Aku duduk di teras menunggu Tio yang akan menjemputku. Well, kurasa aku tak melakukan kesalahan besar kali ini. Aku hanya mengikuti kata hatiku dan juga pikiranku yang sudah tak sanggup memikirkan hal lain, kemarin terlalu intens menurutku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana reaksi Ritchie yang dengan tersirat mengatakan bahwa rasa cintanya pada Tsania lebih besar daripada mencintaiku. Aku tidak ingin menambahi drama untuk diriku sendiri, hanya saja semua itu adalah kenyataannya.
Lamunanku terganggu karena deringan dari ponsel yang kugenggam.
Ritchie calling...Aku membiarkan ponsel itu bergetar hingga getaran itu berhenti dengan sendirinya. Dulu aku akan sangat senang ketika ia meneleponku terlebih dahulu, bahkan aku rela tidak tidur hanya untuk menunggu telepon darinya. Sekarang semuanya sudah berubah, kan? Aku sudah mengakhirinya bagaimanapun juga.
Ponselku bergetar lagi, kali ini satu pesan yang masuk.Ritchie Irawan : Lucas bilang kamu sakit, gimana keadaan kamu sekarang?Aku hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Bukan ingin membalas dendam, hanya saja ini semua sudah berakhir. Aku mendongak ketika mendengar suara klakson mobil, dan mendapati Tio yang menjulurkan kepalanya dari kaca mobilnya"Van, udah lama ya?" Tio segera keluar dari mobilnya dan berdiri disamping mobilnya.Aku menghampirinya dengan senyuman geli yang sulit kukendalikan. "Beetle, yo? Seriously? And it's yellow?"Tio tertawa juga mendengar pertanyaanku, dia pria maskulin yang aku rasa sangat tidak cocok dengan mobil beetle ini dan juga warnanya kuning. Kalian tahu mobil yang sering digunakan oleh Mr. Bean? Mobil itulah yang saat ini dipakai oleh Tio. Mungkin orang lebih paham jika kita menyebutnya mobil kodok."Kenapa? Kamu gak suka, ya?""Aku suka, cuman menurut aku mobil ini gak kamu banget. Untung bukan pink warnanya."Tio tertawa mendengar ucapanku. Aku suka senyumnya itu. "Kamu lebih cocok pake mobil sejenis range rover, jeep, dan mobil lainnya yang lebih jantan.""Well, kalo kamu gak keberatan buat relain tabungan kamu buat beliin mobil itu, aku gak nolak kok.""Kalo itu aku sih gak rela dunia akhirat."
Tio tertawa lagi, dan sepertinya tawa itu menular. Hanya melihatnya tertawa dan aku dengan gampang ikut tersenyum juga. Dan masalah Ritchie terlupakan sejenak. Hari ini aku tak ingin mengingat Ritchie dan semua perkataan yang tak ingin kumengerti.Kami masuk kedalam mobil dan segera berkendara, Tio bilang tempat yang akan kami kunjungi lumayan jauh karena itu dia meminjam mobil klasik milik kakeknya ini. Well, aku tak masalah soal kendaraan, hanya ingin sejenak menenangkan pikiran ini. Aku merasa semakin bertambahnya usia, semua beban pikiran ini semakin bertambah.**Satu jam kemudian akhirnya kami sampai di tujuan, dan ini adalah pantai. Pulau Mubud yang sangat indah, banyak yang bilang ini adalah Maldives milik kota Batam. Dan aku sangat menyetujui hal itu. Di balik keramaian kota Batam, masih ada tempat yang sangat menenangkan ini. Yah, walaupun harus melewati satu jam berkendara dengan mobil, ditambah sekitar dua puluh menit menyeberang menggunakan perahu kecil atau biasa disebut pompong."Pilihanmu bagus kali ini, yo? Kamu tau, aku dari lama pengen kesini tapi gak pernah bisa," ucapku antusias. Aku adalah wanita yang hidup di balik keramaian dan hanya sibuk bekerja, jadi pemandangan dan suasana ini membuatku sangat bersemangat."Aku tahu, harusnya dari dulu ya aku ajak kamu kesini."Aku tak menanggapi ucapannya, hanya segera berlari menuju bibir pantai, ingin merasakan ombak pantai ini. Dan aku sudah tak memikirkan apapun lagi ketika melihat pantai yang begitu biru ini, dan semilir angin yang berhembus. Aku suka semuanya, dan ini yang aku butuhkan."Aku gak tau kamu suka pantai. Perjalanan yang panjang, kan? Dan kebanyakan cewek gak suka yang kayak gitu, mereka lebih suka mall yang gak perlu panas-panasan kayak gini.""Tapi pemandangan yang di dapat setimpal sama perjalanan jauh ini, dan aku bukan termasuk tipe cewek yang kamu sebutin itu. Mungkin aku harus cari kos disini, jadi gak perlu stres setiap hari." Berandai-andai tak masalah, kan? Aku suka hal-hal tak berguna tapi menyenangkan seperti itu. Ya, aku juga takkan menolak jika harus tinggal disini. Aku sudah tak peduli bajuku akan kotor nanti, karena aku langsung duduk di pasir pantai dan kembali mengagumi keindahan laut yang membentang luas di hadapanku."Dan setiap hari harus naik kendaraan sampe Batam Center? Kayaknya kamu aja yang punya pikiran kayak gitu."Tawaku meledak, itu hanya sekedar pikiran liar yang terlintas. "Aku gak pernah minta kamu jemput, tapi kalo kamu memang mau, aku gak masalah harus naik beetle itu.”Sadar dengan apa yang baru saja terjadi padaku, aku banyak tertawa hari ini. Beban pikiranku seperti hilang begitu saja, dan Tio juga sama sekali tak menyinggung alasanku mengajaknya keluar pagi ini. Sehingga aku bisa menikmati hari ini.Tio mendengus mendengar ucapanku, ternyata liburan singkat ini bisa sangat menarik. Sangat menarik malah. Selama empat tahun aku bekerja di hotel, ini mungkin bisa jadi liburan pertama untukku. Aku hanya menghabiskan liburanku dengan tidur seharian di kamar, berjalan-jalan di mall sesekali, atau bahkan sengaja bekerja di hari liburku.Setelah di pikir-pikir, selama ini hidupku sangat monoton dan tak berwarna. Jangan tanya apakah Ritchie tak pernah mengajakku jalan-jalan. Ia pernah, hanya saja tak pernah ke tempat semenarik pantai ini. Ia sangat metropolitan dan membosankan. Daya tariknya hanyalah wajah dan seluruh kalimat yang ia keluarkan.Apa aku saat ini terlihat seperti menjelek-jelekkan mantan pacarku?Mungkin iya, tapi dulu aku tak memiliki kesempatan itu. Dan, karena saat ini aku sudah menyadari kesalahanku, maka aku hanya akan mengingat semua kejelekannya. Bukan berarti aku tak memiliki kenangan indah bersama Ritchie, kalian tahu, kan, jika kertas putih di berikan satu titik tinta hitam, maka yang terlihat hanya titik hitam itu saja. Itu yang terjadi padaku, dan aku tak akan membenarkan apapun."Mendingan kita cari pondok dulu, deh, matahari udah diatas kita banget nih."Aku mengiyakan, karena memang ketika kami sampai sudah hampir jam dua belas siang. Dan matahari di atasku seperti ingin membakar."Yo, kita pulangnya abis ngeliat sunset, ya? Pasti cantik banget deh.""Kayaknya gak bisa deh, aku gak tau pompongnya standby sampe jam berapa. Kita juga bakal kemaleman pulangnya nanti."Aku cemberut mendengar jawaban Tio, aku sangat ingin melihat sunset agar bisa mengabadikannya sebagai kenang-kenangan. Tapi, sepertinya itu juga sangat tak memungkinkan.Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk
Aku benar-benar pulang tepat waktu ketika Dewa menginformasikan kalau Erlangga akan berada di luar. Aku menghela napas lega. Sebenarnya tak ada yang kulakukan ketika sampai di rumah. Aku tinggal sendirian, dan juga tak memiliki teman di Bali. Menyedihkan memang, tapi aku masih menikmatinya, dan akan terus menikmatinya. Dengan hotpants yang hanya menutupi setengah pahaku, dan baju tanpa lengan, ditambah cardigan putih yang menutupi sampai lutut, aku berjalan mengelilingi Ubud di malam hari. Hal ini sering kulakukan jika aku pulang kerja lebih cepat dan aku sedang tak ingin menempuh perjalanan jauh menuju Kuta ataupun Sanur. Sebenarnya di Ubud juga ada pantai, aku hanya sekali saja berkunjung ke pantai itu. Aku lebih suka suasana Kuta ataupun Sanur, itulah kenapa aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk pantai di sana. Aku memasuki Istana Ubud setelah membeli tiket masuk di loket tadi. Setiap pukul tujuh tiga puluh, ada pertunjukan tari tradisional di Istana Ubud. Ini sudah kesekian k
Selama dua minggu ke depan, aku yakin hariku tak akan selancar biasanya. Salah satu bagian dari mimpi burukku yang coba kuhilangkan, tapi setelah di pikir-pikir, aku tak bisa menghindarinya.Erlangga ini, aku tak tahu apa yang ia mau. Kalian bisa bayangkan. Ia menginap di salah satu vila yang seharga hampir sepuluh juta selama dua minggu. Mungkin ia menghabiskan hampir seratus juta di vila ini. Itu haknya memang, tapi tetap saja. Memangnya sekaya apa dirinya hingga melakukan hal seperti ini?Hari pertama berjalan lancar, ia tak memiliki permintaan aneh. Yang paling aneh, ia hanya keluar dari kamarnya jika harus berenang di kolam. Bahkan ia meminta makanannya di antar kekamar. Minggu pertama ia menginap, ia selalu makan di restoran, dan hanya beberapa kali ia meminta room service.Aku mengetuk pintu vilanya lumayan lama untuk mengantarkan pesanan makan siang. Ketika aku sudah putus asa karena tak kunjung di bukakan, pintu itu terbuka menampilkan Erlangga dalam balutan handuk di pinggan
Aku kembali bekerja seperti biasa setelah cuti mendadak yang kuambil selama tiga hari. Mau tahu hal yang lucu? Clarissa sangat menentang ideku untuk cuti secara mendadak. Ia beralasan, seharusnya cuti itu di ambil setidaknya seminggu sebelumnya, jadi ia memiliki persiapan dan ada orang yang menggantikanku. Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?Aku menjadi bahan gosip lagi. Hal yang sudah bisa kutebak sebenarnya, dan aku tak peduli, mereka akan terus membicarakanku walau aku membela diriku sendiri.Mungkin lain kali ketika Clarissa ingin menyebarkan berita gosip tentangku, aku akan membawa wartawan. Setidaknya aku bisa tenar dengan gosip ini, aku bisa memiliki pekerjaan sampingan sebagai artis. Tak terlalu buruk. Toh, aku juga lumayan jago berakting, mungkin bisa lebih bagus dari aktris yang biasanya sering tampil di televisi itu.“Kamu bilangnya gak mau pacaran, tapi teman priamu lumayan banyak juga, ya,” ucap Bara, yang saat ini sedang menata barang-barang yang ada di bar.Aku seda