Akhirnya karena aku bersikeras melihat sunset, Tio mengajakku melihat sunset dari jembatan Barelang. Not bad, tapi pasti akan lebih indah jika bisa melihatnya langsung di pantai. Dan setelah itu kami segera pulang karena memang sudah hampir malam.
"Happy?" Tio bertanya setelah kami dalam perjalanan pulang, dia tidak banyak bertanya sejak tadi kami sampai di pantai dan juga makan malam.
Aku juga tak ingin mengungkit masalahku dan hanya menikmati liburan singkat ku dan berbagai cerita lucu yang Tio ceritakan. Jika bisa mungkin aku akan membuang semua masalahku di pantai tadi, sehingga aku tak perlu membawanya bersamaku lagi.
"Ya, aku gak tahu apa jadinya kalau aku gak ngajakin kamu pergi tadi." Itu saja, aku belum sanggup menambah cerita kepada orang lain.
"Ini ada hubungannya sama Ritchie, ya?"
Ini dia. Things I wouldn't tell anyone, but he knows. "Kami putus."
Tio tiba-tiba mengerem mendadak mobilnya. "Kamu serius? Tapi kenapa?"
"Gak perlu kaget gitu kali, kamu pasti udah nyangka bakal kejadian, kan?"
Tio mulai menjalankan mobilnya lagi. "Tapi kenapa? Aku pikir kalian baik-baik aja ke..." Seperti mengingat sesuatu, Tio tak melanjutkan ucapannya. "Apa gara-gara Tsania itu?"
"Mungkin ini yang terbaik. Pasangan yang udah nikah aja bisa cerai, kan?"
"Kalo ini karena Tsania..."
"Yo, apa aku harus tetap bertahan kalau nyatanya dia lebih cinta Tsania?"
Tio memberhentikan mobilnya, karena lampu jalan yang berubah merah.
"Kamu tahu itu darimana? Jangan nyimpulin sesuatu secepat itu, Van."
"Aku tahu semuanya, Yo. Dia juga gak secinta itu sama aku. Ini gak adil buat aku, dan aku juga udah capek jadi aku pengen sendiri dulu."
Aku mengalihkan pandanganku kearah jendela, dan setelah seharian ini aku melupakan masalah dengan Ritchie, aku baru mengingatnya lagi. Dan sepertinya air mataku akan selalu mengalir mengingat masalah ini.
"Van, aku gak bermaksud..." Tio tak melanjutkan kalimatnya karena bunyi klakson yang saling menyahut dari belakang mobil kami. Aku masih tak mau melihat Tio, air mataku masih mengalir dan aku tak mau terlihat lemah di hadapan siapapun.
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan gerbang kos, aku masih belum mengalihkan pandanganku kepada Tio. Aku membuka pintu mobil untuk keluar, tapi masih terkunci. Dan kali ini aku benar-benar menatap Tio yang juga menatapku.
"Aku minta maaf kalau kata-kataku di kantin kemarin bikin kamu berpikiran kayak gini. Kalian berdua itu cocok, dan aku cuman gak mau karena Tsania kamu jadi nyerah."
Aku menatapnya tak percaya, bahkan masih ada yang mendukung hubungan kami yang sudah tak memiliki masa depan sama sekali. Tio yang kemarin ada di pihakku saja, kini mulai membela Ritchie, mungkin karena Ritchie seorang atasan, hingga banyak yang membelanya. Screw that!
“Apa Ritchie yang nyuruh kamu ngomong kayak gini?” Aku menatap Tio tajam, rasanya seperti terkhianati berkali-kali.
Tio juga menatapku, seperti bingung harus menjawab seperti apa. Tapi setelah beberapa detik yang berlalu, Tio tak mengatakan apapun.
“Kamu takut posisi kamu terancam karena ini, apa Ritchie juga kayak gitu di dapur?” Aku bertanya dengan hati yang semakin sakit. Ternyata kebahagiaan kecil yang baru saja kurasakan tak mampu bertahan lama.
"Van..." Tio mencoba menjelaskan, tapi sepertinya ia sangat sulit untuk merangkai semua kalimat yang akan keluar.
"Aku suka pantai tadi, makasih buat hari ini. Kamu tahu kalau hari ini sangat berarti buat aku.”
Dan aku segera keluar dari mobil Tio dengan perasaan yang tersakiti lagi. Aku mempercayainya selama ini, dan lagi-lagi aku berpikir bahwa dialah sahabat terbaik yang kumiliki setelah Lucas dan Ina. Tapi, aku salah. Ia tak jauh berbeda dari Ritchie.
Kesimpulan pertama yang aku pikirkan adalah, pengaruh Ritchie sangat besar dalam mempengaruhi semua orang yang dekat denganku. Mungkin inilah balasan karena aku memutuskannya. Aku tak ingin berpikiran buruk, tapi pikiran itu terus berputar-putar di kepalaku. Bukankah pria itu sangat licik? Dan pengecut tentunya.
Dan yang lebih lucu, aku pernah bersama pria itu dalam waktu yang sangat lama. Aku benar-benar sudah mirip seperti anak remaja yang labil karena baru saja di putuskan oleh pacarnya. Dan aku selalu mengulang kalimat-kalimat itu berkali-kali dalam pikiranku, sampai aku sendiri merasa sudah hafal dengan apa yang akan aku pikirkan.
**
Aku mematung ditempatku berdiri. Ia sedang berdiri di samping motor besarnya seperti terakhir kali, dan sedang menatapku juga. Ia tampak berantakan, wajahnya sangat terlihat lelah, rambutnya juga sangat berantakan, tidak seperti hari biasanya. Jika saja aku masih Vania yang dulu, maka saat ini aku akan dengan senang hati berlari ke arahnya dan memeluk dengan sangat erat.
Memikirkan aku yang masih seperti dulu entah mengapa membuatku sangat geli, dan pertanyaan mulai muncul dibenakku. Jika aku tak pernah memutuskannya, apa ia akan berubah?
Aku tak pernah menyesali keputusanku, tak pernah sekalipun. Jika harus di sesali, maka Ritchie yang harus melakukan itu. Apa aku akan kembali padanya jika ia sudah menyesali perbuatannya? Tidak.
Aku berjalan mendekatinya, menegakkan daguku. "Ada apa?" Tanyaku ketika sudah ada dihadapannya. Aku menatapnya, tanpa ekspresi. Sebisa mungkin mengendalikan emosiku sampai titik terendah.
"Lucas bilang kamu sakit, tapi kamu terlihat baik-baik aja, kamu tahu aku khawatir banget dan gak bisa konsentrasi kerja."
Emosi itu sangat terlihat di wajahnya walau ia mengatakan kalimat itu dengan sangat tenang. Dia tidak pernah emosi sebelumnya, apa ia cemburu? Atau ia hanya akting? Dia sangat bagus jika melakukan itu, kemampuannya semakin bertambah seiring waktu berjalan.
"Aku gak pernah minta kamu untuk khawatir, dan aku memang sakit. Lalu apa pedulimu? Kita sudah putus dan tolong berhenti datang kesini, aku gak pernah minta." Aku bisa melihat kekagetannya, tapi itu hanya sesaat. Ia seperti tak ingin mengalah dengan kalimatku.
"Jadi selama 2 tahun ini sama sekali tak bermakna untukmu. Apa aku bahkan ada dihatimu?" Dia menatapku, tak ada rasa tersakiti dimatanya. Dia hanya terlihat menuntut penjelasan dariku, dan emosi yang berusaha ia munculkan dengan sekuat tenaga.
"Really, Ritch? Kamu bener-bener namyain itu sama aku? Kalau aku nanya balik ke kamu, kamu bakal jawab apa?" Aku hampir ingin tertawa miris jika tak melihat wajahnya.
Ritchie terlihat terluka dengan kalimatku barusan, aku baru sadar jika wajahnya sama sekali tak bisa berbohong dan ia menunjukkan semua emosi itu. Dan ia sama sekali tak menjawab pertanyaanku, jadi ini benar. Aku tak pernah ada di hatinya selama ini.
“Kamu gak bisa jawab pertanyaan itu. Dan aku bisa kasih kamu jawabannya. Dua tahun itu sangat berarti buat aku, aku bahagia dan kamu selalu jadi idolaku setiap waktu. Aku mencintaimu, sangat. Tapi aku sadar, aku tak pernah ada di hatimu. Dan di hidupmu hanya ada Tsania. Apa aku salah?”
Ritchie terdiam menatapku. Dan aku masih menanti ia untuk menjawab pertanyaanku.
“Aku sudah berulang-ulang menjelaskan kalau aku dan Tsania hanyalah teman baik, kami dekat sama seperti kamu dan Lucas, atau kamu dan Tio. Apa salah kalau aku dekat dengan teman wanitaku, sementara kamu juga dekat dengan temanmu?”
“Oh ya? Apa teman harus mengobrol berdua di ruangan tertutup, sementara orang lain menyimpulkan hal lain…,”
“Dan kamu juga memeluk Lucas, kamu pikir orang lain yang melihat akan berpikir seperti apa? Kamu juga bersalah di sini, dan kamu baru saja satu mobil dengan Tio seharian ini, aku penasaran apa yang mu—“
Aku tak perlu berpikir dua kali untuk menamparnya. Dia sangat keterlaluan untuk ukuran orang yang bersalah di sini. Ia bahkan membuat aku terlihat seperti penjahat sesungguhnya. Ritchie tak pernah menunjukkan sisi ini padaku, ia selalu terlihat lembut jika ada kesempatan. Jadi, semua itu juga hanya kepura-puraan juga?
“Kamu ingin terlihat seperti korban di sini? Kamu gak menerima keputusanku memutuskanmu secara sepihak? Apa harga dirimu sangat jatuh karena hal itu sampai harus membuatku seperti ini? Kamu sangat tahu kalau kamu yang bersalah di sini, apa sesulit itu mengakui kesalahanmu?!”
Ritchie menatapku dengan marah. Aku sudah dua kali menamparnya. Aku bahkan tak peduli jika penghuni kos yang lain akan terbangun mendengar teriakanku. Pria ini bahkan lebih brengsek dari yang aku kira. Aku tak pernah tahu ia akan memainkan peran seperti ini. Jadi benar semua kekhawatiran yang baru saja ia katakan hanya akting. Firasatku tak pernah salah sejauh ini.
“Kamu harusnya sadar kalau aku bisa ngelakuin apapun untuk membalas semua penghinaan ini.” Ia mengatakan hal itu dengan tenang, tapi aku tahu kalau ia sangat marah saat ini. Dan ia segera meninggalkanku berdiri di tengah halaman yang tak terlalu luas ini.
Aku tidak khawatir dengan apa yang mungkin bisa ia lakukan untuk membalasku. Aku hanya sangat tersakiti. Semua ketulusanku selama dua tahun ini sangat tak berarti untuknya, di hatinya tetap selalu Tsania.
Air mataku kembali mengalir untuk yang kesekian kalinya, ini air mata penyesalan yang tak pernah habis dan juga keputusasaan.
**
Pagi ini aku terlihat segar dan ceria. Aku bahkan menyapa seluruh karyawan yang aku temui di koridor dan di restoran. Tapi ini tidak berarti mood ku telah kembali, aku tidak ingin terlihat lemah dan aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja walau sudah putus dari Ritchie. Dia tak sepenting itu sehingga bisa terus mempengaruhiku. "Jadi kayaknya kalo diliat dari gelagat kamu, semalam kamu itu gak beneran sakit, kan?" Lucas menyapaku di area bar dengan senyuman yang mampu melelehkan hati para tamu dan karyawan wanita di sini. Aku menaikkan alisku pura-pura tak mengerti. "Kamu gak percaya sama aku, Luke? Jadi arti pertemanan kita selama ini apa?" Aku mengatakannya dengan helaan nafas yang kubuat sedemikian rupa. "Kali ini aku percaya kalo kamu sakit." Lucas menatapku seolah-olah aku adalah hal yang paling menjijikkan di dunia ini. Satu hal yang tak bisa di terima Lucas, aku yang menunjukkan aktingku dengan pura-pura lelah dan pura-pura imut. Aku hanya tertawa mendengar kalimatnya.
Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka. Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku. Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko p
Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak
Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket
Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya. Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya. Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang. Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Ak
Aku kembali bekerja setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejauh ini tak ada yang tahu aku mengundurkan diri, hanya Lucas dan Pak Robert. Tapi jika Lucas sudah membocorkannya, maka satu hotel akan mengetahuinya. Lucas bukan tipe orang yang akan membocorkan sesuatu tanpa tedeng aling-aling, tapi jika ada yang bertanya, maka Lucas tak segan untuk menceritakan semuanya.Pagi ini hotel terlihat ramai, padahal ini hari rabu. Aku melihat ke sekeliling dan hampir semua karyawan terlihat mondar mandir untuk melayani tamu. Tapi Lucas tak terlihat di manapun, mungkin ia masuk sore. Aku menuju bar untuk menghampiri Dwi yang sibuk meracik minuman.“Hai, Wi. Tumben rame, ya?”“Hai, Mbak. Iya nih, ada grup dari Singapor. Gimana cutinya?” Dwi menjawab pertanyaanku sembari fokus pada mocktail yang sedang ia racik.“Lucas gak cerita sama kamu, ya?”“Cerita apa, Mbak?”Biasanya jika ada berita apapun yang menyangkut diriku, Lucas akan menceritakan langsung pada Dwi. Tumben sekali kali ini dia lebih men
Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya. "Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar. Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain? "Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini? Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayan
Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa. Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya. Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik. Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua