Emma couldn't say she loved Luxstay in this life. And Luxstay in this life loves Emma with all her life. A marriage took place in name, Cupid's arrow shot accidentally hit two hearts that were beating intensely, creating a memorable emotional scene. It turned out that she was just a tool for him to take revenge from the start, it turned out that he didn't really love her in the first place. When she learned the truth of the past, Luxstay was in despair again. The last time of her life was meant for Luxstay to calm down, but at the last minute she was in danger because she took a bullet for Emma. When the warm rays of early spring landed on earth, Emma's nominal wife of two years left him. Five years after the death of his late wife, Emma lives as if half of her soul has been stripped. At his most desperate moment, when darkness engulfed his mind, he met her - a girl who looked exactly like Luxstay. “Five hundred million, become my secretary.”
view moreKilatan kamera menyambar ke segala arah begitu pintu hitam mobil mewah itu terbuka. Seorang pria tinggi dengan setelan abu-abu gelap turun dengan ekspresi datar. Wajahnya tirus, tegas, dengan sorot mata tajam seperti elang yang terluka. Dialah Lucian Raveheart, pewaris tunggal Raveheart Corporation, perusahaan multinasional yang bergerak di bidang investasi, real estate, dan teknologi canggih.
Sayangnya, hari itu bukan untuk merayakan keberhasilan. “Lucian! Benarkah pertunangan Anda dibatalkan?” “Apakah Selena memutuskan Anda karena skandal internal perusahaan?” "Bagaimana tanggapan Anda soal saham Raveheart Corp yang anjlok pagi ini?” Pertanyaan para wartawan meluncur cepat, penuh desakan dan spekulasi. Lucian berjalan lurus, tak menoleh, hanya dikawal oleh dua bodyguard andalan. Tapi wajahnya menegang, rahangnya mengeras. Bukan karena gosip itu tidak menyakitkan tapi karena ia tidak pernah membiarkan hidupnya diatur oleh siapa pun, termasuk tunangannya sendiri. Selena Vallerine, sang mantan tunangan, pergi dua malam lalu. Tanpa peringatan. Tanpa penjelasan. Yang tertinggal hanyalah gaun pernikahan yang belum sempat dikenakan dan secarik surat yang mengatakan: "Aku mencintaimu, tapi aku tidak ingin hidup dalam bayangan keluargamu." Surat yang terlalu dangkal untuk luka sedalam ini. --- Di ruang rapat utama Raveheart Corp, para dewan direksi duduk dengan wajah gelisah. Sorotan media menjadi ancaman bagi reputasi mereka, dan tak seorang pun berani menatap mata Lucian yang dingin itu. “Nama baik keluarga Raveheart dipertaruhkan,” ucap pria tua berambut perak di ujung meja. Dialah Alaric Raveheart, ayah Lucian sekaligus pendiri perusahaan. “Pertunangan yang dibatalkan hanya membuat kita terlihat rapuh. Pasar tidak peduli alasan personal. Mereka hanya peduli stabilitas.” Lucian menyandarkan punggungnya, tenang, namun aura mengancamnya menekan ruangan seperti kabut tebal. “Jadi kalian ingin solusi instan?” “Pernikahan kontrak,” jawab Alaric tanpa tedeng aling-aling. “Segera. Aku tidak peduli siapa. Yang penting wanita itu layak tampil di media dan mampu menenangkan investor.” Lucian mengerutkan dahi. Wanita kontrak? Cinta yang dibeli? Kedengarannya menjijikkan. Tapi inilah harga yang harus dibayar demi kekuasaan dan kehormatan. Tanpa sadar, pikirannya melayang pada pertemuan singkat dengan seorang perempuan bermata sendu dan bicara lembut di lorong rumah sakit dua malam lalu. Gadis biasa yang berjuang sendiri membayar biaya rumah sakit ibunya. Ia tidak meminta apa-apa darinya. Tapi tatapan penuh harga diri itu—tak bisa dilupakan. Apa dia bersedia menjual dirinya… demi orang yang ia cintai? Lucian tersenyum tipis, seperti serigala yang menemukan celah mangsanya. ............................................. Sore harinya... Sorotan kamera terus memburu Lucian di lobi utama gedung Raveheart Corp. Wartawan melemparkan pertanyaan tajam tanpa jeda. Tentang tunangannya yang kabur. Tentang reputasinya yang kini retak. Tentang dewan direksi yang mulai goyah. “Benarkah Anda dibatalkan sepihak, Tuan Lucian?” “Bagaimana nasib merger dengan Valdevra Group?” “Tuan Lucian, komentar Anda... " Lucian mengatupkan rahang, wajah nya dingin. Matanya tak memancarkan emosi, tapi napasnya mengeras. Ia hanya mengangkat tangan, memberi isyarat cukup. Bodyguard segera menahan kerumunan. Ia melangkah masuk lift kaca, menyisakan bayangannya yang tertangkap lensa ribuan media. Begitu pintu lift tertutup, wajah Lucian menegang. Sekretarisnya, Marvin, berdiri dengan ekspresi canggung. “Pernikahan dengan Selena resmi dibatalkan. Ayahnya menuntut balik kita secara diam-diam. Saham anjlok 7% pagi ini.” Lucian menatap bayangannya sendiri di dinding kaca lift. Lalu, mendadak pikirannya kembali ke waktu itu, dua minggu lalu. --- Hari itu ia sedang menginspeksi proyek perluasan anak usaha Raveheart Corp, menyamar dalam setelan sederhana, menyingkir dari segala hiruk pikuk pusat kota. Ia berjalan melewati lorong rumah sakit umum tempat yayasannya memberikan donasi untuk perawatan pasien-pasien kanker stadium lanjut. Dan di sanalah dia melihatnya. Gadis itu berdiri di depan loket administrasi. Wajahnya pucat, rambutnya dikuncir seadanya, mata bengkak seolah habis menangis, tapi tetap tegak dengan suara gemetar menanyakan keringanan biaya perawatan untuk ibunya. “Saya… saya akan bayar dalam seminggu. Saya akan cari cara,” katanya. “Mohon jangan hentikan pengobatannya.” Lucian berdiri beberapa meter dari belakangnya. Ia tahu betul raut keputusasaan seperti itu. Bukan kepura-puraan. Bukan tangisan manja wanita sosialita. Itu ketulusan yang langka di dunia penuh kepalsuan ini. Ia tidak tahu siapa nama wanita itu waktu itu. Tapi sorot mata pasrah namun kuat itu menyentaknya lebih dari apapun. Saat gadis itu berbalik dan tanpa sengaja menabraknya, ia sempat melihat tatapan terkejut dan bingung. “Maaf…” lirihnya. Lalu gadis itu pergi begitu saja. Tanpa tahu bahwa pria yang berdiri di sana adalah Lucian Raveheart, tuan muda perusahaan teknologi terbesar di negeri ini. --- Pintu lift berbunyi. Kembali ke kenyataan. Lucian melangkah keluar dan berkata tenang, “Siapkan kontrak pernikahan.” Marvin mengangkat kepala, terkejut. “Dengan siapa, Tuan?” Lucian memejamkan mata sejenak, lalu membuka kembali dengan sorot tajam. “Cari gadis itu. Gadis yang kita temui di rumah sakit dua minggu lalu. Aku ingin menikahinya. Kontrak. Selama satu tahun. Setelah itu ia akan bebas.” --- Marvin menelan ludah, mencoba menangkap maksud tersembunyi dari perintah itu. “Gadis itu, Tuan? Tapi... kami bahkan tidak tahu siapa namanya.” Lucian melangkah ke ruang kerjanya di lantai atas, dinding kaca membingkai panorama kota yang memudar di balik hujan. Ia membuka jasnya, menggantung sendiri di belakang kursi kerja, lalu duduk dengan tenang, menyatukan jari-jarinya di atas meja. “Kau lihat CCTV rumah sakit hari itu, kan?” tanyanya datar. Marvin mengangguk pelan. “Kami hanya menyimpannya sementara untuk laporan dokumentasi. Tapi bisa saya minta kembali.” “Lakukan. Aku ingin identitas lengkapnya. Segera.” Nada suara Lucian tak meninggi, tapi membawa beban tekanan yang membuat siapa pun tak berani membantah. “Baik, Tuan.” Marvin pun segera keluar. Begitu pintu tertutup, Lucian memejamkan mata dan membiarkan pikirannya kembali menelusuri kilasan pertemuan singkat itu. Sorot mata gadis itu yang seolah berbicara tanpa kata. Ia tak tahu mengapa, tapi wajah pucat yang tetap memohon demi ibunya itu terpatri jelas dalam ingatannya. Bukan cinta. Bukan iba. Tapi ketertarikan terhadap sesuatu yang tak bisa dibeli dengan uang atau kekuasaan, sebuah ketulusan. Lucian membuka matanya. Ia sudah kehilangan reputasi, nama baik keluarga dipertaruhkan, merger penting nyaris hancur, dan media haus darah menunggu kejatuhannya. Ia butuh alibi. Stabilitas. Dan seorang istri secepat mungkin. Tapi ia tak mau sembarang wanita. Ia tak ingin seorang sosialita palsu yang menari di depan kamera dan menusuk di belakang. Ia ingin... wanita itu. Wanita yang menangis tanpa suara, tapi berdiri tegak menghadapi dunia. Dan bila harus menikah, maka ia akan memilih sendiri siapa wanita di sisinya. Bukan dari silsilah. Bukan dari daftar pewaris. Ia akan membalik permainan. --- Dua hari kemudian. Marvin menaruh map cokelat di atas meja kerja Lucian. “Kami menemukannya. Namanya Lyanna Elvarisse. 24 tahun. Lulusan D3 Keperawatan, tapi tidak bekerja tetap. Ibunya sedang menjalani pengobatan kanker ovarium stadium 3.” Lucian membuka map itu, menelusuri data dengan pandangan tajam. Ada foto. Dan ya itu dia. Gadis di rumah sakit. Tanpa riasan. Mata bengkak. Wajah lelah. Ia menutup map dan berkata tenang, “Buat dia datang ke sini. Besok.” Marvin tampak ragu. “Apa alasan yang harus saya pakai untuk...” “Bayar utangnya di rumah sakit,” potong Lucian. “Berikan alasan bahwa yayasan kita ingin menawarkan bantuan lanjutan. Pastikan dia datang. Tapi... jangan sebut namaku.” “Baik, Tuan.” Lucian berdiri, memutar tubuh menghadap jendela kaca. Hujan turun semakin deras di luar. Di dunia yang penuh kepalsuan, ia tak pernah tertarik pada pernikahan. Tapi untuk yang satu ini... Ia akan menulis aturannya sendiri. _"Bersambung"_"Luxstay, don't cry, I'm heartbroken, don't cry..."“…”“Sorry, you bastard…” Emma let go of Luxstay, then took his hand, suddenly slapped her face hard, “Yes, you son of a bitch, don't be sad, Luxstay, you hit me… ”Luxstay was taken aback, after reacting, he quickly withdrew his hand. Emma didn't let him struggle, and slapped her face hard a few times before she stopped.“Luxstay, can you not cry?”Her eyes sparkled, Luxstay touched Emma's face with her other hand, "I'm crying too..."Emma froze, then realized she was in tears.Luxstay used his hand to carefully wipe Emma's tears, his nose wrinkled, his voice a bit deranged, "Brother, what are you crying for, I'm not angry, just miserable… But I'll be fine soon, brother beat yourself up."Emma let Luxstay gently wipe her face, her lover was in front of her eyes, he couldn't wait any longer and said in his heart, "Luxstay, that piece of paper, are you serious?"Luxstay stopped moving, pouting, “You see, didn't you throw it away?”Emm
“Nolan, people are not like me, this is a good student who wants to enter a key university. Can't you see people's unhappy faces?"Emma's voice was filled with disdain, Elmer heard it for a moment, and after reacting, he hurriedly pulled Emma's shirt and whispered, "Hey, what are you talking about?" Turning his head to look at Luxstay, as expected, he pursed his lips, lowered his eyes, and his face was not very good."I'm not going anywhere, I have to go home early, you guys can go hang out."Nolan watched Luxstay's back run further and further away, turned his head to glare angrily at Emma, teaching him, "You're so weird, how do people in Luxstay end up making you angry, you're a stingy big man... ”Emma still had no expression, until Luxstay's back was no longer visible, he lowered his eyes and lowered his head, showing a bitter smile that no one could see.Nolan was so angry that he couldn't speak, only half a day later scolded, "Fuck."Luxstay came home, took off his schoolbag,
Luxstay used the gesture of drinking wine to finish a glass of beer, while learning to shake the cup in front of everyone, the corner of his mouth was still wet, "Shut up."All of them, who just reacted, didn't make an appointment but clapped their hands together.“Luxstay, is this your first time drinking, he's so handsome!”“Really Luxstay!”“Tsk tsk, good bro!”Finally, Elmer summed it up, "That's why he calls him brother, okay, let's stop pouring Emma!"Emma also smirked along with everyone, not talking.However, just because people don't intentionally stew doesn't mean Emma doesn't lose anymore. After she had calmed down, Emma carelessly lost again.Elmer shook his head with a mean smile, "This is called self-destruction and can't live.""Didn't Emma have a stomachache, what should be the punishment?"Luxstay was just about to open her mouth, when Emma suddenly continued, "Today I give up, except for drinking beer, whatever you want to punish is up to you."Having said that…"Kis
Emma had the appearance of an outsider lying on her stomach on the table, her eyes darting through the gap in her clothes, looking up and down the person standing on the other platform, finally, the line of sight stopped on the face of the person.Good, the heart numb from longing seems to have suddenly come back to life.Looks like he's lost weight, he's probably dead tired of competing...Luxstay and Ling Ming stood on the podium receiving the teacher's praise and the adoring gaze of their classmates below. Another class teacher passed by the door, seeing the happy look of the teacher in the class couldn't help but personally add a congratulatory sentence."Oh, it's really good to have such an outstanding student in the class, just look at it, it's like a golden bronze and jade girl!"So, Thai monk grinned, Ling Ming blushed shyly, Luxstay remained expressionless, just standing there calmly, not sad or unhappy. People who don't understand him see that, just afraid that they will say
Emma suddenly burst out laughing, "What am I mad at you for, am I so heartless, I can't even thank you in time."Elmer didn't know what was going on over here, and when he got there just in time to hear the last sentence, he laughed and jumped to join in the fun, "Hah, I see you are a heartless guy, drink water and remember to drink water. source, you eat porridge again. Luxstay ignore it, I sit at the same table with you, you also help me stand in front of five hundred people in the class, ha ha!”Emma, who thought she had made a very funny joke, discovered that no one was laughing. He touched his nose, feeling embarrassed that he quickly shied away.Emma indifferently raised her head, glanced back to see Luxstay still in the same place looking at her, "It's almost time for self-study, hurry back to your seat, class president."Luxstay bit his lip quietly, clenched the box in his hand, and then took two steps forward and placed it on Emma's table, "So, you have to remember to eat b
"Fuck you, how much is it?" Emma was also a little curious."Seventeen! Seventeen! His mother you ranked seventeenth! Up until now, you're only standing in front of the last ten people and yet you're seventeenth in the class, there's no way anyone could punch me to wake me up..."Emma was also dumbfounded.There are sixty-three people in their class.Maybe seventeen isn't too much of a rank to be proud of, but to him...Emma suddenly jumped to her feet and ran out of the classroom, throwing away after Elmer's screams.He wants to find Luxstay, right now, immediately, he has to find you and ask him a question, I have disappointed you, or if, my Luxstay, are you happy...After eating, Luxstay and Ling Ming went back to the teacher's room, the other two friends still hadn't returned. Taking the opportunity to take a short lunch break, Luxstay sat down, resting his chin on the table, fiddling with the red strap on his right wrist.Ling Ming chirped, "Luxstay, your red band is so beautiful
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Mga Comments