Pagi ini aku terlihat segar dan ceria. Aku bahkan menyapa seluruh karyawan yang aku temui di koridor dan di restoran. Tapi ini tidak berarti mood ku telah kembali, aku tidak ingin terlihat lemah dan aku ingin membuktikan bahwa aku baik-baik saja walau sudah putus dari Ritchie. Dia tak sepenting itu sehingga bisa terus mempengaruhiku.
"Jadi kayaknya kalo diliat dari gelagat kamu, semalam kamu itu gak beneran sakit, kan?" Lucas menyapaku di area bar dengan senyuman yang mampu melelehkan hati para tamu dan karyawan wanita di sini.
Aku menaikkan alisku pura-pura tak mengerti. "Kamu gak percaya sama aku, Luke? Jadi arti pertemanan kita selama ini apa?" Aku mengatakannya dengan helaan nafas yang kubuat sedemikian rupa.
"Kali ini aku percaya kalo kamu sakit." Lucas menatapku seolah-olah aku adalah hal yang paling menjijikkan di dunia ini. Satu hal yang tak bisa di terima Lucas, aku yang menunjukkan aktingku dengan pura-pura lelah dan pura-pura imut.
Aku hanya tertawa mendengar kalimatnya. Aku rasa moodku akan segera membaik. Ini yang harusnya aku lakukan sejak dulu. Berkumpul bersama teman baikku tanpa melibatkan orang lain yang pada akhirnya hanya menghancurkanku.
“Aku putus.” Aku membisikinya yang kebetulan berada dekat di sampingku.
Hari ini tamu yang sedang menikmati sarapannya di restoran tidak banyak, karena ini weekday. Jadi aku bisa memerankan apa yang sebenarnya di lakukan oleh supervisor, memantau karyawan lain dan juga para anak magang yang mondar-mandir melayani tamu. Sangat bukan aku sebenarnya, tapi apa salahnya menikmati selagi bisa.
Lucas menatapku kaget, dan ada binar senang di matanya. Ia seperti sudah menunggu lama untukku mengatakan itu padanya. Teman-temanku juga sangat tak menyukai hubungan romantisku dan Ritchie. Benar jika cinta membutakan, pendapat orang terdekatku tak pernah kudengarkan, dan aku seperti mendapat karma karena hal itu.
“I want detail,” ucapnya. Lucas bahkan sudah memusatkan perhatian penuh padaku.
Aku sedikit menundukkan kepala, sejenak berpikir. Belum ada satu orangpun dari sahabatku yang tahu cerita ini, termasuk Ina. Tio bahkan tak sepenuhnya tahu alasanku putus, ia hanya tahu ini semua karena Tsania. Tak sepenuhnya salah, tapi yang semakin membuatku yakin untuk mengakhiri hubungan ini adalah Ritchie sendiri.
“Ceritanya panjang, dan aku yakin kamu pasti udah bisa duga kenapa aku putus,”
“Kamu gak nyesel, kan putus sama dia?”
Aku menatap Lucas yang tampak tak yakin dengan ucapanku. Itu sangat wajar, karena sejak dulu cintaku sangat kuat dan sama sekali tak menghiraukan pendapat orang lain tentang Ritchie. Tapi kali ini aku seperti sudah di sadarkan, dan sama sekali tak berniat untuk menarik ucapanku. Aku bangga pada diriku sendiri karena berhasil lepas dari Ritchie.
“Itulah alasan kenapa aku bisa tersenyum lebar pagi ini, dan Vania yang dulu udah menghilang dari raga ini. I’m the new Vania.” Aku menaikturunkan alis dan tersenyum padanya.
Sejujurnya aku sudah tak peduli lagi, kalau aku bahagia saat ini lalu beberapa saat kemudian aku kembali merasakan sakit. Itulah yang harus aku lalui untuk saat ini dan beberapa waktu kedepannya. Aku sudah bisa melaluinya, dan sangat kebal tentunya.
Lucas langsung mencubit kedua pipiku dan menggoyangkannya tanpa merasa bersalah sedikitpun. “That’s my Vania! Kemana aja kamu selama ini baru sadar, hah?” Dan ia langsung melepaskannya tanpa rasa bersalah juga.
“Kamu tahu, aku bisa ngasih rekomendasi pemecatan karyawan ke Pak Robert sekarang juga,” Aku memegangi kedua pipiku yang sangat sakit karena cubitannya yang tak berperasaan itu.
“Dan kamu bakal kehilangan temen kayak aku, aku ragu kamu bisa ngelakuin itu.” Lucas tertawa dengan penuh kemenangan, dan aku hanya mencibirnya.
“Duh, masih pagi udah mesra-mesraan aja kalian.” Dwi menimpali kami berdua yang tiba-tiba saja sudah muncul di tengah-tengah kami.
“Ada yang lebih iri, Wi, tapi si Lucas ini sok kegantengan banget ngacuhin cewek itu,”
Dwi terlihat sedikit penasaran dengan kalimatku barusan, ia bahkan mendekatkan wajahnya untuk mendengar lebih rinci kalimatku.
“Yang lagi berdiri di depan stand omelette, dia dari tadi ngeliatin aku sinis banget, tapi dari pertama dia ketemu aku udah kayak gitu sih, dia.”
Dwi melihat terang-terangan Bella yang sedang berdiri menatapku dengan sinis, ia bahkan tak ragu memperlihatkannya. Aku tidak peduli sebenarnya, ia hanyalah anak magang yang kebetulan adalah sepupu dari Tsania. Dan fakta bahwa ia menyukai Lucas, aku tak peduli karena aku sudah bersahabat dengan Lucas, sebelum ia menginjakkan kaki di hotel ini dan menyukai Lucas. Lain kali aku akan menunjukkan betapa berpengaruhnya aku di sini, aku menunggu saat yang tepat untuk itu.
“Aku bahkan sering banget liat dia ngobrol sama anak magang lainnya, gosipin Mbak Vania. Dan yang jelek-jelek pastinya. Bang Lucas emang beda, ya, fansnya.”
Dwi menepuk bahu Lucas beberapa kali, menunjukkan wajah prihatinnya. Dan sudah bisa di tebak bagaimana jeleknya wajah Lucas saat ini. Ia sangat membenci fakta bahwa Bella menyukainya, apalagi Bella adalah sepupu Tsania. Untuk kalian tahu, Lucas sangat membenci Tsania. Alasannya?
Sebaiknya kalian cari tahu sendiri, karena aku tak akan memberitahu kalian.
**
Aku menjalani sisa hariku dengan tenang, Ritchie belum terlihat dimanapun, dan aku mensyukuri hal itu. Mungkin ia masuk di shift sore. Aku juga sempat berpapasan dengan Tsania, dan kami hanya melemparkan senyum seadanya tanpa tegur sapa. Aku tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Ritchie sekarang. Kalau bisa sebenarnya ingin sekali mutasi dari hotel ini, tapi sayang sekali belum ada kesempatan untuk itu. Mungkin ya, aku harus dituntut untuk menjadi lebih profesional menghadapi mereka. Briefing soreku sudah selesai, beruntung hari ini aku tak perlu pulang malam karena hari ini juga sedang tidak ada event. Mungkin itu adalah bagian keberuntunganku. Aku masih melayani tamu terakhirku, karena sebenarnya aku tak terbiasa pulang tepat waktu. Katakan saja aku orang yang kesepian, teman terdekatku hanyalah Ina. Dia bekerja di departemen finance, jadi tentu saja jam pulang kami berbeda. Jika hari biasa ia akan pulang jam lima, dan ketika mendekati akhir bulan ia akan sedikit lembur. Resiko p
Malam itu aku merenungkan semua permasalahan yang menimpaku. Ini bukan sejenis masalah besar yang melibatkan Negara, ataupun ekonomi yang saat ini sedang menurun. Ini tentang hati dan juga jiwaku yang sudah tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi. Aku bukan ingin lari dari masalahku, aku ingin menyelesaikannya, tapi aku sama sekali tak melihat jalan keluar dari semua masalah ini. Apa harus kuselesaikan dengan kata maaf? Tapi akulah korban di sini, aku yang menanggung semua rasa sakit itu. Aku memeluk kedua lututku, menatap laptop yang menyala, menampilkan email balasan dari resort di Ubud. Aku mengirimkan surat lamaranku beberapa hari yang lalu. Dan hanya inilah yang mampu membawaku pergi dari semua masalah ini. Aku tak akan peduli jika ada yang mengataiku pengecut. Mereka tak mengalaminya. Mereka hanya melihat dan menilai, merasa selalu benar dengan pemikiran mereka masing-masing. Yang aku butuhkan adalah ketenangan. ** Aku tak pernah suka keramaian, bukan benar-benar tak
Aku kembali ke rutinitasku seperti biasa, hari ini aku terlihat lebih ceria dari biasanya bahkan terlalu ceria menurut ukuranku. Sesama temanku di restoran ini bahkan sampai heran dengan sifatku hari ini, aku tak pernah seceria ini sebelumnya, bisa dibilang aku satu-satunya senior yang pelit senyum. Tapi itu akan berbeda ketika berhadapan dengan tamu, aku harus menampilkan senyumku apapun masalahku saat ini. "Kamu lebih banyak senyum kayaknya, ya, hari ini?" Tanya pak Robert yang menemaniku berjaga di bar. Pak Robert ini merupakan Manajer yang sangat humble dan selalu membaur dengan kami-kami ini yang merupakan bawahannya. "Aneh ya, pak?" Tanyaku ringan. "Itu malah bagus jadi terlihat fresh dan saya gak perlu sering-sering negur kamu, kan?" Aku tertawa mendengar ucapan Pak Robert. Ya aku memang sering mendapat teguran karena sifatku yang satu itu. Aku tak pernah tahu seperti apa wajahku yang sering aku tampilkan. Mereka selalu bilang kalau aku harus sering-sering tersenyum, dan ket
Aku berdiri di tengah-tengah ballroom yang sudah penuh dengan meja bundar beserta kursinya. Kami harus bersiap untuk acara besok, walaupun hanya untuk lima puluh tamu. Aku melihat ke sekelilingku, aku tak percaya akan meninggalkan tempat yang sudah membesarkanku selama ini. Pemandangan ini akan sangat kurindukan nantinya. Hal yang sangat aneh kurasakan saat ini adalah, aku sangat jarang bertemu Ritchie. Bahkan hampir tak pernah. Aku bukan dengan sengaja menghindarinya, aku bekerja seperti biasanya. Tapi itu hal bagus sebenarnya, jadi aku tak perlu berpura-pura menghindarinya. Pintu di hadapanku terbuka, dan Bella muncul dengan wajah sinisnya. Hanya ini masalahku yang tersisa saat ini. Aku bahkan tak mengerti atas alasan apa ia membenciku, kami juga tak pernah saling sapa. Aku sangat menjunjung tinggi senioritas, apalagi jika itu menyangkut karyawan baru ataupun anak magang. Terdengar sombong, tapi itu prinsipku. Tapi masih di batas wajar, aku juga tak terlalu mengekang bawahanku. Ak
Aku kembali bekerja setelah menyelesaikan urusan di Bali. Sejauh ini tak ada yang tahu aku mengundurkan diri, hanya Lucas dan Pak Robert. Tapi jika Lucas sudah membocorkannya, maka satu hotel akan mengetahuinya. Lucas bukan tipe orang yang akan membocorkan sesuatu tanpa tedeng aling-aling, tapi jika ada yang bertanya, maka Lucas tak segan untuk menceritakan semuanya.Pagi ini hotel terlihat ramai, padahal ini hari rabu. Aku melihat ke sekeliling dan hampir semua karyawan terlihat mondar mandir untuk melayani tamu. Tapi Lucas tak terlihat di manapun, mungkin ia masuk sore. Aku menuju bar untuk menghampiri Dwi yang sibuk meracik minuman.“Hai, Wi. Tumben rame, ya?”“Hai, Mbak. Iya nih, ada grup dari Singapor. Gimana cutinya?” Dwi menjawab pertanyaanku sembari fokus pada mocktail yang sedang ia racik.“Lucas gak cerita sama kamu, ya?”“Cerita apa, Mbak?”Biasanya jika ada berita apapun yang menyangkut diriku, Lucas akan menceritakan langsung pada Dwi. Tumben sekali kali ini dia lebih men
Tapi sepertinya doaku tak di kabulkan. Aku baru saja sampai di kosku, dan menemukan Tsania sedang duduk di teras kamar kosku. Aku ingin mengurungkan niat untuk memasuki gerbang, tapi aku tak ingin terlihat seperti pengecut. Dan juga, bukan aku yang bersalah di sini. Jadi aku tetap melangkah maju, mereka sudah menghancurkan hidupku sedemikian rupa. Jadi lebih baik jika di hancurkan langsung semuanya. "Tumben, Tsan." Aku menyapanya dengan datar. Tak ada alasan untuk ramah padanya setelah semua yang terjadi. Lagipula aku heran, bagaimana bisa ia menemuiku setelah semua gosip yang ia sebarkan? Apa ia ingin meminta maaf? Atau ingin mengorek cerita lebih dalam agar bisa di jadikan bahan gosip lain? "Iya nih, boleh ngobrol-ngobrol sebentar, Van? Atau kamu mau langsung istirahat?" tanyanya. Ia menunjukkan wajah tak bersalah, dan masih bisa tersenyum, bagaimana seseorang bisa melakukan semua hal seperti ini? Aku akui ia memang cantik, wajahnya hampir mirip dengan Bella. Tapi sangat di sayan
Aku menatap dengan seksama matahari terbit yang sangat indah menyinari pantai ini. Pantai ini selalu menjadi tempat tujuan ketika mendapatkan hari liburku, karena jaraknya yang jauh dengan tempat kosku, dan aku juga tak mungkin mampu berkendara selama lebih dari satu jam hanya untuk mengunjungi pantai ini di hari biasa. Sudah hampir enam bulan aku tinggal dan bekerja di Bali. Aku menyukainya. Setidaknya aku sudah menemukan kenyamananku di kota ini. Dan aku selalu menghabiskan seharian berada di pantai Sanur ini, terkadang aku juga mengunjungi pantai Kuta. Aku hampir mendatangi seluruh pantai yang ada di Bali sepertinya. Aku bekerja di Kayon Resort yang terletak di Ubud, salah satu daerah di Bali yang terkenal dengan budayanya. Awalnya aku memilih resort ini hanya untuk berlibur, ketika aku sedang menghadapi masalahku saat itu. Tapi, kemudian aku malah mengirimkan lamaranku dan mereka meresponnya dengan baik. Tapi aku bersyukur saat itu karena langsung menerimanya tanpa berpikir dua
Aku kembali melanjutkan aktifitas seperti biasa, setelah aku menghabiskan satu hari penuh bersama Lucas. Aku tetap merasa lelah walaupun sudah libur, karena Lucas tentunya. Jika saja ia tidak memaksa untuk di temani berkeliling Bali, maka aku tidak akan selelah ini. Tapi aku tetap menikmatinya. Keuntungan bekerja di resort, aku tidak perlu menyibukkan diriku untuk menyiapkan buffet breakfast yang selalu ada di setiap city hotel. Bisa di bilang pekerjaanku cukup santai, walaupun tanggunng jawab yang kumiliki cukup besar karena aku yang mengepalai restoran di resort ini. Jabatanku hanya sementara, aku melamar sebagai asisten manajer di resort ini, tapi selang beberapa hari aku bekerja di sini, manajer restoran ini mengundurkan diri. Dan karena belum ada penggantinya, maka aku sementara menjadi manajer restoran di resort ini. Sejauh ini aku bekerja, tak ada kesulitan yang berarti kecuali mengenakan seragam. Karena konsep resort ini sendiri sangat kental budaya Bali, maka seragam yang k