Namanya Clarissa, ingat sesuatu?
Ya, namanya sama seperti temanku di Batam, tapi percayalah mereka hanya berbagi nama yang sama, dan mungkin sifat yang sama juga. Dia cantik—ini jujur—dan umurnya itu sudah dua sembilan, lebih muda sedikit dari Mbak Gita, tapi ia sama sekali tak sedewasa Mbak Gita. Masalah dia cantik, aku harus jujur, karena dia memang cantik.
Kulitnya kuning langsat, dan dia asli orang Bali. Dari cerita yang kudengar, orang tuanya cukup berada, ia bahkan alumni salah satu kampus bergengsi di Australia, lalu aku sangat penasaran kenapa sifatnya tak mencerminkan pendidikannya. Mungkin, masalahnya memang ada pada wanita itu sendiri.
Pertama kali aku melamar di resort ini, aku memang melamar sebagai asisten manajer karena memang bagian itu yang kosong. Aku lolos dalam semua tes yang di lakukan oleh personalia, lalu aku resmi menjadi karyawan di sini. Sejak awal Clarrisa memang tak menyukaiku dan aku tak tahu awal permasalahan kami dari mana. Yang aku tahu, aku melakukan semuanya sesuai prosedur yang ada, dan aku selalu bersikap ramah pada semua orang termasuk Clarissa.
Hanya ia satu-satunya senior yang menyulitkanku, padahal senior yang lain memperlakukanku seperti biasa. Sejak awal aku memang sudah di peringati soal wanita ini dan semuanya benar. Dia mencoba melakukan apapun agar aku tak betah bekerja di sini. Lalu semua semakin di perkeruh dengan personalia yang memintaku menjadi manajer sementara karena memang posisi itu sedang kosong.
Aku tak pernah menanggapi itu dengan serius, dan dia adalah orang pertama yang akan menjelekkanku ketika aku melakukan kesalahan kecil sekalipun. Di mataku dia hanyalah wanita gila yang haus jabatan dan kekuasaan, entah apa yang di carinya dari semua itu.
Jika aku memliki pilihan maka aku akan sangat senang melepas posisi ini, tapi bukan untuk kuberikan pada wanita itu.
Bagaimana menurut kalian? Apa wanita itu sudah cukup buruk di mata kalian? Aku tak ingin mengatakan ini, tapi dia memang seburuk itu. Hampir setara dengan Tsania dalam hal yang berbeda.
Apa sudah cukup aku menceritakan kejelekannya? Seiring waktu kalian akan mengerti betapa jahatnya dia, dan aku tak akan meminta maaf karena sudah mengatakan itu. Tak apa jika aku menjadi antagonis di sini, aku sudah lelah menjadi protagonis yang selalu tersakiti. Menjadi antagonis juga tak buruk.
**
Bisa di bilang hidupku sangat membosankan, aku hanya bekerja, pulang, istirahat, lalu berulang lagi dari awal. Repetisi itu selalu terjadi setiap hari. Di setiap minggu ketika aku mendapatkan hari liburku, maka aku akan mengelilingi pantai yang ada di Bali, lelah tapi selalu terbayarkan dengan keindahan alam yang sangat kukagumi.
Aku tak memiliki seorang teman ketika ingin menjelajah surga tersembunyi di Bali. Temanku hanyalah para rekan kerjaku, dan jadwal liburku dengan mereka semua sangat berbeda jadi aku tak bisa mengajak mereka. Lagipula aku juga merasa aneh jika harus mengajak mereka, walaupun mereka akan mengiyakan dengan mudah. Aku hanya sudah bersama mereka selama dua ratus delapan jam selama satu bulan, bahkan mungkin lebih, jadi aku lebih memilih melakukan apapun sendirian.
Aku memasuki Kepitu restoran pagi itu dengan wajah yang segar. Ya, hanya ketika pagi hari aku merasakan wajahku segar dan cantik, karena aku belum melakukan apapun tentu saja. Ketika jam makan siang berakhir, aku akan merasakan betapa hancurnya wajahku yang sama sekali tak cantik ini.
Sudah ada beberapa tamu yang menyantap sarapannya di Kepitu. Kepitu akan sangat sepi ketika pagi, tapi ketika siang hari Kepitu sangat sibuk dan makan malam yang tak boleh terlupakan. Di sini tak ada buffet breakfast, mereka hanya memesan menu ala carte.
Apa kalian bisa menebak apa yang sedang kulihat saat ini? Pemandangan ini sangat janggal. Aku melihat Mister Benjamin sarapan bersama seseorang, bukan pacarnya tentu saja. Itu adalah pria yang punggungnya sangat kuhafal di luar otakku. Entahlah, aku sangat mudah menghafal hal yang menjadi ciri khas seseorang, seperti kebiasaan. Erlangga.
Yang mengejutkan adalah ketika Mister Benjamin menoleh ke arahku berdiri, aku tersenyum dan menundukkan kepala sedikit, tapi parahnya ia melambaikan tangannya memanggilku. Apa lagi ini? Aku sudah sangat menghindari pria itu, tapi kenapa rasanya keadaan sangat tak mendukung apapun yang kulakukan.
“Morning, Vania. Bagaimana kabarmu hari ini?”
Ada satu hal yang selalu kusukai dari Mister Benjamin, dia selalu menyapa karyawan yang di temui, lalu tak lupa menanyakan kabar. Walaupun bahasa Indonesianya sangat tidak lancar, bahkan terkesan memaksakan apa yang ia tahu, alasannya agar lebih dekat dengan para karyawan. Ya, aku sangat mengapresiasi hal itu. Ia baru memasuki pertengahan tiga puluh tapi sangat rendah hati, dan jangan lupakan wajah tampannya yang selalu ditumbuhi bulu-bulu halus itu. Jika saja ia bukan General Manajer, mungkin aku akan menyatakan perasaanku.
“Selamat pagi, Mister. Kabar saya baik, seperti biasanya,” jawabku. Aku memberikan senyum ramah di tingkat yang mungkin kalian sendiri tak mampu membayangkan.
Mister Benjamin juga balas memberi senyumannya, yang tentu saja itu sangat manis. Ah, aku jatuh cinta. “Oh ya, perkenalkan ini teman saya yang sedang mengurusi usahanya di Ubud. Erlangga Aryasetya Himawan.”
Kenapa harus selengkap itu menyebut namanya? Aku bahkan tak akan mengingatnya. Aku segera menjabat tangan yang sudah ia ulurkan, di tambah senyumnya itu yang hampir menyamai Mister Benjamin. Apa karena mereka berteman jadi ketampanan mereka sangat kentara?
“Vania.”
Aku rasa bukan hal penting jika aku menyebutkan nama panjangku, aku juga akan tetap di panggil Vania.
“Dia adalah manajer restoran ini yang baru. Aku menyukai cara kerjanya, ia sangat tekun dan kinerjanya juga bagus sejak pertama kali bekerja,” ucap Mister Benjamin dengan raut bangga.
Apa aku sehebat itu di matanya? Tapi kenapa Clarissa tak mengetahui hal itu sehingga bisa menghentikan kebenciannya padaku?
“Selamat menikmati hidangannya, saya akan kembali bekerja.”
Aku memberikan senyum terakhir pada mereka sebelum berlalu dari hadapan keduanya. Ini adalah cara yang buruk untuk memulai rutinitas, tapi aku tak bisa berbuat apapun. Fakta baru yang kudapatkan adalah Erlangga yang seorang pengusaha dan ia berteman dengan Mister Benjamin.
Yang terpenting, aku tidak peduli dengan hal itu. Aku tidak akan peduli bahkan, jika pada akhirnya Erlangga adalah pemilik resort ini.
**
Belajar dari kesalahan yang sebelumnya, tapi ini bukan kesalahanku juga sebenarnya. Aku justru tak tahu di bagian mana aku melakukan kesalahan, semuanya hanya terjdai secara alami dan aku mendapatkan bagian yang sial. Vania dan kesialan sepertinya sudah mendarah daging dan juga menjadi takdirku.Aku di pecat begitu saja, dengan kejadian yang aku sendiri sama sekali tak tahu bagaimana caranya aku bisa terlibat. Ini tak adil memang, tapi jika sudah seperti ini aku juga tak bisa melakukan apapun. Jejakku yang tertera di sana, dan itu menjadi bukti yang konkrit. Siapa lagi yang bisa bertanggung jawab jika bukan aku?Pada saat seperti ini, pikiranku justru melakukan hal konyol dengan memikirkan skenario terburuk. Mungkin saja ini ulah Clarissa yang sengaja menjebakku karena tak ingin melihatku lebih lama bertahan pada jabatan ini. Aku tahu ini sangat sempit dan terlalu klise, justru aku memikirkan wanita itu setelah kejadian buruk ini menimpaku.“Berita itu benar?”Aku mendongak dari pintu
Kembali ke rutinitasku bekerja sebagai seorang manajer di sebuah resort di Ubud, aku harus bekerja untuk membiayai hidupku sendiri dan seluruh perjalanan ke Kuta nanti. Jika di suruh memilih, aku juga lebih suka bersantai di kamar dengan buku di sebelahku dan juga musik yang mengiringi untuk menambah suasana lebih berwarna.Bekerja ketika suasana hatiku sedang tak baik sangat sulit, aku harus memaksakan senyumku selama hari belum berakhir dan bersikap ceria di hadapan orang lain. Itu adalah hal yang sangat melelahkan dan menguras tenaga dua kali lipat dari biasanya. Apapun yang di awali dengan kepura-puraan, selalu berjalan dengan tak baik.Ada sesuatu yang janggal kurasakan ketika melangkahkan kaki menuju restoran pagi ini, entah ini hanya perasaanku saja atau memang ada yang aneh. Aku selalu mendapati anggotaku menyapa dengan ceria ketika aku muncul, atau hanya melemparkan sapaan dalam bentuk senyum, tapi hari ini berbeda. Tak ada senyum, tak ada sapaan, mereka seperti sibuk dengan
Hingga pukul lima sore, aku benar-benar tak beranjak dari kamar ini. Perutku keroncongan karena hanya terisi dengan air putih dan jus jeruk. Makan siang yang di buatkan untukku sama sekali tak kusentuh, nafsu makanku hilang dan yang kuinginkan hanya tidur dan beristirahat. Beruntung vila yang di sewa oleh Erlangga ini memiliki pemandangan yang indah. Aku benar-benar mirip korban penculikan yang menunggu sang penculik untuk membebaskanku. Erlangga sama sekali tak mengirimkan atau memberikan semua barang-barangku, entah pukul berapa Erlangga akan pulang, mungkin malam, mungkin juga tengah malam. Yang paling ekstrem adalah ia memilih tak pulang. Terserah dia, aku juga tak peduli. Mataku masih terpaku pada pemandangan pantai di bawah sana, bagaimana jika aku kembali menenggelamkan diri di sana? Kalian tahu, rasanya benar-benar tenang. Sayup-sayup kudengar pintu kamar yang di buka secara kasar, apa itu Erlangga? Karena pelayan restoran vila ini tak mungkin melakukan hal seperti itu. Aku
Aku memutuskan untuk kembali mengambil cuti selama tiga hari, sangat tak mungkin untukku masuk kerja dalam kondisi kacau seperti ini. Aku tak peduli jika tak di anggap tak profesional ataupun mereka mencabut jabatan manajer ini dariku. Bukannya tak ingin bertanggung jawab, hanya saja aku benar-benar tak bisa melakukannya kali ini. Kuta adalah tujuan pertama yang terlintas di pikiranku. Aku selalu melarikan diri ke pantai jika dalam kondisi stres dan frustrasi seperti sekarang. Aku bisa saja menetap di Ubud dan mengunjungi objek wisata terasering yang terkenal itu, tapi pilihanku tetap jatuh pada pantai walau harus menempuh perjalanan jauh. Semuanya seolah terbayar dengan apa yang kudapatkan di sana. Jadi, pagi itu ketika aku bangun dengan keadaan yang kacau, aku segera mandi dan membawa semua keperluan yang kuperlukan. Aku berencana menginap untuk satu atau dua malam, beruntung jika aku bisa bertemu bule ataupun pria asing yang mampu menghilangkan beban pikiranku saat ini. Tapi seper
“Apa?! Early checkout?” Aku membulatkan mata terkejut mendengar ucapan Dewa di seberang sana. Ini masih pukul enam, dan masih ada sekitar setengah jam lagi sampai aku berangkat kerja, aku bahkan baru bangun ketika mendengar bunyi telepon dari Dewa. “Ya, dan aku gak pernah di infoin tentang ini juga. Masih ada tiga hari lagi sampai ia checkout. Linda juga gak tahu masalah ini.” Apa ini karena ucapanku kemarin? Harusnya itu bukan masalah, karena semua ucapanku adalah kenyataan. Lagipula aku tak merasa menyakitinya. “Kata Angga dia memang buru-buru tadi malam, katanya ada masalah dan dia harus checkout malam itu juga.” lanjut Dewa di seberang sana. “Kita gak akan di panggil Mister Benjamin karena ini, kan? Aku bener-bener gak sanggup harus ketemu dia lagi,” ucapku memelas. Ini benar-benar kabar buruk untuk memulai hari. Erlangga juga tak menghubungiku sama sekali sejak ucapanku kemarin. Ia juga seharian berada di luar, jadi aku juga tak bertemu dengannya. Ah, aku lupa soal tunanganny
“Tunangan Pak Erlangga marah-marah di lobi karena gak di kasih informasi soal kamar yang di sewa Pak Erlangga.”Itu percakapan yang terus berulang-ulang di gosipkan oleh karyawan Kayon. Aku bahkan sudah sangat muak mendengarnya. Aku bahkan sudah di tanyai beberapa orang tentang keberadaan tunangannya itu, dan aku memang bertemu dengan wanita itu.Aku sebenarnya merasa aneh, pertama kali aku bertemu Erlangga ia mengatakan bahwa tunangannya memutuskan dirinya ketika Erlangga sudah menyiapkan makan siang romantis. Ia bahkan terlihat putus asa saat itu. Lalu sekarang, ada seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya.Hal yang pertama terlintas di pikiranku ketika melihat wanita itu, dia adalah wanita yang angkuh dan sangat sosialita. Dia bahkan menatapku dengan sinis ketika aku masuk ke vilanya untuk mengecek ketersediaan mini bar. Erlangga sedang bekerja di luar, dan katanya akan sampai malam.Yang paling mengesalkan adalah selama satu harian ini aku melayaninya, dan ia hanya menunjuk