sendiri, apalagi dengan tato dan rambut semirnya. Sudah bisa di pastikan, imajinasi gadis itu tentang bad boy yang menawan sudah terpenuhi.

Lucas sangat terganggu dengan hal itu, dan aku memanfaatkan itu untuk menggodanya di setiap kesempatan, seperti saat ini. Setidaknya aku memiliki senjata untuk membalasnya ketika ia meledekku seperti tadi.

Lucas langsung melihat ke sekelilingnya, memastikan ucapanku salah. Tapi pagi ini gadis itu memang di satu shift yang sama dengan kami. Dan dia berada di bar, sedang mengawasi kami dengan terang-terangan.

Aku mempunyai firasat yang tak baik tentang gadis ini sebenarnya, apalagi ia adalah sepupu Tsania. Ia juga sangat sering memandangku dengan tak suka, dan seringkali mengabaikan tugas yang kuberikan. Mungkin itu karena aku dekat dengan Lucas, tapi aku merasa seperti ada hal lain yang membuatnya seperti itu padaku.

**

Aku akhirnya bisa menikmati pulang tepat waktu. Ini mungkin pertama kalinya sejak aku menjadi supervisor. Tapi aku tak terlalu menyukai pulang tepat waktu seperti ini, karena aku hanya akan menghabiskan waktuku dengan tidur hingga besok pagi ketika aku harus kerja lagi. Membosankan, kan?

Aku terkejut ketika sampai di depan gerbang kosku. Ritchie sudah menungguku disana. Ia tersenyum dari motor yang ia duduki.

Seharusnya aku membalas senyumnya, seharusnya aku berlari padanya dan memeluknya. Itu yang seharusnya aku lakukan jika saja hubungan kami masih seperti yang dulu. Tapi sekarang semua sudah berbeda. Kakiku bahkan terasa lengket dengan tanah yang ku pijak saat ini, aku merasa tak ingin beranjak dari tempatku berdiri saat ini.

"Hai, Van..." Sapanya dan menghampiri ku. Semua indera ku terasa kebas sekarang hanya untuk membalas sapaannya.

Ritchie masih tersenyum di depanku dan langsung memelukku setelah jarak kami dekat. "I miss you..."

I miss you more, Ritch. Seharusnya itu yang aku katakan padanya, tapi aku tak akan melakukan itu. Aku bahkan tak membalas pelukannya. Terakhir kali aku melihatnya, dia sedang bercengkerama akrab dengan Tsania, mereka sangat lepas seolah tanpa beban dan aku masih bisa merasakan rasa cinta Ritchie untuk Tsania.

Lalu sekarang ia dengan gampangnya mengatakan kalimat itu tanpa rasa bersalah sedikitpun. Apa ia setidaknya pernah berpikir jika berada di posisiku?

Ritchie melepaskan pelukannya setelah beberapa lama aku tak membalas, dia menatapku bingung.

"Kamu kenapa?" Ritchie menanyakannya, ia menangkup pipiku dengan dua tangan itu, tangan favoritku dua tahun yang lalu.

Tapi sekarang, aku bahkan sangat jijik dengan tangan itu. Tangan yang aku yakin tak hanya menyentuhku saja.

"Van..."

Aku menegakkan wajahku, menatap matanya. Mata yang dua tahun yang lalu juga menjadi favoritku. Segalanya tentang dirinya dulu menjadi favoritku, tapi saat ini aku bahkan sangat ngeri dengan apa yang pernah aku pikirkan dulu.

"Kamu tak membaca pesanku?" Aku menatap matanya kali ini.

Ritchie tampak kaget, tapi masih bisa menguasai dirinya sendiri.

"Aku gak pernah mengiyakan hal itu, memangnya kamu gak kangen sama aku?"

“Dan kenapa aku harus membutuhkan persetujuanmu untuk putus? Seharusnya kamu senang karena itu berarti kamu semakin bebas menunjukkan kemesraanmu dengan Tsania.”

Ritchie memegang lenganku erat seolah tak ingin melepasnya, tapi aku pun tahu tatapan cinta itu bukan untukku.

"Kalau ini tentang Tsania… Aku sudah pernah bilang kalau kami hanya teman. Aku udah sering jelasin, Van,"

“Lalu kalau aku minta kamu untuk memutuskan semua hubunganmu dengan Tsania, apa kamu akan melakukan itu? Semua orang juga tahu kalau kamu hanya mencintai Tsania, lalu kamu menempatkan aku dalam posisi seperti ini. Apa yang kamu mau sebenarnya?!” Aku mengatakan dengan kemarahan yang coba aku tekan sedemikian dalam

Ini masih jam empat sore, dan suasana di kos ku ini masih terbilang ramai. Mungkin ada beberapa yang belum pulang kerja. Tapi kami cukup juga menjadi tontonan banyak orang di sini. Dan jika aku berteriak di sini maka aku benar-benar menjadi tontonan publik, mereka juga tak akan segan untuk mengabadikannya lalu memasukkannya ke sosial media.

"Apa kamu lupa kalau kamu juga temenan sama Lucas, dan sekarang udah bertambah sama Tio. Dan apa kamu pikir yang lainnya gak akan berpikir kalau kamu sama Lucas juga punya hubungan?”

Aku melepaskan lenganku yang ia cengkeram dengan kasar. “Kamu pikir aku selingkuh?”

Tatapan mata Ritchie sudah berubah, ia bahkan menyeringai sekarang. “Lalu kenapa kamu ingin putus kalau kamu tak sedang menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka?”

Aku menatapnya tak percaya. Perasaan menyesal yang baru saja aku rasakan kini berubah menjadi marah. Aku bahkan benar-benar jijik dengan semua hal yang ia katakan barusan, ia menuduhku hanya karena aku berteman dengan Lucas. Aku yakin orang awam juga bisa membedakan pertemananku dengan Lucas dan pertemanan antara Ritchie dan Tsania.

Tanpa sadar aku melayangkan tamparan di pipinya, aku tak bisa memikirkan hal lain selain menamparnya. Dia menyakitiku dan kini dia menuduhku berselingkuh.

Kali ini aku akan membiarkan kalau ada orang lain yang sedang merekam kami, aku terlalu marah untuk memikirkan hal lain. Pria di hadapanku ini yang dulu sangat aku cintai dan aku puja-puja langsung menjadi orang asing dengan sekejap.

“Kamu dengan jelas menujukkan kalau kamu masih mencintai Tsania, semua tahu itu hanya dari tatapanmu, bahkan aku juga tahu. Apa kamu ingin aku yang menjadi tokoh jahat di sini dengan berselingkuh lalu memutuskanmu?”

Ritchie hanya diam, sama sekali tak bereaksi terhadap apapun yang aku katakan. Mungkin karena ia tahu bahwa ia salah dan tak bisa mengelak lagi dari kesalahannya.

“Kamu gak sebaik itu, kamu tahu, kan? Kamu gak pernah cinta sama aku, kamu hanya menjadikan aku kambing hitam supaya kamu bisa terus berada dekat dengan Tsania. Kamu pikir aku gak tahu semua itu?”

Aku menangis. Menangisi kebodohanku, dan juga sikap Ritchie yang membuatku muak. Aku sangat berharap hujan akan turun dengan tiba-tiba, sehingga aku bisa menyamarkan air mataku ini, dan aku tak perlu terlihat semenyedihkan ini.

“Kenapa kamu gak pernah percaya kalau aku dan Tsania hanya berteman?”

Aku tak ingin menunjukkan tangisanku pada pria di hadapanku ini, tapi aku dengan cepat menegakkan kepalaku memandangnya lurus. Aku sudah tampak menyedihkan dan aku tak ingin kehilangan harga diriku juga dengan terus menundukkan wajahku.

“Dan kamu bisa tanya itu sama semua karyawan hotel, kamu bahkan gak butuh jawabanku. Kecuali kamu bener-bener cowok brengsek.”

Aku segera meninggalkannya, aku tak sanggup jika harus berhadapan dengannya lebih lama.dia adalah pria dengan segala tipu muslihat yang di milikinya. Yang tersisa dari penyesalanku adalah karena pernah mengenalnya. Sudah terlalu banyak kata ‘seandainya’ dan ‘jika’ yang selalu aku bayangkan di kepalaku, tapi apa yang bisa aku lakukan?

Aku bersandar dibalik pintu. Tak ada yang perlu ditangisi, ini yang aku inginkan, ulangku dalam hati seperti merapal do'a. Aku sangat bodoh jika menangisinya, tapi semua penyesalan itu menyiksaku. Rasanya berkali-kali lipat lebih sakit sekarang. Aku bahkan sudah menjadi orang bodoh hanya demi mempertahankan hubungan yang aku tahu tak pernah berhasil.

Air mataku tetap tak mau berhenti walaupun aku sudah menguatkan diriku dengan kalimat yang aku ciptakan sendiri. Aku bahkan sudah membekap mulutku dengan kedua tanganku agar isakan ini tak bertambah semakin kuat. Jiwaku seperti sudah hancur sebagian, dan aku tetap menangis sampai aku tak sadarkan diri.

**

Aku tak pernah menyangka akan bangun tidur dalam keadaan seperti ini. Mata bengkak, rambut acak-acakan, bahkan aku masih tidur dilantai. Punggungku rasanya akan patah dalam waktu dekat. Aku segera mencari ponselku yang terus berdering dan menemukannya didalam tas ku.

Lucas calling...

"Hi sweety, I thought you never late before...," sapa Lucas dengan nada yang dibuat-buat.

"Ah..." Aku menatap jam dindingku. 07.08. Ya, sangat tidak biasanya.

"Ehm, Luke... Aku rasa aku akan absen hari ini, aku lagi gak enak badan," Aku berusaha mengatakannya dengan nada selemah mungkin.

"Kamu baik-baik aja? Semalem kamu masih sehat-sehat aja padahal." Lucas dan kekhawatirannya. Harusnya aku berpacaran dengannya saja dulu.

"Yeah, gak pa-pa, kan, kalo aku absen?"

"Just take a rest, Van. Aku bisa handle semua kok. Istirahat ya, jangan lupa minum obat."

"Thanks, Luke." Aku tersenyum, walaupun Lucas tak akan melihatnya.

"Anytime, Van."

Aku segera membersihkan diriku lalu membuat sarapan untukku sendiri, walaupun hanya sereal setidaknya ini lebih dari cukup untuk menambah energi untuk diriku sendiri.

Setelah sarapan, aku terduduk di kasurku. Setelah semua ini aku tidak bisa berjanji mampu melaluinya dengan lapang dada. Aku bukan aktris profesional yang mampu berakting sebaik itu. Seharusnya sebelum berpacaran dengan Ritchie, aku mampu menemukan solusi jika kami berpisah. Aku hanya tidak tahu kalau akan jadi seperti ini. Dulu aku berharap kalau Ritchie akan menjadi satu-satunya pria di hatiku, tapi ternyata aku terlalu naif. Ternyata aku sebodoh itu.

Aku mengambil ponselku, mencari nomor Tio di kontakku. Sepertinya aku membutuhkan orang lain untuk mengalihkan seluruh pikiran gila ini.

"Ya, Van..." Tio menjawab di dering ketiga.

"Yo, jalan-jalan yuk." Ucapku to the point.

Ada jeda panjang sebelum Tio mengiyakan ajakanku. Aku bahkan tidak bertanya apakah ini hari liburnya atau bukan.

"Terserah kamu mau bawa aku kemana, yang jelas jangan pake motor besar kamu itu. Pake motor bebek aja."

Tio hanya tertawa diujung sana. "Ribet ya bawa kamu jalan, banyak syaratnya. Ngalahin Presiden, tau."

Akupun tertawa mendengar ucapannya. Ya, ini yang aku butuhkan saat ini. Aku butuh obat untuk menyembuhkan luka dihatiku saat ini.

Aku pernah mendengar bahwa obat patah hati adalah jatuh cinta lagi, tapi bukan Tio tentu saja. Aku sudah cukup menyeretnya dalam masalahku dan Ritchie. Sebenarnya mengajak ia saat ini juga bukan saat yang tepat. Tapi, orang yang mampu ku ingat saat ini hanya Tio. Sadar atau tidak, sepertinya aku memiliki niat untuk membalas Ritchie dan Tsania.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status