Share

Hidup Itu Seperti Nada

Author: Juniarth
last update Last Updated: 2023-03-09 22:30:30

Keesokan harinya setelah aku pulang bekerja, rumah masih sama panasnya dengan cuaca musim kemarau. Bahkan panasnya bisa mengiris kulit tubuhku namun aku berusaha menebalkan telinga. Memangnya dimana lagi aku akan tinggal selain di ruamh ini?

"Kenapa dia masih tidur di rumah ini?!"

"Paa, Lilyah itu anakmu! Kalau kamu ngusir dia, mau tidur dimana malam-malam begini?"

"Apa kamu lupa? Kalau anakmu itu perempuan nakal?! Harusnya kamu nggak perlu khawatir dia bakal kenapa-napa karena dia udah akrab sama yang namanya dunia malam!"

"Hati-hati kalau berucap, Paa! Lilyah itu anakmu!"

"Kalau dia bukan perempuan nakal, dia nggak bakal tidur sama lelaki lain padahal sebentar lagi mau menikah! Itu namanya perempuan yang nggak bisa menjaga harga dirinya!"

Kedua orang tuaku masih saja berdebat soal terungkapnya foto-foto terlaknatku dengan lelaki misterius itu. Entah siapa pengirimnya, aku dan Mama tidak tahu menahu soal itu.

"Asal kamu tahu ya, Ma. Foto Lilyah ikut tersebar di grup dasawisma perumahan kita!"

"Apa?" tanya Mama begitu terkejut. 

"Menurutmu? Apa yang nggak lebih bikin aku sebagai kepala keluarga nggak tambah murka? Sudah dihina para tetangga karena punya anak nggak beretika kayak dia, fotonya kesebar pula. Ini wajahku kerasanya kayak dilempari kotoran sapi, Ma!"

"Papa kata siapa kalau foto Lilyah ada di grup dasawisma perumahan kita?"

"Sepulang kerja tadi Papa dihadang Pak RT di depan rumahnya. Lalu dilihatkan foto menjijikkan anakmu yang nggak tahu malu itu!"

Mama nampak menunduk sedih sambil mengusap dadanya. 

"Lalu Pak RT bilang kalau keluarga kita lebih baik pergi dari perumahan ini biar nggak ngasih pengaruh jelek! Tapi Papa nggak mau pindah karena yang bikin malu itu Lilyah, jadi dia yang harus pergi dari rumah ini!"

***

Tiga hari berlalu.

Suasana rumah tidak pernah syahdu. Hanya terdengar kata-kata pilu menyayat kalbu. Ditambah desakan dari ibu mertua agar aku segera melepaskan Ishak atau aku justru terlihat seperti perempuan tidak tahu malu.

Meminta tetap dinikahi padahal sudah tak suci lagi.

"Ly, lo kenapa sih tiga hari ini nggak semangat banget? Mana mata selalu bengkak tiap pagi," tanya Shala, rekan kerja sekaligus teman baikku.

"Nggak apa-apa, La."

"Masak bulan depan mau nikah, malah berantem mulu?"

Andai Shala tahu apa yang terjadi padaku, mungkin dia lebih baik bunuh diri. Karena sejujurnya, aku sendiri tidak sanggup mengakhiri kisah cinta yang sudah sangat nyaman ini.

Calon Ibu Mertua : Hari ini batas waktu kamu ngomong ke Ishak kalau pernikahan kalian harus batal! Awas kalau kamu ngomong yang nggak-nggak tentang Tante sama Om!

Jatuh tempo pesan singkat dari beliau membuat hatiku kembali disambangi gerimis dan mendung yang menggelegar. Akhirnya, tanpa pamit, aku meninggalkan Shala begitu saja ketika jam pulang kantor berdenting.

75 panggilan tak terjawab dari My Beloved Ishak.

Tiga hari ini, aku mengabaikan semua panggilan dari Ishak. Alasannya sederhana, aku pasti hancur bila mendengar suaranya saja.

Kalau begitu bagaimana dengan hari ini? Hari dimana aku dan Ishak harus bertemu lalu berbicara tentang hubungan kami yang tidak bisa diteruskan?

Lilyah : Ishak, maaf baru hubungi kamu. Aku pengen kita ketemu. Ada satu hal yang mau aku omongin.

Tidak lupa aku menyematkan lokasi dimana aku sedang menunggunya. Di sebuah bar and restaurant tempat dimana aku dan dia bertemu untuk pertama kali. Kala itu musisi recehan yang direkrut bar and restaurant ini, mengalunkan lagu yang berjudul To Love Somebody dari Bee Gees, ikut menambah keyakinanku jika Ishak adalah pelabuhan terakhirku. 

Namun sekarang, para musisi recehan itu justru mengalunkan lagu For The Lover That I Lost dari Sam Smith. Aku tidak merequest lagu itu tetapi takdir seakan menggiring para musisi recehan itu memainkannya untukku. 

Air mataku berlinang mendengar bait demi bait lagu yang kini mengiringi kedatangan Ishak di meja yang sudah kupesan.

"Ly? Kamu kemana aja? Kenapa baru menghubungi aku?" Ishak memberondongku dengan pertanyaannya begitu baru tiba.

Mataku yang sudah basah akan air mata kesedihan, menatap wajah dewasanya untuk pertama kali setelah tiga hari aku menghindarinya. Andai Tuhan mengizinkan aku berteriak sekeras mungkin, aku ingin melakukannya sekarang. 

"Ly, ada apa? Kenapa kamu nangis, sayang?" tanyanya kemudian tangannya terulur mengusap air mataku.

Ishak dan segala kelembutannya ketika memperlakukan aku membuat gerimis hatiku makin menjadi. Aku sangsi tidak akan bisa menemukan lelaki sebaik dirinya ini. 

"Shak ..." hanya namanya yang sanggup aku ucapkan dengan nada bergetar.

"Nggak apa-apa. Udah, kamu tenang dulu. Aku disini. Oke?" Ishak mencoba menenangkanku yang masih diliputi kesedihan. 

Ini seperti detik-detik dimana aku akan mencabut nyawa dari hubungan kami yang teramat kusayangi. Ya Tuhan, kenapa ini harus terjadi padaku?

Lalu ekor mataku melirik ke salah satu musisi recehan yang disewa bar ini untuk menghibur para pelanggannya. Pandanganku tertuju pada lelaki yang tengah memetik senar dengan rambut sedikit gondrong dihiasi kemeja flanel lusuh, celana jeans sobek-sobek, dan sepatu converse usang.

Melihat caranya memetik senar penuh penghayatan seolah-olah hidup ini bagai melodi yang tidak selalu berada di nada rendah. Melainkan ada kalanya berada di nada tinggi kemudian kembali rendah. Inilah hidup, penuh dinamika dan misteri dari Sang Pencipta. 

"Ly? Ada apa?" pertanyaan Ishak seolah menjadi penanda bahwa inilah saatnya. 

Bukankah Tuhan pernah berkata, sekuat apapun manusia mempertahankan, jika Tuhan menghendaki perpisahan, maka perpisahan itu akan terjadi juga. 

Dengan menguatkan hati yang sebenarnya sudah hancur berkeping, aku memegang kedua tangan Ishak erat-erat.

"Shak, aku minta maaf untuk semua kesalahanku. Entah itu sengaja atau nggak. Tapi demi apapun, cintaku padamu itu tulus, besar, dan bermakna. Bahkan hingga detik ini, kamulah satu dihatiku."

"Lalu?"

"Tapi, masih pantaskah perempuan murahan sepertiku ini menjadi pendamping hidupmu untuk selamanya?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Bikin Anak Lagi Yuk?

    POV RADEN MAS / LOIS Luis dan Lewis sudah sering bertandang ke rumah Romo dan Ibu sejak aku dan Lilyah pindah ke Jakarta. Entah sudah berapa bulan kami di Jakarta. Bahkan Romo dan Ibu khusus membuat acara welcome party untuk keduanya dengan mengundang keluarga Hartadi saja. Acara itu lumayan meriah tapi tidak ada Lilyah. Dia tidak mau datang karena takut pada Romo dan Ibu, ditambah keduanya juga tidak mengundang Lilyah. Meski aku memaksanya untuk datang namun tetap saja Lilyah tidak mau. Saudara-saudara begitu gemas melihat Luis dan Lewis saat bermain dengan keponakan yang lain. Pasalnya kedua anak kembarku itu benar-benar menggemaskan dan rupawan. “Yang, ayo ke rumah Romo dan Ibu. Ini akhir pekan lho.” Ajakku. Lilyah baru saja memasukkan bekal Luis dan Lewis ke dalam tas. “Kapan-kapan aja, Mas. Kalau aku udah diundang Romo dan Ibumu. Untuk saat ini biar kayak gini dulu. Aku cuma nggak mau mereka ilfil sama aku.” “Lagian, aku sama si kembar udah biasa sembunyi dari media tenta

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Senyum Bahagia Palsu Istriku

    POV RADEN MAS / LOIS "Den Mas, akta kelahiran Mas Luis dan Mas Lewis sudah jadi," ucap Pak Wawan, asisten pribadiku. Aku yang sedang duduk di kursi kebesaran CEO Hartadi Group lantas menerima map hijau berisi akta kelahiran baru kedua jagoanku. Gegas aku membuka map itu dan membaca kata demi kata yang tertulis di sana dengan seksama. Tidak ada yang berubah selain nama kedua putraku itu. Raden Mas Satria Luis Hartadi. Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Dan nama Lilyah masih tertulis jelas sebagai ibu kandung keduanya. "Makasih, Pak Wawan. Nanti akan aku tunjukin ke Lilyah." Sudah satu minggu ini kami menempati rumah baru yang berada tidak jauh dari rumah Romo dan Ibu. Tentu saja Lilyah berusaha beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Begitu juga dengan Luis dan Lewis. Biasanya kami tinggal di tempat yang minim polusi dan masih bisa menikmati pepohon tinggi di Bandung, kini justru disuguhi dengan pemandangan gedung bertingkat dan hawa yang panas. Sejak kami pindah ke Jakarta,

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Raden Mas Satria Luis dan Lewis Hartadi

    POV RADEN MAS / LOIS "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari rumah yang sesuai seleramu aja, Yang. Nggak masalah kok meski nggak dekat sama rumah Romo dan Ibu."Aku tidak tega melihat Lilyah kembali hancur ketika terus-terusan ditolak keluarga Hartadi untuk sesuatu hal yang tidak ia lakukan. Ekspresinya kini terlihat meragu dan tidak nyaman sama sekali dengan tangan menepuk pantat Luis yang mulai terlelap. "Aku akan bilang Romo dan Ibu kalau kamu nggak suka tinggal di Jakarta. Alasannya logis kan?!"Lalu Lilyah melepas ASI dari mulut Luis perlahan sekali kemudian mengancingkan pengait baju di bagian dada sambil duduk. Aku pun sama, memberi guling kecil untuk dirangkul Lewis agar tidak merasa aku meninggalkannya lalu duduk menghadap Lilyah."Kita ngobrol di ruang tengah aja yuk, Mas?" Pintanya dan aku menuruti.Kututup pintu kamar perlahan sekali lalu menuju ruang tengah dengan merangkul pundak Lilyah. Rumah sudah sepi karena semua pelayan, bodyguard, dan asistenku sudah masuk ke da

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   CEO Baru

    POV RADEN MAS / LOIS Dengan jas hitam yang terasa pas melekat di tubuh, aku turun dari mobil MPV Premiun usai pintunya dibuka oleh asistenku, Pak Wawan. Di depan loby pabrik sigaret yang dulu kupimpin, pengawal yang biasa bersama Romo langsung mengamankan jalanku menuju aula. Tidak ada media satupun yang kuizinkan untuk meliput pengangkatanku sebagai CEO Hartadi Group yang baru. Aku tidak mau wajahku malang melintang di media manapun lalu dikaitkan dengan kerajaan bisnis keluarga Hartadi yang turun temurun ini. Nanti efeknya bisa ke keluarga kecilku. Begitu memasuki aula rapat pabrik yang sekarang berubah lebih modern, jajaran direksi sudah menungguku. Lalu seulas senyum kusuguhkan sambil menyalami tangan mereka satu demi satu. "Selamat Mas Lubis." "Semoga sukses." "Semoga Hartadi Group makin berjaya dengan anda sebagai pemimpinnya." Rasanya aku terlalu muda duduk di kursi ini mengingat kolega bisnis Romo sudah berumur semua. Romo saja yang terlalu cepat ingin mengundurkan d

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Serah Terima Jabatan

    POV RADEN MAS / LOIS "Nggak bisa apa, Romo?" tanyaku dengan menatap beliau lekat. "Lubis, Romo dan Ibumu terlahir dari keluarga yang menjaga etika, harga diri, sopan santun, juga tata krama yang tinggi. Coba kamu lihat orang-orang yang bermartabat tinggi di luar sana, sudikah mengangkat menantu yang pernah digauli lelaki lain lalu sempat menjadi perbincangan orang lain meski videonya udah nggak ada di dunia maya?" Aku hanya menatap Romo tanpa mengangguk atau menggeleng. "Lebih baik mereka menikahkan putranya sama yatim piatu yang benar-benar terjaga kehormatannya, Lubis. Karena kehormatan itu ... adalah harga tertinggi seorang perempuan yang nggak bisa dibeli dengan apapun kalau udah terlanjur dihancurkan laki-laki lain." "Tapi aku mencintai Lilyah dan mau menerima kekurangannya di masa lalu, Romo. Dia itu dijebak. Bukan seenak hati nyodorin kehormatannya demi lelaki lain," ucapku pelan namun tegas. Kepala Romo menggeleng, "Maaf, Romo dan Ibumu nggak bisa, Lubis. Maaf." Lalu aku

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Lewis Dan Luis Mulai Ada Di Hati

    POV RADEN MAS / LOIS "Selamanya! Katakan sama Romo dan Ibumu, orang tua mana yang bisa menerima perempuan bekas lelaki lain?! Hati orang tua mana yang bisa merelakan putra kesayangannya menikah sama perempuan yang pernah digilir sama bajingan-bajingan?!" "Nggak ada, Lubis! Nggak ada orang tua yang bisa terima itu!" Romo berucap tegas meski tidak keras karena ada Luis dan Lewis. Jangan sampai mereka mendengar perdebatan yang menyangkutpautkan tentang Ibu mereka. Walau mereka belum memahaminya. "Tapi aku udah bersihin semua video Lilyah yang udah diunggah di dunia maya, Romo." "Tetap aja, Lubis! Tetap aja jatuhnya dia itu perempuan yang pernah ditiduri lelaki lain! Asal kamu tahu, Romo nggak masalah kamu nikah sama dia asal nggak ada masa lalu kelamnya yang kayak gitu! Tapi, takdir berkata lain. Dia tetap perempuan kotor!" "Meski Lilyah dijebak saudaranya sendiri?" tanyaku dengan tatapan mengiba. *** Pukul delapan malam, aku baru tiba di Bandung. Helikopter perusahaan turun di

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Tidak Akan Pernah Ada Restu

    POV RADEN MAS / LOIS "Kita harus bicara, Lubis!" Hanya itu yang Romo katakan lalu beliau berlalu bersama Ibu. Kemudian aku dan Mbak Syaila mengikuti keduanya dengan menggendong si kembar menuju ke dalam rumah megah kedua orang tuaku ini. Rumah yang bisa membuat siapapun tersesat jika tidak terbiasa berada di dalamnya. Lirikan sinis dari kakak pertamaku yang haus harta, Mbak Ayu, tidak kuhiraukan sama sekali ketika melihat kedatanganku. Dia pernah hampir mencelakai si kembar ketika masih berada di kandungan Lilyah. Dan tidak akan kubiarkan kedua kalinya dia menyentuh Luis dan Lewis walau hanya sekedar mengusap pipinya. Jujur, aku gugup dan merasa sangat bersalah pada Romo dan Ibu karena hubungan kami tidak kunjung membaik pasca aku lebih memilih Lilyah dan kehamilannya kala itu. "Mbak, kira-kira Romo sama Ibu mau ngomong apa?" Bisikku dengan menyamakan langkah dengannya. "Kalau aku tahu duluan itu namanya aku mau jadi dukun, Lubis." Sungguh candaan Mbak Syaila tidak membuat

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Kedatanganku Dengan Si Kembar

    POV RADEN MAS / LOIS Hari ini akan menjadi pertama kalinya aku kembali ke pabrik sigaret di Bandung yang setahun lalu kutinggalkan demi melindungi Lilyah dan kedua putra kembarku dari intervensi keluarga besarku. Dulu aku membangun pabrik ini dengan susah payah bahkan jatuh bangun untuk menunjukkan pada Romo, Ibu, dan keluarga besar Hartadi jika aku bisa sehebat Romo membawahi bisnis sigaret turun temurun keluargaku. Namun, demi kebahagiaan Lilyah dan ketenangannya merawat si kembar, aku memutuskan untuk meninggalkan semua fasilitas eksklusif premium yang keluargaku berikan. Pikirku, harta bisa kucari dari bisnis pribadiku, tanpa harus mengorbankan perasaan istri dan kedua buah hatiku yang tidak berdosa. "Kamu yakin nggak mau ikut?" tanyaku sambil menatap Lilyah lekat-lekat. Dia tengah mencukur jambang di rahangku dengan begitu telaten. Kepalanya kemudian menggeleng pelan dengan tetap mencukur rambut halus itu agar penampilanku tetap menarik. "Masih ada waktu lima belas meni

  • Pinangan Jutawan Berkedok Seniman   Dihibur Harapan Yang Tak Pasti

    POV RADEN MAS / LOIS “Saya tinggal dulu, Pak Daniel.” Aku tidak menjawab pertanyaan Pak Daniel tentang si kembar dan memilih berlau dari taman bermain itu. Aku belum bisa mengakui si kembar dan Lilyah pada dunia secepat ini. Khawatir nanti akan menimbulkan perselisihan lagi antara aku dan keluarga Hartadi. Aku tidak tega melihat Lilyah dan kedua putra kembarku terluka karena penolakan dari keluarga besar Hartadi. Setelah berada di salah satu toilet khusus pria, aku mengirimkan sebuah pesan pada Lilyah. [Pesan dariku : Aku ke toilet dulu. Mendadak mulas banget, Yang.] Padahal pesan itu mengandung kebohongan seratus persen hanya untuk menghindari persepsi Daniel tentang keberadaan si kembar dan juga Lilyah. Biarlah seperti ini dulu entah sampai kapan. Yang penting kami bahagia dan tidak membuat hati siapapun terluka. *** “Mas, kamu kok belum balik dari toilet?” Itu suara Lilyah dari sambungan telfon. “Apa perutmu masih mulas?” Bukan mulas, juga bukan masih di toilet.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status