Erick menunggu dengan tak sabar. Beberapa kali ia memeloti ponselnya yang tak bersalah, tapi masih belum ada balasan dari Lani. Pria itu menggeram, dicengkeramnya ponsel hanya untuk memastikan apakah centang dua di pesannya sudah berubah biru apa belum."Kampret! Ke mana lagi si Lani?" gumamnya kesal."Ada apa, Mas?" tanya Pak Agus pada Erick yang tampak sibuk sendiri. Sementara pesanan mereka sudah datang beberapa menit yang lalu, "Nanti Mie kocoknya keburu dingin nggak enak loh Mas!"Erick mengalihkan pandangan dari layar ponsel, ia menatap pria paruh baya itu kemudian tersenyum kecil."Duluan aja Pak, saya nunggu agak dingin sedikit. Nggak bisa makan yang panas-panas, soalnya sering panas dalem," ucap Erick kembali sibuk dengan ponselnya.To : Bini Voloz 😺Lan!Send.Lani!Send.Alani ... woy!Send.Alani Rhamadanti, lo masih hidup?!Send."Ah, kesel gue." Erick melempar ponselnya ke meja. Kemudian menyantap Mie kocok yang masih panas itu dengan lahap.Kekesalan menguasainya hingg
Sesampainya di hotel, Erick duduk di tepi ranjang. Pria itu meraih sebungkus rokok di kantong celana lalu menyalakannya dengan pematik. Asap rokok terlihat mengepul pekat mengisi ruangan. Sesekali ia melirik ponsel yang tergeletak di sampingnya. Benda itu bergetar beberapa kali. Awalnya ia abaikan karena itu mungkin saja panggilan dari perempuan-perempuan yang pernah menjadi korbannya dulu.Namun, saat melihat nama Lani tertera di sana, ia segera meraih benda persegi tersebut tanpa berpikir panjang."Jangan, Rick, jangan diangkat!" Erick menatap ponsel itu kemudian menggeleng keras, logika dan hatinya berjalan bertentangan. Sekali lagi ia tak bisa menurunkan ego yang selalu ia bumbung tinggi, hingga yang terjadi panggilan itu hanya ia biarkan begitu saja.Erick kembali menghisap rokoknya kuat-kuat, pikirannya berkelana entah kemana. Pernikahannya dan Lani baru berjalan seminggu. Namun, perempuan itu telah berhasil mengambil kendali dalam dirinya. Sepanjang hidup ia belum pernah merasa
Seketika raut wajah Erick berubah masam, ketika melihat ekspresi Lani akan kedatangannya bukan seperti yang pria itu harapkan."Ck, nggak asik lo, Lan!" Dia berjalan melewati Lani kemudian menghempaskan diri ke sofa."Mang Wawan, woy ... ambil barang di mobil!" teriaknya, tak lama pria parubaya yang kebetulan suami dari bi Ningsih itu berlari tergopoh-gopoh dari belakang."Iya, Pak.""Turunin oleh-oleh di mobil, peuyeumnya masukin kulkas. Kalo roti unyilnya bawa sini. Udah itu cuci sekalian mobilnya. Tadi di jalan hujan," ucap Erick dengan wajah datar dan ditanggapi anggukan oleh mang Wawan.Sepeninggal mang Wawan Lani berjalan ragu menghampiri Erick di sofa. Perempuan itu duduk di samping suaminya kemudian menyentuh lengan Erick yang sibuk dengan ponselnya."Diem Lan, masih sore!" Erick menepis tangan Lani."Mas kenapa sih, dari kemaren di telepon kok aneh banget?"Erick mengalihkan pandangannya dari layar ponsel, ia menatap Lani dengan ekspresi jengah."Harusnya gue yang tanya. Kena
"Mas udah nggak marah lagi, 'kan?" cicit Lani di tengah keheningan pekat yang menyelimuti mereka di taman depan rumah.Erick menoleh, sebelah alisnya tampak terangkat naik. "Menurut lo?" cetusnya datar, namun tak melepas tautan tangan keduanya."Kayaknya masih. Buktinya tangan aku nggak dilepas. Ini udah sejam, loh, Mas," papar Lani dengan sorot mata meredup. Menatap Erick sembari memiringkan kepalanya.Seketika Erick terkesiap. Ia menarik diri, lalu berdehem."Ekhmm ... sorry, kebawa suasana. Lagian lo nggak protes, tuh!" sanggah Erick sembari memalingkan pandangan. Mengusap tengkuk. Salah tingkah."Ya udah, aku masuk dulu. Mau siapin makan sia--""Pan udah ada Bi Ningsih!" potong Erick cepat, seraya menarik pergelangan tangan Lani yang hendak beranjak, "gue udah bilang, jangan terlalu banyak ikut campur urusan dapur. Nanti tangan lo kasar dan kapalan. Kerjaan lo cuma ngurusin gue," sambungnya tegas."Eh." Bibir mungil perempuan itu tampak terbuka setengah. Dia menatap lelaki berumur
Esoknya Erick dan Lani tampak tengah bersiap-siap untuk berkunjung ke kediaman utama keluarga Wardhana, di Jakarta Pusat. Dari kabar yang didengar katanya Opick sudah tiba di tanah air. Segera setelah mendengar kabar itu kemarin mereka tengah bersiap di depan mobil untuk menyambut kepulangan kakak Erick tersebut, setelah beberapa tahun lamanya.Meskipun Erick tampak malas untuk bertemu dengan saudaranya itu. Namun, tetap saja ikatan yang mengikat mereka kuat. Walaupun lelaki itu tak terlalu menyukai Opick terlebih karena sikap keluarga yang selalu membanding-bandingkan keduanya. Namun, tetap saja, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Erick tak bisa memungkiri perasaannya kala akan bertemu sang kakak. "Udah siap, Lan?" tanya Erick saat melihat perempuan itu selesai memakai seatbelt."Udah, Mas. Bismillah ...." Mobil melaju dengan kecepatan sedang membelah kepadatan ibu kota di siang hari ini.Tak ada percakapan yang terjadi di antara keduanya. Mereka sama-sama sibuk bergelut den
Gadis remaja itu menjejakkan kaki keluar dari pekarangan sekolah. Peluh tampak bercucuran dari kening tatkala matanya menyipit menatap matahari yang tampak begitu terik siang hari ini. Jilbab putih yang dikenakan terlihat basah oleh keringat. Pandangan gadis itu menyapu sekitar, memperhatikan teman-temannya yang keluar berhamburan kemudian menyerbu pedagang es yang mangkal di depan sekolah SMP Negeri tersebut. Ia tampak menelan ludah. Kerongkongannya kering, namun, uang bekal di saku hanya tinggal sedikit. Dia tak tega bila besok harus meminta lagi pada ibunya yang hanya seorang asisten rumah tangga. Pada akhirnya gadis itu memutuskan untuk berjalan menuju sebuah masjid yang terletak tak jauh dari sekolah. Membuka sepatu lalu berjalan ke tempat wudu. Air segar cukup mampu membasahi kerongkongannya yang kering. Selepas wudu gadis itu menunaikan salah zuhur lalu bergegas pulang. Dia tak pernah bermain, temannya di sekolah hanya sedikit. Sikapnya yang pendiam dan tak mudah bergaul men
Kediaman Wardhana terlihat ramai hari ini. Ada wajah-wajah baru yang ikut meramaikan. Sultan Wardana tampak tersenyum senang, karena keluarga lengkapnya telah berkumpul. "Jadi begini ... Opick mau minta restu dari kakek, mami, dan papi, untuk mempersunting Mariam. Dia adalah murid Opick di Mesir sana. Sudah empat tahun kita saling mengenal dan menjalani proses ta'aruf. Sebelum pulang ke sini Opick sudah melamarnya secara resmi." Jeda sejenak, Opick tampak menatap gadis bercadar dengan pakaian serba hitam yang duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk. "Opick membawa serta ibunya Halimah dari Magelang dan Ayahnya yang asli orang Mesir. Maaf karena baru membicarakannya sekarang, Opick masih mengumpulkan keberanian sampai akhirnya tak bisa lagi membendung keinginan untuk mempersunting Mariam!" Semua mata tertuju pada gadis bercadar yang duduk di samping seorang perempuan paruh baya yang diyakini ibunya itu. Sultan menepuk pundak Opick yang kebetulan duduk di sampingnya, kemudian ter
Brak! Erick membanting pintu kamar yang baru saja dilewati. Kemudian berjalan menuju balkon. Diraihnya sebungkus rokok yang selalu ada di saku celana, kemudian menyelipkan sebatang disela jari dan menyalakannya. Asap mengepul mencemari udara, saat Erick mengembuskan rokoknya. Hanya benda kecil yang sebagian orang benci itu mampu menemani dan mengerti dirinya di saat seperti ini. Kadang kala ia lebih memilih makan dari pada bercerita pada seseorang tentang perasaan yang sesungguhnya. Karena Erick selalu berpikir. Kalau pun ia bercerita tentang isi hatinya. Tak akan ada yang mampu mengerti dan memahami posisinya. Dirinya yang selalu orang anggap negatif, dirinya yang selalu Sultan sisihkan. Dirinya yang banyak perempuan anggap berengsek. Ya, seperti itulah dirinya. "Mas!" Erick menoleh dan mendapati Lani berdiri di belakangnya. Pria itu menghela napas panjang, kemudian membuang batang rokok yang tersisa setengah. Ia menatap Lani sejenak. Memperhatikan wajah lugu istrinya yang tampa