Share

Bab 19

Namanya Clarissa, ingat sesuatu?

Ya, namanya sama seperti temanku di Batam, tapi percayalah mereka hanya berbagi nama yang sama, dan mungkin sifat yang sama juga. Dia cantik—ini jujur—dan umurnya itu sudah dua sembilan, lebih muda sedikit dari Mbak Gita, tapi ia sama sekali tak sedewasa Mbak Gita. Masalah dia cantik, aku harus jujur, karena dia memang cantik.

Kulitnya kuning langsat, dan dia asli orang Bali. Dari cerita yang kudengar, orang tuanya cukup berada, ia bahkan alumni salah satu kampus bergengsi di Australia, lalu aku sangat penasaran kenapa sifatnya tak mencerminkan pendidikannya. Mungkin, masalahnya memang ada pada wanita itu sendiri.

Pertama kali aku melamar di resort ini, aku memang melamar sebagai asisten manajer karena memang bagian itu yang kosong. Aku lolos dalam semua tes yang di lakukan oleh personalia, lalu aku resmi menjadi karyawan di sini. Sejak awal Clarrisa memang tak menyukaiku dan aku tak tahu awal permasalahan kami dari mana. Yang aku tahu, aku melakukan semuanya sesuai prosedur yang ada, dan aku selalu bersikap ramah pada semua orang termasuk Clarissa.

Hanya ia satu-satunya senior yang menyulitkanku, padahal senior yang lain memperlakukanku seperti biasa. Sejak awal aku memang sudah di peringati soal wanita ini dan semuanya benar. Dia mencoba melakukan apapun agar aku tak betah bekerja di sini. Lalu semua semakin di perkeruh dengan personalia yang memintaku menjadi manajer sementara karena memang posisi itu sedang kosong.

Aku tak pernah menanggapi itu dengan serius, dan dia adalah orang pertama yang akan menjelekkanku ketika aku melakukan kesalahan kecil sekalipun. Di mataku dia hanyalah wanita gila yang haus jabatan dan kekuasaan, entah apa yang di carinya dari semua itu.

Jika aku memliki pilihan maka aku akan sangat senang melepas posisi ini, tapi bukan untuk kuberikan pada wanita itu.

Bagaimana menurut kalian? Apa wanita itu sudah cukup buruk di mata kalian? Aku tak ingin mengatakan ini, tapi dia memang seburuk itu. Hampir setara dengan Tsania dalam hal yang berbeda.

Apa sudah cukup aku menceritakan kejelekannya? Seiring waktu kalian akan mengerti betapa jahatnya dia, dan aku tak akan meminta maaf karena sudah mengatakan itu. Tak apa jika aku menjadi antagonis di sini, aku sudah lelah menjadi protagonis yang selalu tersakiti. Menjadi antagonis juga tak buruk.

**

Bisa di bilang hidupku sangat membosankan, aku hanya bekerja, pulang, istirahat, lalu berulang lagi dari awal. Repetisi itu selalu terjadi setiap hari. Di setiap minggu ketika aku mendapatkan hari liburku, maka aku akan mengelilingi pantai yang ada di Bali, lelah tapi selalu terbayarkan dengan keindahan alam yang sangat kukagumi.

Aku tak memiliki seorang teman ketika ingin menjelajah surga tersembunyi di Bali. Temanku hanyalah para rekan kerjaku, dan jadwal liburku dengan mereka semua sangat berbeda jadi aku tak bisa mengajak mereka. Lagipula aku juga merasa aneh jika harus mengajak mereka, walaupun mereka akan mengiyakan dengan mudah. Aku hanya sudah bersama mereka selama dua ratus delapan jam selama satu bulan, bahkan mungkin lebih, jadi aku lebih memilih melakukan apapun sendirian.

Aku memasuki Kepitu restoran pagi itu dengan wajah yang segar. Ya, hanya ketika pagi hari aku merasakan wajahku segar dan cantik, karena aku belum melakukan apapun tentu saja. Ketika jam makan siang berakhir, aku akan merasakan betapa hancurnya wajahku yang sama sekali tak cantik ini.

Sudah ada beberapa tamu yang menyantap sarapannya di Kepitu. Kepitu akan sangat sepi ketika pagi, tapi ketika siang hari Kepitu sangat sibuk dan makan malam yang tak boleh terlupakan. Di sini tak ada buffet breakfast, mereka hanya memesan menu ala carte.

Apa kalian bisa menebak apa yang sedang kulihat saat ini? Pemandangan ini sangat janggal. Aku melihat Mister Benjamin sarapan bersama seseorang, bukan pacarnya tentu saja. Itu adalah pria yang punggungnya sangat kuhafal di luar otakku. Entahlah, aku sangat mudah menghafal hal yang menjadi ciri khas seseorang, seperti kebiasaan. Erlangga.

Yang mengejutkan adalah ketika Mister Benjamin menoleh ke arahku berdiri, aku tersenyum dan menundukkan kepala sedikit, tapi parahnya ia melambaikan tangannya memanggilku. Apa lagi ini? Aku sudah sangat menghindari pria itu, tapi kenapa rasanya keadaan sangat tak mendukung apapun yang kulakukan.

“Morning, Vania. Bagaimana kabarmu hari ini?”

Ada satu hal yang selalu kusukai dari Mister Benjamin, dia selalu menyapa karyawan yang di temui, lalu tak lupa menanyakan kabar. Walaupun bahasa Indonesianya sangat tidak lancar, bahkan terkesan memaksakan apa yang ia tahu, alasannya agar lebih dekat dengan para karyawan. Ya, aku sangat mengapresiasi hal itu. Ia baru memasuki pertengahan tiga puluh tapi sangat rendah hati, dan jangan lupakan wajah tampannya yang selalu ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Jika saja ia bukan General Manajer, mungkin aku akan menyatakan perasaanku.

“Selamat pagi, Mister. Kabar saya baik, seperti biasanya,” jawabku. Aku memberikan senyum ramah di tingkat yang mungkin kalian sendiri tak mampu membayangkan.

Mister Benjamin juga balas memberi senyumannya, yang tentu saja itu sangat manis. Ah, aku jatuh cinta. “Oh ya, perkenalkan ini teman saya yang sedang mengurusi usahanya di Ubud. Erlangga Aryasetya Himawan.”

Kenapa harus selengkap itu menyebut namanya? Aku bahkan tak akan mengingatnya. Aku segera menjabat tangan yang sudah ia ulurkan, di tambah senyumnya itu yang hampir menyamai Mister Benjamin. Apa karena mereka berteman jadi ketampanan mereka sangat kentara?

“Vania.”

Aku rasa bukan hal penting jika aku menyebutkan nama panjangku, aku juga akan tetap di panggil Vania.

“Dia adalah manajer restoran ini yang baru. Aku menyukai cara kerjanya, ia sangat tekun dan kinerjanya juga bagus sejak pertama kali bekerja,” ucap Mister Benjamin dengan raut bangga.

Apa aku sehebat itu di matanya? Tapi kenapa Clarissa tak mengetahui hal itu sehingga bisa menghentikan kebenciannya padaku?

“Selamat menikmati hidangannya, saya akan kembali bekerja.”

Aku memberikan senyum terakhir pada mereka sebelum berlalu dari hadapan keduanya. Ini adalah cara yang buruk untuk memulai rutinitas, tapi aku tak bisa berbuat apapun. Fakta baru yang kudapatkan adalah Erlangga yang seorang pengusaha dan ia berteman dengan Mister Benjamin.

Yang terpenting, aku tidak peduli dengan hal itu. Aku tidak akan peduli bahkan, jika pada akhirnya Erlangga adalah pemilik resort ini.

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status