Share

Iming-Iming

"Apa tujuanku, bukanlah urusanmu. Kehidupan pernikahanku dengan Mas Wira nanti adalah privasi kami berdua, kau tak berhak tahu," jawab wanita bernama Harum itu, sambil membuang muka dariku. Belagu sekali dia.

 

 

Bagus sekali. Aku suka orang seperti dirinya. Semakin banyak dia bertingkah dan bersikap sombong, semakin bertambah kasih sayangku untuknya. Kasih sayang yang akan mengantarkannya pada jurang kematian. 

 

 

Kita lihat nanti, Harum. Siapa yang akan bertahan di rumah ini.

 

 

"Harum, jangan lupa bahwa nanti kau akan tinggal di rumahku. Aku adalah tuan rumah, kau harus tunduk padaku!" Kukatakan itu dengan penekanan yang tajam. Namun rupanya, ketegasanku itu tak membuatnya gentar sama sekali.

 

 

"Aku pun sebenarnya tak mau tinggal di sini. Kami bahkan berencana tinggal di rumah baru Mas Wira, karena rencana awalanya kan dia akan menceraikanmu. Tapi karena kau tak mau diceraikan, dan Mas Wira masih membutuhkan hartamu, maka terpaksa aku harus ikut di manapun Mas Wira tinggal. Jadi, sebenarnya aku tak mengikutimu, Kak Manis!" balasnya sinis, tak mau kalah.

 

 

Kelancangan Harum itu memantik emosiku. Seumur hidup, sepertinya hanya dia lah satu-satunya orang yang berani menentangku. Sepertinya, dia memang belum tahu siapa aku sebenarnya. Jika dia tahu, tak mungkin akan bersikap tidak sopan seperti itu.

 

 

Kupandangi wanita yang memakai dress merah maroon dan lipstik warna senada itu. Dia duduk bersilang kaki di hadapanku sambil tangannya dilipat di dada. Kini tatapannya sangat menantang, sesekali dia menggerakkan bola matanya naik-turun menelusuri tubuhku, sangat terlihat jelas delikan yang menyiratkan ejekan dan hinaan atas cacat yang kuderita. Apalagi sudut bibirnya, terlihat menegang akibat sekuat tenaga menahan hasrat ingin menertawakan kelumpuhanku. Gestur calon maduku itu seolah berkata: "Mana mungkin orang cacat punya kekuatan untuk berkuasa di rumah ini!"

 

 

Aku beralih pada Mas Wira—suami sekaligus calon pengantin bagi maduku. Aku berbisik padanya, "kau telah membawa wanita keras kepala ke dalam rumah ini, Mas. Harus dengan cara apa supaya dia mau menurut padaku? Katakan padanya untuk patuh padaku!" 

 

 

"Sudah kubilang, jangan persulit dia," jawab Mas Wira.

 

 

Aku benci dengan penentangan. Andai aku tak sedang bernegosiasi, pasti sudah kuhukum suamiku itu seperti biasanya. Seperti saat dia tak bisa bekerja karena sakit setahun yang lalu, aku menyuruhnya berangkat ke pabrik saat itu juga. Sebenarnya, itu adalah hukuman karena dia berani menolak permintaan tolongku.

 

 

"Badanku meriang, Manis. Aku tak bisa belikan kamu kembang tujuh rupa, apalagi ini sudah malam. Jangankan untuk berangkat, untuk duduk saja badanku ngilu," rengek Mas Wira pada malam harinya—setahun lalu.

 

 

"Tapi malam ini juga aku harus mendapatkannya, Mas. Leluhurku bisa marah jika aku terlambat menyuguhkan sesajen untuknya pada malam ini. Bangunlah, paksa dirimu untuk pergi mencari kembang tujuh rupa! Masih ada waktu tiga jam lagi sebelum waktu persembahan tiba," paksaku.

 

 

Mas Wira bergeming, dia tetap tak mau berangkat dengan alasan sakit. Membuatku muak, karena dia sangat tak tahu diri! Dia lupa siapa yang mengulurkan tangan padanya sepuluh tahun lalu. Aku, Akulah yang telah menariknya dari lembah kemiskinan! Mas Wira dulunya adalah seorang pengemis yang menengadahkan tangannya di pinggir jalan, dan aku memungutnya untuk kujadikan suami! Tapi dia sama sekali tak ingat hal itu, hingga permintaanku untuk mencari kembang tujuh rupa pun ditolaknya mentah-mentah. Akhirnya, malam itu aku terpaksa mencarinya sendiri. 

 

 

Dan hari ini, lelaki yang kujadikan suami itu meminta keringanan dariku. Dia ingin istri barunya tinggal nyaman di rumahku.

 

 

"Kau ingin hartaku, kan, Mas? Kalau kau tak mau, aku tak akan memaksa. Silakan ceraikan aku dan pergi dari rumah ini." Aku menegaskan.

 

 

"Manis, aku tak akan menceraikanmu." Mas Wira mengatakannya dengan lantang, membuat Harum berubah raut mukanya menjadi kesal dan tak terima.

 

 

"Kalau begitu, buatlah wanita itu menurut. Jelaskan padanya siapa diriku ini, dan ingatkan pula siapa dirinya. Derajatnya berbeda denganku," balasku.

 

 

Sudah kuduga, jika kuiming-imingi dengan harta, Mas Wira tidak akan menolak. Dia trauma akan kemiskinan, sehingga menjadikan harta sebagai cinta sejatinya. Namun aku masih belum mengerti, mengapa Mas Wira menambatkan hatinya pada Harum. Suamiku itu tidak akan pernah jatuh hati pada wanita cantik, kecuali jika wanita itu memiliki harta. Apa yang dimiliki Harum sehingga membuat Mas Wira jatuh hati padanya? Aku tak yakin mereka benar-benar saling jatuh cinta.

 

 

Mas Wira kemudian beralih pada Harum, ia tampak membisikkan sesuatu yang membuat wanita itu luluh. 

 

 

"Baiklah, aku akan terima syaratmu," jawab Harum pada akhirnya.

 

 

"Bagus," balasku penuh kemenangan. "Pernikahan kalian akan diadakan lusa. Katakan padaku, apa yang kauinginkan sebagai mahar, Harum? Aku akan membelikannya untukmu."

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status