Share

Bab 3

Darah menetes dari hidungku dan nyeri di kepala bagian belakang menyebabkan pandangan berkunang-kunang. Tadinya hanya segelas kopi yang menyiram wajahku, tetapi saat pria itu mendorong tubuhku hingga aku menggulingkan meja berkayu lapuk itu, seluruh makanan yang kusiapkan ikut menempel di badan. Bajuku jadi berwarna sambal, putih-putih bulir nasi melekat di rambut, dan hijau sayur daun ketela rambat tersangkut di lengan begitu air kuahnya menetes habis.

“Kamu mengundang seorang teman tanpa ijinku? Siapa wanita itu? Dari dinas sosial, ‘kan? Mengadu apa, heh?” Pria itu menempelkan pelipisku ke tembok dengan kasar.

Sudahkah kalian tahu nama pria itu Surya? Artinya matahari. Nama yang terlalu berharga untuk pria bengis macam dia. Pernah aku melamun, membayangkan akan memberi nama anak lelakiku serupa itu. Biar keturunanku kelak menjadi seorang yang bersinar dan menyinari layaknya matahari. Namun, bilamana Surya menginjak dadaku secara paksa hanya untuk menyalurkan hasrat kelelakiannya, aku berpikir ulang. Bahkan, jika aku akan terlahir berkali-kali, aku tidak mau mendengar nama itu.

“Jawab aku, Fatma!” Surya berteriak lagi.

Sekarang aku tak punya tangan untuk menghapus darah yang menetes dari pelipis. Pria—yang dalam lembar putih dari penghulu disebut sebagai suamiku—itu mengunci tanganku dalam dua remasan. Satu mataku pun cuma bisa merem-melek karena tertekan di tembok. Bibirku masih terasa terbakar akibat siraman kopi panas di awal murkanya Surya.

“Jangan mendengar apa yang tidak kamu lihat, dan bertanya yang baik apa yang ingin kamu dengar,” lirihku, menahan perih saat berbicara. Gigiku bergemeletuk, rasanya jadi semakin sakit seluruh tubuh sewaktu dia menarik kasar helai rambutku.

Kembali aku dijedotkan ke tembok. Kekuatan Surya terlalu sulit kuhalau, apa lagi yang bisa kulakukan selain pasrah?

“Kamu jangan bohong, Fatma! Kalau ketahuan, kukubur kamu hidup-hidup!” sentak Surya sambil mengurai cengkeraman. “Satu lagi, jangan omong seperti wanita kaya! Aku tak suka itu!”

Surya berbalik badan, tetapi kakinya tak luput menendang-nendang panci dan peralatan makan yang berserakan di ubin. Marahnya dia itu sudah tak asing bagiku. Hal sekecil apa pun adalah kesalahanku, dan pembelaan diri sejujur apa pun adalah api yang memantik amarahnya semakin cepat. Aku diam atau menjawab, tak ada beda.

Setelah puas mengamuk, biasanya dia menghabiskan waktu di warung janda kembang langganannya di seberang tempat pembakaran sampah. Malam harinya, dia pulang ke rumah dengan aroma alkohol yang semerbak. Dia muntah di sembarang tempat, tak jarang pula menuangkan isi lambung di atas tubuhku saat sedang mencumbu paksa.

Menjijikkan. Lebih menjijikkan lagi jika aku harus menimang anak dari benih kemaluannya, bukan? Untuk hal ini aku cukup pandai, kusisipkan uang belanja sedikit demi sedikit, agar bisa membeli pil kontrasepsi setiap bulan. Cukup aku yang terlahir tidak beruntung di rumah ini. Tak boleh ada bayi lain seburuk nasibku.

❤❤❤

Hari ini aku menutup pintu rapat-rapat. Padahal Mbak Ajeng berjanji akan datang lagi pukul dua siang. Jika tak ada halangan, dia mau mengajakku berjalan-jalan, juga mengenalkan aku kepada keluarganya. Aku heran, kenapa dia suka sekali bertamu ke rumah jelekku. Kenapa pula dia begitu senang bercerita kepadaku?

Surya tidak pulang setelah menghajarku kemarin. Cukup aneh, tetapi aku lebih bersyukur saja. Paling tidak hari ini aku punya waktu luang untuk merawat luka yang diciptakannya. Namun, untuk bersantai-santai mengobrol dengan Mbak Ajeng, ini bukanlah waktu yang tepat.

Kupandangi pantulan wajahku di cermin. Memar, bengkak kebiruan, darah yang mengering. Seburuk dan sekacau ini penampilanku. Aku mengambil sisir dan menyugar rambut, tak peduli apa sisiranku sudah rapi atau belum—karena pandanganku memburam oleh air mata. Aku bayangkan yang indah-indah saja. Akan menarik jika aku adalah seorang putri raja. Di ujung telunjuk adalah pengabulan keinginan, di bawah entak kaki adalah penghormatan spesial.

Sialnya, ketukan pintu beruntun mengunci pintu khayalan indahku. Aku digiring lagi menuju rasa sakit di sekujur tubuh, juga rasa sakit karena patah hati. Saat pintu kubuka, wanita yang sempurna itu memandang kasihan kepadaku.

“Fatma, apa yang terjadi padamu?”

Mbak Ajeng memelukku. Bisa kurasakan ada air hangat menitik di pundakku. Kupikir, seorang wanita sempurna seharusnya tidak perlu menangisiku.

“Tidak apa-apa, Mbak. Pulanglah! Jangan cemas.” Aku mundur selangkah, jemariku gemetar—berusaha menutupi warna-warna luka di wajah.

“Tidak apa, bagaimana? Ini luka, Fatma. Banyak luka.” Dia mengajakku duduk di kursi.

Aku patuh. Duduk di dekat Mbak Ajeng, lalu membiarkan tangannya meneliti luka satu per satu.

“Luka itu sahabatku, perih itu teman tidurku, Mbak. Mungkin, ini satu-satunya kesempurnaan yang kumiliki. Sempurna oleh luka.”

“Hussh, bicara apa kamu, Fatma? Ayo, ayo pergi mengobati lukamu!” ajaknya tergopoh-gopoh.

“Biar, Mbak Ajeng. Seribu kali diobati pun, ini akan tetap menjadi sebuah luka.”

Mbak Ajeng tertegun. Dia batal keluar rumah. Dia menatap nanar ke pelipisku, sambil jarinya menggenggam erat tanganku.

“Nanti saja bicaranya, kalau lukamu sudah sembuh.”

“Biar, Mbak. Tidak perlu. Sungguh.” Aku menarik napas berat, mengeluarkannya pun terasa berat. Tak sadar, air mataku juga menetes susul-menyusul.

“Fatma. Jika kamu punya satu keinginan yang bisa terkabul, apa yang ingin kamu minta? Hidup sepertikukah? Atau punya suami yang bukan Surya?” Tiba-tiba Mbak Ajeng menanyakan hal itu.

Aku, seandainya punya keinginan yang bisa terkabulkan ... hanya ingin menjadi Fatma kecil saja, dengan Bapak sebagai pelengkap hidupku. Sungguh, itu lebih dari cukup untuk seorang Fatma ....

“Mbak Ajeng, bisakah Tuhan mengembalikan bapak saja? Atau bisakah Tuhan mempertemukanku dengan orangtuaku?”

Mbak Ajeng tidak menjawab. Ah, mungkin saja dia menjawab, hanya aku yang keburu pingsan. Ketika pandanganku menggelap, telingaku bisa mendengar panggilan Mbak Ajeng berkali-kali. Ada juga suara ribut saat tubuhku terasa terangkat ke udara. Suara sirine juga terdengar meraung. Namun, aku tak sanggup membuka mata. Pun, aku tak mau lagi membuka mata.

❤❤❤

“Orang bilang, setiap luka pasti ada penawarnya. Itu sebabnya, dokter pun ada gunanya. Tapi, aku tidak mau menjadi dokter hanya untuk merawat pasien sepertimu, Fatma.”

Kata-kata itu kudengar pertama kali—sesaat aku sadarkan diri. Pria yang mengatakannya adalah seorang tampan bersnelli yang tak canggung mengoleskan salep di badanku. Sebuah name tag kecil di dadanya menunjukkan sebuah nama yang tidak asing lagi.

“Dokter Pandri,” sebutku, tak sengaja.

Dia menghentikan aktivitasnya, lantas menautkan alis tebalnya. Tak lupa, dia bingkai juga sebuah senyum hangat. “Ya. Kamu mengenalku?”

Belum sempat menjawab, seseorang membuka pintu dan memeluk dokter itu dari belakang. Keduanya sempat beradu pandang, lalu berbalas senyuman.

“Sayang, aku banyak bercerita tentang kita kepada Fatma. Dan kamu tahu tentang Fatma dariku, ‘kan?”

Dokter Pandri mengangguk sambil tertawa kecil. “Ah, iya juga. Kenapa aku bisa lupa,” ucapnya ringan. Tangannya sedikit lagi selesai mengoles salep ke lukaku yang paling lebar: di pipi.

Tangan yang sama halus putihnya dengan Mbak Ajeng itu mengusap perlahan. Lembut, tanpa meninggalkan rasa sakit. Apa tangan dokter memang seajaib ini? Apakah seorang dokter akan tetap mengobatiku walau aku hanya wanita sampah? Apa kalau aku bukan teman Mbak Ajeng, Dokter Pandri tidak akan menyembuhkan lukaku?

“Baiklah, Fatma. Lukamu sudah diobati. Jangan terlalu banyak berpikir, rileks. Itu akan bagus untuk kesembuhanmu.”

“Apa aku bisa pulang sekarang, Mbak Ajeng?” Aku bertanya sebelum pasangan itu berlalu pergi.

Mbak Ajeng menoleh, lalu meremas lengan suaminya. Mimiknya tampak khawatir.

“Pulang? Ke mana kamu akan pulang, Fatma?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status