Share

Hidup Itu Seperti Nada

Keesokan harinya setelah aku pulang bekerja, rumah masih sama panasnya dengan cuaca musim kemarau. Bahkan panasnya bisa mengiris kulit tubuhku namun aku berusaha menebalkan telinga. Memangnya dimana lagi aku akan tinggal selain di ruamh ini?

"Kenapa dia masih tidur di rumah ini?!"

"Paa, Lilyah itu anakmu! Kalau kamu ngusir dia, mau tidur dimana malam-malam begini?"

"Apa kamu lupa? Kalau anakmu itu perempuan nakal?! Harusnya kamu nggak perlu khawatir dia bakal kenapa-napa karena dia udah akrab sama yang namanya dunia malam!"

"Hati-hati kalau berucap, Paa! Lilyah itu anakmu!"

"Kalau dia bukan perempuan nakal, dia nggak bakal tidur sama lelaki lain padahal sebentar lagi mau menikah! Itu namanya perempuan yang nggak bisa menjaga harga dirinya!"

Kedua orang tuaku masih saja berdebat soal terungkapnya foto-foto terlaknatku dengan lelaki misterius itu. Entah siapa pengirimnya, aku dan Mama tidak tahu menahu soal itu.

"Asal kamu tahu ya, Ma. Foto Lilyah ikut tersebar di grup dasawisma perumahan kita!"

"Apa?" tanya Mama begitu terkejut. 

"Menurutmu? Apa yang nggak lebih bikin aku sebagai kepala keluarga nggak tambah murka? Sudah dihina para tetangga karena punya anak nggak beretika kayak dia, fotonya kesebar pula. Ini wajahku kerasanya kayak dilempari kotoran sapi, Ma!"

"Papa kata siapa kalau foto Lilyah ada di grup dasawisma perumahan kita?"

"Sepulang kerja tadi Papa dihadang Pak RT di depan rumahnya. Lalu dilihatkan foto menjijikkan anakmu yang nggak tahu malu itu!"

Mama nampak menunduk sedih sambil mengusap dadanya. 

"Lalu Pak RT bilang kalau keluarga kita lebih baik pergi dari perumahan ini biar nggak ngasih pengaruh jelek! Tapi Papa nggak mau pindah karena yang bikin malu itu Lilyah, jadi dia yang harus pergi dari rumah ini!"

***

Tiga hari berlalu.

Suasana rumah tidak pernah syahdu. Hanya terdengar kata-kata pilu menyayat kalbu. Ditambah desakan dari ibu mertua agar aku segera melepaskan Ishak atau aku justru terlihat seperti perempuan tidak tahu malu.

Meminta tetap dinikahi padahal sudah tak suci lagi.

"Ly, lo kenapa sih tiga hari ini nggak semangat banget? Mana mata selalu bengkak tiap pagi," tanya Shala, rekan kerja sekaligus teman baikku.

"Nggak apa-apa, La."

"Masak bulan depan mau nikah, malah berantem mulu?"

Andai Shala tahu apa yang terjadi padaku, mungkin dia lebih baik bunuh diri. Karena sejujurnya, aku sendiri tidak sanggup mengakhiri kisah cinta yang sudah sangat nyaman ini.

Calon Ibu Mertua : Hari ini batas waktu kamu ngomong ke Ishak kalau pernikahan kalian harus batal! Awas kalau kamu ngomong yang nggak-nggak tentang Tante sama Om!

Jatuh tempo pesan singkat dari beliau membuat hatiku kembali disambangi gerimis dan mendung yang menggelegar. Akhirnya, tanpa pamit, aku meninggalkan Shala begitu saja ketika jam pulang kantor berdenting.

75 panggilan tak terjawab dari My Beloved Ishak.

Tiga hari ini, aku mengabaikan semua panggilan dari Ishak. Alasannya sederhana, aku pasti hancur bila mendengar suaranya saja.

Kalau begitu bagaimana dengan hari ini? Hari dimana aku dan Ishak harus bertemu lalu berbicara tentang hubungan kami yang tidak bisa diteruskan?

Lilyah : Ishak, maaf baru hubungi kamu. Aku pengen kita ketemu. Ada satu hal yang mau aku omongin.

Tidak lupa aku menyematkan lokasi dimana aku sedang menunggunya. Di sebuah bar and restaurant tempat dimana aku dan dia bertemu untuk pertama kali. Kala itu musisi recehan yang direkrut bar and restaurant ini, mengalunkan lagu yang berjudul To Love Somebody dari Bee Gees, ikut menambah keyakinanku jika Ishak adalah pelabuhan terakhirku. 

Namun sekarang, para musisi recehan itu justru mengalunkan lagu For The Lover That I Lost dari Sam Smith. Aku tidak merequest lagu itu tetapi takdir seakan menggiring para musisi recehan itu memainkannya untukku. 

Air mataku berlinang mendengar bait demi bait lagu yang kini mengiringi kedatangan Ishak di meja yang sudah kupesan.

"Ly? Kamu kemana aja? Kenapa baru menghubungi aku?" Ishak memberondongku dengan pertanyaannya begitu baru tiba.

Mataku yang sudah basah akan air mata kesedihan, menatap wajah dewasanya untuk pertama kali setelah tiga hari aku menghindarinya. Andai Tuhan mengizinkan aku berteriak sekeras mungkin, aku ingin melakukannya sekarang. 

"Ly, ada apa? Kenapa kamu nangis, sayang?" tanyanya kemudian tangannya terulur mengusap air mataku.

Ishak dan segala kelembutannya ketika memperlakukan aku membuat gerimis hatiku makin menjadi. Aku sangsi tidak akan bisa menemukan lelaki sebaik dirinya ini. 

"Shak ..." hanya namanya yang sanggup aku ucapkan dengan nada bergetar.

"Nggak apa-apa. Udah, kamu tenang dulu. Aku disini. Oke?" Ishak mencoba menenangkanku yang masih diliputi kesedihan. 

Ini seperti detik-detik dimana aku akan mencabut nyawa dari hubungan kami yang teramat kusayangi. Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku?

Lalu ekor mataku melirik ke salah satu musisi recehan yang disewa bar ini untuk menghibur para pelanggannya. Pandanganku tertuju pada lelaki yang tengah memetik senar dengan rambut sedikit gondrong dihiasi kemeja flanel lusuh, celana jeans sobek-sobek, dan sepatu converse usang.

Melihat caranya memetik senar penuh penghayatan seolah-olah hidup ini bagai melodi yang tidak selalu berada di nada rendah. Melainkan ada kalanya berada di nada tinggi kemudian kembali rendah. Inilah hidup, penuh dinamika dan misteri dari Sang Pencipta. 

"Ly? Ada apa?" pertanyaan Ishak seolah menjadi penanda bahwa inilah saatnya. 

Bukankah Tuhan pernah berkata, sekuat apapun manusia mempertahankan, jika Tuhan menghendaki perpisahan, maka perpisahan itu akan terjadi juga. 

Dengan menguatkan hati yang sebenarnya sudah hancur berkeping, aku memegang kedua tangan Ishak erat-erat.

"Shak, aku minta maaf untuk semua kesalahanku. Entah itu sengaja atau nggak. Tapi demi apapun, cintaku padamu itu tulus, besar, dan bermakna. Bahkan hingga detik ini, kamulah satu dihatiku."

"Lalu?"

"Tapi, masih pantaskah perempuan murahan sepertiku ini menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status