Share

Bab 4

Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya.

Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.

Ritchie calling...

Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.

Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.

Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?

Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Bukan ingin membalas dendam, hanya saja ini semua sudah berakhir. Aku mendongak ketika mendengar suara klakson mobil, dan mendapati Tio yang menjulurkan kepalanya dari kaca mobilnya

"Van, udah lama ya?" Tio segera keluar dari mobilnya dan berdiri disamping mobilnya.

Aku menghampirinya dengan senyuman geli yang sulit kukendalikan. "Beetle, yo? Seriously? And it's yellow?"

Tio tertawa juga mendengar pertanyaanku, dia pria maskulin yang aku rasa sangat tidak cocok dengan mobil beetle ini dan juga warnanya kuning. Kalian tahu mobil yang sering digunakan oleh Mr. Bean? Mobil itulah yang saat ini dipakai oleh Tio. Mungkin orang lebih paham jika kita menyebutnya mobil kodok.

"Kenapa? Kamu gak suka, ya?"

"Aku suka, cuman menurut aku mobil ini gak kamu banget. Untung bukan pink warnanya."

Tio tertawa mendengar ucapanku. Aku suka senyumnya itu. "Kamu lebih cocok pake mobil sejenis range rover, jeep, dan mobil lainnya yang lebih jantan."

"Well, kalo kamu gak keberatan buat relain tabungan kamu buat beliin  mobil itu, aku gak nolak kok."

"Kalo itu aku sih gak rela dunia akhirat."

Tio tertawa lagi, dan sepertinya tawa itu menular. Hanya melihatnya tertawa dan aku dengan gampang ikut tersenyum juga. Dan masalah Ritchie terlupakan sejenak. Hari ini aku tak ingin mengingat Ritchie dan semua perkataan yang tak ingin kumengerti.

Kami masuk kedalam mobil dan segera berkendara, Tio bilang tempat yang akan kami kunjungi lumayan jauh karena itu dia meminjam mobil klasik milik kakeknya ini. Well, aku tak masalah soal kendaraan, hanya ingin sejenak menenangkan pikiran ini. Aku merasa semakin bertambahnya usia, semua beban pikiran ini semakin bertambah.

**

Satu jam kemudian akhirnya kami sampai di tujuan, dan ini adalah pantai. Pulau Mubud yang sangat indah, banyak yang bilang ini adalah Maldives milik kota Batam. Dan aku sangat menyetujui hal itu. Di balik keramaian kota Batam, masih ada tempat yang sangat menenangkan ini. Yah, walaupun harus melewati satu jam berkendara dengan mobil, ditambah sekitar dua puluh menit menyeberang menggunakan perahu kecil atau biasa disebut pompong.

"Pilihanmu bagus kali ini, yo? Kamu tau, aku dari lama pengen kesini tapi gak pernah bisa," ucapku antusias. Aku adalah wanita yang hidup di balik keramaian dan hanya sibuk bekerja, jadi pemandangan dan suasana ini membuatku sangat bersemangat.

"Aku tahu, harusnya dari dulu ya aku ajak kamu kesini."

Aku tak menanggapi ucapannya, hanya segera berlari menuju bibir pantai, ingin merasakan ombak pantai ini. Dan aku sudah tak memikirkan apapun lagi ketika melihat pantai yang begitu biru ini, dan semilir angin yang berhembus. Aku suka semuanya, dan ini yang aku butuhkan.

"Aku gak tau kamu suka pantai. Perjalanan yang panjang, kan? Dan kebanyakan cewek gak suka yang kayak gitu, mereka lebih suka mall yang gak perlu panas-panasan kayak gini."

"Tapi pemandangan yang di dapat setimpal sama perjalanan jauh ini, dan aku bukan termasuk tipe cewek yang kamu sebutin itu. Mungkin aku harus cari kos disini, jadi gak perlu stres setiap hari." 

Berandai-andai tak masalah, kan? Aku suka hal-hal tak berguna tapi menyenangkan seperti itu. Ya, aku juga takkan menolak jika harus tinggal disini. Aku sudah tak peduli bajuku akan kotor nanti, karena aku langsung duduk di pasir pantai dan kembali mengagumi keindahan laut yang membentang luas di hadapanku.

"Dan setiap hari harus naik kendaraan sampe Batam Center? Kayaknya kamu aja yang punya pikiran kayak gitu."

Tawaku meledak, itu hanya sekedar pikiran liar yang terlintas. "Aku gak pernah minta kamu jemput, tapi kalo kamu memang mau, aku gak masalah harus naik beetle itu.”

Sadar dengan apa yang baru saja terjadi padaku, aku banyak tertawa hari ini. Beban pikiranku seperti hilang begitu saja, dan Tio juga sama sekali tak menyinggung alasanku mengajaknya keluar pagi ini. Sehingga aku bisa menikmati hari ini.

Tio mendengus mendengar ucapanku, ternyata liburan singkat ini bisa sangat menarik. Sangat menarik malah. Selama empat tahun aku bekerja di hotel, ini mungkin bisa jadi liburan pertama untukku. Aku hanya menghabiskan liburanku dengan tidur seharian di kamar, berjalan-jalan di mall sesekali, atau bahkan sengaja bekerja di hari liburku.

Setelah di pikir-pikir, selama ini hidupku sangat monoton dan tak berwarna. Jangan tanya apakah Ritchie tak pernah mengajakku jalan-jalan. Ia pernah, hanya saja tak pernah ke tempat semenarik pantai ini. Ia sangat metropolitan dan membosankan. Daya tariknya hanyalah wajah dan seluruh kalimat yang ia keluarkan.

Apa aku saat ini terlihat seperti menjelek-jelekkan mantan pacarku?

Mungkin iya, tapi dulu aku tak memiliki kesempatan itu. Dan, karena saat ini aku sudah menyadari kesalahanku, maka aku hanya akan mengingat semua kejelekannya. Bukan berarti aku tak memiliki kenangan indah bersama Ritchie, kalian tahu, kan, jika kertas putih di berikan satu titik tinta hitam, maka yang terlihat hanya titik hitam itu saja. Itu yang terjadi padaku, dan aku tak akan membenarkan apapun.

"Mendingan kita cari pondok dulu, deh, matahari udah diatas kita banget nih."

Aku mengiyakan, karena memang ketika kami sampai sudah hampir jam dua belas siang. Dan matahari di atasku seperti ingin membakar.

"Yo, kita pulangnya abis ngeliat sunset, ya? Pasti cantik banget deh."

"Kayaknya gak bisa deh, aku gak tau pompongnya standby sampe jam berapa. Kita juga bakal kemaleman pulangnya nanti."

Aku cemberut mendengar jawaban Tio, aku sangat ingin melihat sunset agar bisa mengabadikannya sebagai kenang-kenangan. Tapi, sepertinya itu juga sangat tak memungkinkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status