Share

Negosiasi

“Jadi kamu orangnya?” responku. “Tak salah suamiku menginginkanmu, kamu memang cantik.”

 

 

Wanita bernama Harum itu melempar senyum serupa seringai. Dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga saat kupuji. 

 

 

“Selera Mas Wira memang tinggi,” katanya. “Tadinya, aku ingin memiliki suamimu sendirian. Tapi sayang sekali kami harus rela bersabar, karena katanya kau tak mau diceraikan.”

 

 

Harum terlihat sangat manis. Tentu saja, karena yang namanya madu di mana-mana memang manis. 

 

 

“Masuklah. Kita bicara di dalam,” ajakku. 

 

 

Mas Wira menggandeng tangan Harum masuk ke dalam rumah. Sementara aku mengekor dari belakang. 

 

 

Tiba di ruang tengah, Mas Wira menuntun Harum duduk di sofa. 

 

 

“Mas, tolong aku juga ingin pindah duduk di sofa. Kursi roda ini membuatku kepanasan,” pintaku. 

 

 

“Kau berusaha sendiri saja, Manis. Biasanya juga begitu. Pindah ke sofa atau ke kasur, kau selalu melakukannya sendiri,” jawab Mas Wira.   

 

 

“Baiklah.” 

 

 

Susah payah aku berpindah ke sofa. Namun rasanya sangat sulit, akhirnya aku hanya bisa duduk di kursi roda. Harum sedikit menertawakanku saat aku memegangi tongkat dan kesusahan mengangkat tubuhku. 

 

 

“Jadi, kapan kalian akan menikah?” tanyaku. 

 

 

“Aku ingin secepatnya,” jawab Harum. Dia sangat semangat menjawab, padahal aku bertanya pada Mas Wira. “Aku sangat kasihan pada Mas Wira. Dia pasti kesepian dan merindukan belaian seorang istri yang normal. Kau mengerti maksudku kan, Kak?”

 

 

Harum. Wanita itu mulai menanam benih kebencian dalam dadaku. Bahkan sejak pertama Mas Wira menyebut namanya. 

 

 

“Ah ya. Kau lihat sendiri, aku bukan lagi wanita normal, aku lumpuh. Itu kan maksudmu, Harum?”

 

 

“Jangan tersinggung, Kak. Aku bicara yang sebenarnya. Memang Kakak lumpuh, kan?”

 

 

Kuberikan senyumku untuk Harum, lalu beralih pada suamiku. “Mas, apa kau sudah beritahu dia siapa aku sebenarnya? Juga tentang persyaratan yang kuberikan?” 

 

 

Mas Wira menggeleng. 

 

 

“Baiklah. Biar aku sendiri yang memberitahunya,” ucapku. Lalu berpindah ke Harum lagi. “Kau akan menjadi maduku, Harum. Jagalah sikapmu. Meski cacat, aku bukanlah orang sembarangan. Kekayaanku tak akan pernah habis. Kau kira rumah megah ini milik Mas Wira? Jangan salah mengira! Rumah ini adalah milikku. Bahkan aku punya yang lebih besar lagi dari ini. Beberapa perkebunan teh dan kelapa sawit kumiliki atas namaku sendiri, beserta pabrik pengolahnya. Dan masih banyak lagi kekayaanku, beberapa masih kurahasiakan.”

 

 

Penjelasanku barusan membuat Harum bungkam. Meski dia sangat cantik dan tubuhnya dibalut pakaian mahal, tetap saja itu tak bisa menutupi sifat udiknya. Begitu pun dengan perkataannya yang terdengar tak sopan dan kasar menghinaku, itu tidak seperti sifat aslinya. Mata batinku menangkap Harum bukanlah wanita jahat. Mas Wira pasti telah mendandani dan mengajari Harum sedemikian rupa agar dia terlihat ‘kuat’ dan berani, agar aku dapat sedikit segan padanya. Tetapi mataku tak bisa dikelabui. Aku telah banyak makan garam kehidupan, bertemu dengan berbagai macam karakter manusia. Aku dapat dengan mudah menilai setiap orang yang kutemui. Dan Harum, adalah wanita istimewa. 

 

 

Harum bertumpang kaki, dia menatap seakan tak tepengaruh dengan cerita tentang kekayaanku. Padahal terlihat sekali dia sedang berakting. 

 

 

“Dan syarat untuk menjadi maduku adalah kau harus mau menuruti semua perintahku, tak boleh menolak. Bagaimana?” lanjutku bertanya. 

 

 

Harum mulai tak nyaman. Tentu saja dia keberatan dengan adanya persyaratan yang kuajukan. “Kurasa, sebagai seorang istri, kita sama-sama berhak hidup bebas di rumah ini tanpa harus terikat syarat tertentu. Yang kunikahi adalah suamimu, aku tak peduli tentang kau. Sebenarnya, Mas Wira pun ingin menceraikanmu!” jawab Harum sinis. 

 

 

“Jadi, kau keberatan jika ada persyaratan di sini?” tanyaku tetap tenang. 

 

 

“Aku hanya merasa muak! Untuk apa aku harus menuruti syarat-syaratmu? Kau pikir karena kau kaya jadi bisa seenaknya mengaturku? Aku tak akan hidup dari hartamu, Kak. Mas Wira berjanji akan menghidupiku dari hasil usahanya sendiri, dia kan juga punya perusahaan!” jawab Harum, lalu dia beralih ke Mas Wira. “Mas, tolong jangan bilang kau setuju dengan adanya syarat itu!” katanya. 

 

 

“Kalau kau tak bersedia. Maka tak akan ada pernikahan,” tegasku. “Jika kau memang mencintai suamiku, kau pasti tidak akan keberatan dengan syarat yang kuberikan, bukan? Sebenarnya, apa tujuanmu menikah dengan suamiku?”

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status