Pagi itu matahari mulai muncul dari balik gunung Bromo. Semburatnya membuyarkan embun-embun pagi yang menelimuti daerah sekitarnya. Di atas rerumputan yang ada di depan rumah tempat rombongan mahasiswa itu menginap masih terlihat kristal-kristal embun bak mutiara yang indah. Beberapa mahasiswa telah meninggalkan kamarnya untuk menikmati sejuknya udara pagi di pegunungan. Mereka terlihat lucu, di antaranya ada yang berkerudung sarung layaknya penduduk desa itu. Yang lebih gila lagi, di antara mereka pun ada yang meniru kebiasaan warga desa setempat yang sambil duduk-duduk dengan menghisap rokok lintingan sendiri. Warga desa biasa menyebutnya rokok “tingwe” (Nglinting dewe). Udara yang cukup dingin di desa itu membuat mereka bermalas-malasan untuk segera memulai aktivitas.Namun, di antara mereka semua sangat berbeda dengan yang baru saja dilakukan oleh Beryl. Beryl telah pulang dari pancuran untuk mandi. Dan kali ini dia mengendap-endap kamar Joni. Ternyata J
Matahari semakin melangkah melewati pucuk-pucuk pinus dan cemara. Pandangan mata mereka berdua sering bertabrakan. Bu Liana terlihat bahagia dengan senyumnya yang mengembang. Mereka tengah asyik melanjutkan makan coklat.“Andai saja dari dulu saya tahu ternyata Bu Liana sebaik ini,” kata Beryl yang diiringi dengan tawa.“Andai saja juga dari dulu aku tahu kamu tidak sebrengsek yang aku duga,” jawab Bu Liana sambil mencubit lengan Beryl.“Lalu, sekarang?” Tanya Beryl sambil memberikan remasan di jari tangan perempuan yang menjadi dosennya.Bu Liana membalas remasan Beryl. Kemudian mereka berdua saling memberikan remas
Di kamar penginapan itu, Beryl berbaring. Pikirannya menerawang menatap langit-langit kamar. Dia sedang memikirkan Ririn. Cewe terkutuk! Hina sekali perbuatannya. Begitu beraninya dia bercinta dengan sahabatku sendiri.“Tapi, sebentar. Kenapa juga aku harus marah? Bukankah aku sendiri tidak lebih baik dari Ririn. Sudah berapa kali juga aku maninggalkannya untuk perempuan lain? Lalu, apa hubungannya jika sekarang Ririn harus bercinta dengan cowo lain?”Di tengah Beryl masih sibuk melamun, suara langkah kaki mendekat masuk mendekatinya berbaring. Dia merasakan juga tengah ada seseorang yang berbaring di sampingnya. Beryl diam saja, tak menyapa orang. Dia tahu siapa yang berba
Pulang kembali ke kota Surabaya yang gersang dan panas. Masih dengan hawa kemarau yang mulai mencekik. Tapi semua kegersangan itu, sangat tidak berarti bagi Beryl di sore yang cerah itu. Sudah tiga kali dia menekan bel ruang tamu di tempat kost Lidya. Beryl telah menunggu beberapa saat. Pintu terbuka. Perempuan setengah baya pemilik tempat kost itu telah menyambut Beryl di ambang pintu. Mata perempuan itu tampak dingin. Bahkan ucapan, “Selamat sore” dari Beryl juga tidak dijawabnya.“Lidya sedang tidak ada.” Kalimat yang diucapkan oleh perempuan setengah baya itu.Beryl masih berdiri dengan canggung.“Silakan duduk dulu,” kata perempuan it
Beryl hanya mengiyakan ketika temannya nerocos berucap sesuatu. Pikiran Beryl masih melayang pada kepolosan Lidya.“Ah, cewe Jawa. Begitu sopan, sangat ramah, dan menjunjung tinggi tata krama. Tapi, tak ada yang tahu juga apa yang ada di hatinya. Mas Beryl begitu sombong sekarang. Kenapa tak mau lagi datang ke tempat kost? Kenapa, sih Mas? Ah, kepolosan yang begitu sempurna, begitu apa adanya,” pikir Beryl.Beryl melangkah hanya dengan separo hati. Yang separo masih tetap tertinggal bersama Lidya.“Lidya memintaku datang. Tapi hanya untuk mendengarkan hinaan dan ceramah dari ibu kostnya?” kata Beryl tanpa bersuara.“Kedatanganku hanya untuk mendengarkan cerita tentang kesuksesan calon suaminya?” gerutu Beryl yang sambil membu
Seperti biasa, Beryl setengah berlari menaiki tangga fakultasnya. Dia su kenal dan begitu hafal dengan arah tangga fakultasnya. Baru beberapa langkah sami di ak tangga, langkahnya dihadang oleh Ririn.“Hai?” Ririn membalas dengan seunyum.“ta kamu tambah cantik saja,” kata Beryl. Wajah Ririn terlihat sangat berseri.“ gak ketemu, piye kabarmu, Uin?” lanjut Beryl.“Seperti yang kamu lihat.” Jawab Ririn singkat.“Iya kamu benar. Seperti yang aku lihat. Cantik dan tak ada yang berubah.” Belum sempat Beryl melanjutkanngkahnya, Ririn telah menarik tangannya.“Aku baru terima surat dari Sumatera.” Kata Ririn.“Aang tuamu?”“Tak ada masalah.”“Okelah.”“Terima kasih juga untuk bantuan yang telah kamu berikan.”“T
Seperti biasa, Beryl setengah berlari menaiki tangga fakultasnya. Dia su kenal dan begitu hafal dengan arah tangga fakultasnya. Baru beberapa langkah sami di ak tangga, langkahnya dihadang oleh Ririn.“Hai?” Ririn membalas dengan seunyum.“ta kamu tambah cantik saja,” kata Beryl. Wajah Ririn terlihat sangat berseri.“ gak ketemu, piye kabarmu, Uin?” lanjut Beryl.“Seperti yang kamu lihat.” Jawab Ririn singkat.“Iya kamu benar. Seperti yang aku lihat. Cantik dan tak ada yang berubah.” Belum sempat Beryl melanjutkanngkahnya, Ririn telah menarik tangannya.“Aku baru terima surat dari Sumatera.” Kata Ririn.“Aang tuamu?”“Tak ada masalah.”“Okelah.”“Terima kasih juga untuk bantuan yang telah kamu berikan.”“T
Beryl masih berjalan mondar-mandir. Dia hanya mampu merenungi rerumputan yang selalu dilewatinya di halaman kampus yang begitu luas itu. Di sekitarnya juga banyak mahasiswi yang lalu lalang untuk lewat. Bau parfumnya begitu eksotis. Namun, Beryl merasa muak dengan semua bau parfum itu. Dia tak ingin memperhatikan satu mahasiswi pun yang tengah lewat. Dia masih melangkah tak punya tujuan.Hatinya begitu hampa, kosong, dan hambar. Banyak hal yang harus dia renungi untuk masa sekarang. Semua hal yang berasal dari masa lalunya. Masih adakah kenangan indah yang tersisa dari masa lalunya itu? Kenangan, hanya kenangan. Apa pun bentuk dan rasanya tetap indah untuk dinikmati kala sendiri.