"Ya, mana Saya tahu, Arsan? Saya juga baru selesai telepon video dengan Mommy. Kamu bilang Saya tidak boleh keluar kamar, ya sudah Saya hanya telepon Mommy!" jawab Marren dengan nada jengkel.
Arsan terdiam beberapa saat, "oke, tunggu aku pulang." Arsan menutup telepon dengan seenaknya. Marren menggeram jengkel bukan main. "Oh astaga! Apa-apaan sih dia itu? Benar-benar menjengkelkan! Menyebalkan! Huh!" Marren melempar ponselnya ke sofa di sebelahnya. Haura yang menyaksikan itu hanya bisa membeku tanpa bergerak sedikit pun. Marren menatap gadis itu dengan penuh iba. la terlupa akan keberadaan. Haura yang telah membawa buku-bukunya. "Oh Haura, maafkan Saya. Letakkan saja buku-buku itu di sana dan kamu boleh pergi." Marren menatap gadis itu dengan tersenyum penuh pengertian. "Tap... Tapi Nyonya, saya... saya sudah berjanji akan menemani Nyonya sepanjang waktu! Pasti Nyonya butuh teman bicara." Haura menawarkan dir"Marren, Saya menunggu jawabanmu!" Arsan menatap Marren yang makin terlihat pucat pasi. Wanita muda itu menelan kebingungannya dalam matanya yang berkaca-kaca. "Ti... dak Arsan. Saya, Saya memang tadi sempat bermimpi buruk, tapi entah kenapa Saya, ehm di mimpi Saya ada Kakak ipar dan, dan entah kenapa setiap ada dia membuat Saya tidak nyaman. Entahlah Saya hanya aneh dan takut" papar Marren dengan perkataan yang terbata-bata. Hening sesaat. Arsan hanya memandang Marren beberapa saat lalu pergi meninggalkannya tanpa kata-kata atau pun sikap kemarahannya yang sering meledak-ledak jika ia merasa cemburu dengan setiap Pria yang dekat dengan Marren. Hal itu membuat Marren bertanya-tanya dan kebingungan seketika menderanya. 'Arsan pergi begitu saja? Dia tidak marah? Tidak mungkin! Apa dia bisa meredam kemarahannya kali ini atau.... Atau... la... Oh tidak! Apa jangan-jangan ia langsung pergi menemui Arland? Oh tidak, bagaimana
Malam telah larut, namun Marren tetap tidak bisa memejamkan kelopak matanya. Dia hanya membolak-balikkan badannya dengan gelisah, apalagi Arsan tidak ada di sampingnya. Sejak pria itu meninggalkannya dengan sikap yang aneh, ia tidak lagi menemui Marren. 'Aneh sekali dia hari ini, tapi dengan diamnya ini Saya jadi semakin takut dengan apa yang akan diperbuatnya. Ya, walaupun kami memang tidak selalu setiap saat bersama, tapi baru kali ini Saya merasa sendirian. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Lebih baik dia mencak-mencak seperti biasanya saja, kalau begini Saya jadi bingung sendiri harus bersikap bagaimana" keluh Marren dalam hati. Wanita itu memaksakan dirinya untuk memejamkan matanya. Hingga hari menjelang siang, Marren tidak juga melihat sosok Arsan yang berkeliaran di dalam rumah, ponselnya pun tidak ada pemberitahuan apa pun tentang Arsan yang biasanya selalu meramaikan suara benda pintar itu. Bahkan Marren tidak melihat pria yang menjaga kamar
''Siapa...!" pekik Marren tertahan karena memdadak Pria itu mencium lehernya dengan lembut sambil memainkan jari-jarinya di perut Marren dan membuat wanita itu bukannya bergairah namun malah memekik seperti kesetanan. ''BRENGSEK! SIAPA KAMU! KURANG AJAR! LEPAS!'' Marren mulai memaki dan berusaha memberontak dengan menendangkan kakinya serta mengayunkan sikunya membabi buta. Pria itu melepaskan pelukannya dengan kaget. "Wow! Wow! Hei! Tenang Sayang, ini Saya." ''SAYA SIAPA! BRE***EK! LEPASKAN SAYA! SAYA SUDAH PUNYA SUAMI!" Bentakan Marren membuat Pria itu menahan tawanya, Marren mengernyit diam seolah berusaha mengenali suara tersebut. ''Sayang, jangan seperti itu! Masa kamu lupa dengan suara saya?" ''Arsan? Arsan lepaskan Saya! Jangan main-main..." Tawa laki-laki itu menghentikan ucapan Marren dan membuat Marren beringsut menjauh ingin menutupi dirinya dengan bantal. ''Arland? Apa kamu, Kakak Ipar?" Suara Marren berubah menjadi getar ketakutan. "Kenapa? Ap
''Hasyiiiiimmm...!" ''Ren... Kamu harus ke Dokter, ini sudah ke sekian kalinya kamu bersin-bersin. Aduh... Tak seperti biasanya kamu sakit begini, Sayang." Wira menatap khawatir pada Marren yang sibuk membersihkan hidungnya yang memerah. "Ah iya, nanti malam saja" sahut Marren. "Saya sudah minum obat" lanjutnya dengan suara sengau saat Wira menatapnya dengan mata melotot seraya mengendikan bahunya. ''Baiklah, terserah kamu saja, asalkan kamu cepat berobat" imbuh Wira. Saat itu hari beranjak siang, mereka baru pulang dari kantin sedang menunggu jadwal kelas berikutnya sambil berjalan melintasi lorong kelas lain. Marren tidak melihat ada sosok yang terus menatapnya tanpa berkedip, sedangkan ia sibuk berdebar karena melihat sosok Arsan dengan gaya perlente sedang berjalan ke arahnya, membuat para mahasiswi yang ia lewati memekik tertahan karenanya. 'Oh tidak! Kenapa harus bertemu dia di sini? Bukankah harusnya dia hari ini ke kantor? Dia kan tidak ada jadwal kuliah
Marren menelan pil-pil yang ia dapat dari Dokter yang telah ia kunjungi sore itu setelah selesai kuliah. Bekas makan malam yang masih ada di meja ia abaikan begitu saja tanpa repot-repot memanggil asisten rumah tangga untuk membersihkannya. Marren tidak ingin membuka pintu kamarnya. la ingin mengunci diri dan menghabiskan malam itu dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk dan beberapa buku novel dari berbagai genre yang belakangan berhasil menjadi teman waktu luangnya. Namun baru beberapa lembar ia membaca buku, ia tidak bisa menahan berat di kepalanya akibat flu yang di deritanya. Bergegas Marren mengunci pintu kamar dan mematikan lampu, la merebahkan dirinya dengan cahaya redup yang berasal dari lampu tidur di atas nakas. Sayup-sayup ia mendengar suara orang berbicara, tanpa pikir panjang wanita muda itu mematikan lampu tidur dan menenggelamkannya dalam kegelapan kamar. la mendesah karena lega dan suka dengan sep
" Sayang.... seharusnya kamu beristirahat di rumah saja. Lihatlah, kamu masih demam." Madya memegang kening Maret yang rebah di pangkuannya. Walaupun khawatir namun ia tidak bisa memungkiri kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya saat Putri semata wayangnya itu datang mengunjunginya. "Marren rindu pada Mommy. Dan mumpung Si eeemmm... Arsan memberi izin jadi karena segera berangkat. Marren ingin menginap di sini Mommy, boleh kan?" rengek Marren dengan suara sengau di selingi bersin kecil yang telah ke sekian kalinya ia alami. Madya menggeleng perlahan dengan wajah simpati. "Tunggu sebentar" ucapnya sambil berdiri bangkit dari duduknya dan meninggalkan Marren yang tergeletak lemah di sofa. Wanita muda itu sibuk membersihkan ingus yang meleleh dari hidungnya. Hingga ia harus bangkit dari rebahnya karena mendengar ponselnya berdering menandakan panggilan masuk. ''Pasti Arsan. Loh? Nomor asing siapa lagi ini?" Arsa
Marren mencoba mengabaikannya dan memblokir nomor asing tersebut. Akan tetapi, ia ingat akan ancaman pesan tersebut, bahkan mereka mengetahui namanya dengan jelas. Dalam gelisah, Marren menelepon Sang Mommy untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Dan benar saja, dalam telepon video itu tampak Madya sedang tiduran menggunakan kacamata baca yang masih bertengger di ujung hidung mancungnya. "Mommy, Marren ingin bicara pada Arsan supaya Mommy bisa tinggal di sini saja."Marren mencoba mendekati inti permasalahan yang membuatnya. gelisah. ''Jangan cengeng Marren, Mommy lah yang sengaja meminta pada Arsan agar hidup terpisah darimu, Nak." ''Hah? Kenapa, Mom?" ''Sayang, sudah berapa kali kita bahas masalah ini sejak kamu menikah. Mommy tidak ingin mengganggu kehidupan rumah tangga kalian. Dan lagi, biar kalian bisa fokus untuk segera dapat momongan! Duuuh... keceplosan." Madya tergelak dan terkekeh tipis. "
Melihat Arsan yang tidak berdaya membuat Marren tidak tega meninggalkannya begitu saja. Maka setelah memastikan Arsan baik-baik saja dan menitipkannya pada pengawasan asisten rumah tangga yang memang mengurusinya sejak ia kecil. Marren merasa lega untuk pergi ke kampus. Pagi itu ia pergi kuliah dan mencari tahu tentang kerja paruh waktu kepada teman-temannya. Banyak informasi pekerjaan yang ia terima, namun beberapa di antaranya menginginkan pekerja seharian penuh. Kesibukannya akan kuliah dan mencari pekerjaan membuatnya melupakan tentang Arsan yang tidak muncul di kampus. Akan tetapi siang itu entah sengaja atau tidak, teman-teman Arsan duduk tidak jauh dari tempat duduk Marren saat mereka makan siang di kantin kampus dan pembicaraan mereka hanya seputar tentang Arsan. "Ke mana lagi si Arsan?'' ''Ah, kurasa dia kelelahan gara-gara semalam, hahaha..." "Kamu benar! Dia seperti orang gila! Yah, siap