Share

Bab 4

Pernah, pada suatu Minggu pagi yang cerah, Bapak libur mengangkut sampah. Aku yang masih kelas tiga sekolah dasar diajaknya berjalan-jalan tanpa gerobak besi bercat hijau. Itu hal yang menyenangkan sekali, sebab untuk pertama kalinya aku menggandeng tangan Bapak tanpa bau busuk menyertai.

Kami berjalan sampai jalan raya dan menunggu sampai pukul tujuh tepat di halte bus. Kendaraan lalu-lalang di hadapan, sungguh membuatku takjub. Lucunya, aku sempat berangan-angan akan membelikan mobil untuk Bapak—kelak, saat aku dewasa dan menjadi orang kaya.

Sebuah bus berukuran sedang berhenti, beberapa orang berdesakan turun. Sejurus itu, Bapak meraih tubuh kecilku sehingga aku menapak lebih cepat di dalam bus. Detak di dadaku bertalu cepat tetapi menyenangkan iramanya. Saat Bapak sudah mendapatkan tempat duduk, dia memangkuku. Ah, aku bisa melihat dengan jelas kendaraan dan orang-orang berseliweran di trotoar dari kaca jendela bus. Pohon-pohon di tepi jalan—meski berdiri kukuh—tertinggal olehku, beberapa motor menepi begitu bus mengencangkan kecepatan, dan pengemis yang tertidur di tengah jalan terlihat jauh lebih buruk ketimbang aku.

Bapak mengeluarkan duit, lantas seorang bapak bertubuh gemuk menukarnya dengan selembar karcis. Ada susunan nama-nama halte di kertas itu. Seru rasanya membaca setiap nama-nama itu saat bus berhenti dari satu halte ke halte.

“Kamu tahu ke mana kita akan pergi?” tanya Bapak.

Aku menggeleng. Dalam hati berkata—kalau yang aku tahu—ke mana pun aku pergi, asal ada Bapak bersamaku. Namun, kutahan dalam senyuman.

“Nanti, bapak beri tahu, Fatma. Sebentar lagi kita akan sampai, tapi kamu harus berjalan sedikit jauh lagi untuk tiba di tempat itu.”

Aku mengiakan, tetapi nyatanya Bapak sampai menggendongku di punggungnya. Jaraknya memang terlalu jauh. Dipikir-pikir, kenapa Bapak tidak naik bus saja sampai tempat tujuan? Ternyata, katanya, bus hanya melewati rute yang sudah ditentukan, tidak mungkin berhenti tepat di depan area wisata.

“Tempat wisata apa, Pak?” tanyaku penasaran.

“Lihat saja! Haa, akhirnya kita sampai.”

Bapak menitahkanku turun, dan aku melonjak girang setelahnya. Di hadapanku terbentang sebuah danau yang luas. Pemandangan di sekitarnya sangat indah. Pohon-pohon menjulang tinggi, seakan-akan hendak mencium langit biru. Air danau sedingin angin yang bertiup pagi itu. Ada perahu yang disewakan, tetapi sayang hingga detik ini aku tidak pernah menaikinya. Saat itu, Bapak hanya punya uang untuk membelikanku sebungkus nasi untuk mengganjal perut—pada saat kami tak punya bayang-bayang diri, juga untuk ongkos pulang.

“Fatma, dengarkan bapak. Hidup memang keras, Nak. Tapi ingatlah satu hal, bahwa manusia bisa memilih jalan yang baik untuk mengalahkan kehidupan. Tenang dan bersabarlah. Seperti danau yang kamu itu. Lihat!” Bapak menunjuk air kebiruan yang menenangkan hati itu. “Danau itu tenang walau apa pun terjadi di sekitarnya. Dan ketika orang-orang muak dengan dunia, mereka datang kemari untuk mencari ketenangan. Padahal, selama ini dia tak begitu dibutuhkan.”

“Bapak, apa ibuku wanita yang seperti danau?”

“Ya, ibumu setenang danau. Dia juga tidak pernah mengeluh akan kehidupan, walau beratnya hidup memutar-mutar kehidupannya.”

❤❤❤

“Fatma, kamu suka pemandangannya?”

Aku tergemap, menarik diri dari lamunan. Mbak Ajeng membawakanku secangkir minuman berwarna cokelat pekat yang uapnya masih mengebul. Aromanya wangi dan menenangkan. Tak sadar, hidungku menghidu nikmat aroma minuman itu.

Oh, ya. Sekarang aku ada di rumah Mbak Ajeng. Sebuah rumah besar bertingkat dua yang ada di kawasan elit. Untuk masuk ke perumahan saja harus melewati portal dan menunjukkan wajah serta identitas diri kepada satpam—jika kau bukan penghuni sini. Pagar besi tinggi kukuh hampir menutup bentuk rumah ini kalau dilihat dari jarak tiga meter. Halaman luas masih tak berarti dibandingkan halaman belakang rumah yang melebar ke mana-mana. Taman bunga warna-warni secantik Mbak Ajeng menyapa, setelah melewati dua kolam renang di sudut samping.

Inikah istana? Bahkan, untuk sampai ke rumah Mbak Ajeng aku tidak perlu jauh-jauh berjalan kaki. Mobil Mbak Ajeng tentu akan berhenti sampai depan garasinya.

“Minumlah, Fatma! Ini cokelat panas. Bagus untuk mengembalikan perasaan bahagia.”

Sungkan, kuambil cangkir keramik tebal berwarna putih itu dari tatakannya. Benar saja, tiba-tiba perasaanku mendadak nyaman dengan cepat setelah menyeruput sedikit minuman itu. Meski itu tidak berlangsung lama. Mataku melirik jam dinding besar di dekat meja makan. Entah kenapa, angka dua belas dan empat itu terasa keramat bagiku. Aku membatin, Surya pasti sudah pulang sekarang. Dia akan mengobrak-abrik rumah jika tak menemukan aku di sana.

“Mbak, sepertinya aku harus pulang.” Aku mendadak gelisah. Posisi dudukku jadi tidak nyaman walaupun alasnya adalah sofa empuk di ruang tamu.

“Tidak, Fatma. Haruskah? Kenapa? Tinggallah di sini, jangan kembali ke sana!” Mbak Ajeng mencegah langkahku.

“Suamiku pasti menunggu, Mbak. Dia akan marah kalau aku tidak ada di rumah.”

“Kenapa kamu harus pulang kalau hanya akan mendapat rasa sakit?” pekiknya tertahan.

Aku mematung di ambang pintu. Jujur saja badanku gemetar hebat saat mendengar kata “sakit”, badanku juga menjadi panas dingin tak keruan. Aku tak mau kembali, aku tak mau kembali ....

“Tinggallah di sini! Jangan membuat luka itu menjadi borok karena lemah hatimu.”

Bahuku berguncang. Kelopak mata yang mengatup mengalirkan air hangat. Lagi-lagi gigiku bergemeletuk saat membayangkan wajah Surya. Namun, kala mengingat pesan Bapak, aku tak kenal kata gentar.

“Beri aku satu kesempatan, Mbak Ajeng. Jika nanti Mbak dapati aku begini lagi, bawa aku lari!” Aku memohon. Sedikit perih terasa, air mata menyentuh luka di pipi.

Aku berjalan gontai keluar dari rumah besar itu. Namun, tak disangka Mbak Ajeng menarik tanganku hingga aku berbalik badan. Cepat dia memberi pelukan, sambil ikut terisak sepertiku.

“Nanti Mas Pandri akan mengantarmu pulang. Aku juga berjanji tidak akan memaksamu kabur dari bajingan itu. Setidaknya, jika kamu menganggap aku ada, jangan pergi sebelum bertemu dengan Lio.”

Lio? Apa anak Mbak Ajeng itu tidak akan kaget melihatku? Saat ini, pasti wajahku seperti monster bagi anak kecil. Tak elok jika membuatnya ketakutan—apalagi dia seorang autis. Tak akan mudah bertemu orang asing yang menyeramkan sepertiku.

“Aku bisa pulang sendiri, Mbak. Aku akan pulang sekarang. Maaf,” jelasku.

“Apa bapak kamu mengajarkanmu untuk tidak menyambut niat baik saudara lain—walau aku bukan saudara kandungmu?”

Untuk sesaat aku merenung kembali. Air mataku dan Mbak Ajeng pun menyusut cepat. Mungkin, jam sudah lewat pukul empat. Pulang sekarang atau nanti sama saja, keterlambatan adalah cambuk yang siap dilecutkan ke seluruh tubuh. Biar nanti saja aku bersiap diri.

Pagar besi terbuka dengan sendirinya, lalu sebuah mobil berwarna kontras dengan mobil Mbak Ajeng terparkir sempurna di depan garasi. Dokter Pandri yang keluar dari mobil itu tak lekas menghampiri, melainkan membukakan pintu untuk penumpang lainnya.

Aku memandang malu-malu kepada Dokter Pandri dan ... Lio. Bocah putih gembul berambut ikal itu dituntun sang papa, mendekat ke arah Mbak Ajeng. Namun, dia tak menatap ke depan sekali pun. Pandangannya jatuh ke bawah, menunduk dan terus menunduk, seperti seorang anak yang canggung melihat orang lain.

Dengan serta-merta Mbak Ajeng berjongkok dan menyiapkan sambutan pelukan hangat untuk anak lelakinya. Kulirik sekilas, wanita itu tersenyum lebar dan mengucapkan satu kalimat secara perlahan dan berulang-ulang.

“Lio, anak mama. Hari ini senang?”

Pada pertanyaan ketiga, barulah Lio mengangguk. Mamanya menyorongkan pipi kanan, lalu sebuah kecupan mendarat cepat di sana. Wah! Pasti menyenangkan jika mendapatkan cinta dari anak tersayang.

Setelah bangkit, Mbak Ajeng mengangkat badan Lio agar sejajar denganku. Beberapa kali lagi dia menyebutkan namaku di telinga anaknya, tak lupa menunjuk-nunjuk. Namun, atmosfer antara aku dan Lio tak seindah yang diharapkan. Aku canggung dan tidak percaya diri dengan kondisiku, sedangkan anak itu ... menggeram kuat dengan kepal tangan, bahkan sebelum menatapku. Semakin dipaksa, dia malah berteriak kencang, persis seperti bocah kesurupan atau habis melihat setan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status