Share

Bom Waktu

Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa.

Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar.

Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya.

Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia.

"Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Firman juga butuh sosok lelaki untuk menjadi ayahnya," ucap Jaya kala memintaku menerima cintanya.

Aku yang dilanda ragu kemudian meminta waktu untuk berpikir bagaimana kelanjutannya. Memikirkan semua dengan matang dan hasilnya aku bersama Jaya meminta restu pada bapak agar bersedia menikahkan kami.

"Bapak titip Amira dan Firman. Mereka adalah orang yang sangat bapak sayangi. Jika kamu menyakiti salah satu atau keduanya, bapak sendiri yang akan memberimu pelajaran," ucap bapak ketika Jaya meminta restu untuk kami.

"Saya berjanji Pak. Janji lelaki tidak perlu diragukan," jawab Jaya dengan lantangnya.

"Betul. Jika domba yang dipegang tali ikatannya, jika lelaki yang dipegang ucapannya," sahut bapak kemudian.

Selang satu bulan digelar lah pernikahan yang cukup meriah. Bukan tanpa alasan, karena Jaya adalah bujangan ketika menikah denganku. Akupun baru kali ini melangsungkan pernikahan dengan pesta karena pernikahan pertamaku dengan Budi dilaksanakan sederhana.

Kemudian teringat kembali perlakuan Jaya yang sangat mengistimewakan aku dan Firman. Bahkan ketika aku hamil atas pernikahan dengan Jaya, dia masih sangat menyayangi Firman seperti anak kandungnya sendiri.

Firman yang berusia empat tahun terlihat bahagia dikelilingi orang yang menyayanginya, walaupun tidak ada ikatan darah dengan Jaya selaku ayah sambung.

"Pak, itu apa?" tanya Firman menunjuk hewan yang menempel pada tanaman yang ada di samping rumah.

"Itu namanya kupu-kupu," jawab Jaya sambil tersenyum dengan tulus.

"Besar sekali, Pak," jawab Firman dengan mata berbinar takjub.

"Kupu-kupu siramarama, memang besar sep," jawab Jaya kembali. Asep adalah sebutan untuk anak lelaki kesayangan di tanah sunda.

"Warnanya apa Pak?" celoteh Firman kembali terdengar riang.

"Coklat bercorak," jawab Jaya lagi dengan sabar.

Maklum, di usia Firman memang sedang aktif berceloteh dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. 

Firman tidak tahu bahwa Jaya bukanlah orang tua kandungnya. Dia ditinggalkan oleh ayah kandung ketika masih balita umur dua tahun yang belum mengerti dan tidak yakin dalam mengingat karena waktu yang cukup lama tidak bertemu ayah kandungnya.

"Amira, saya ingin bicara serius," ucap Jaya kala itu.

"Ada apa?" tanyaku dengan memicingkan mata, heran biasanya dia langsung bertanya pada pokoknya.

"Perkembangan zaman membuat usaha kita terancam gulung tikar. Jika keadaan begini terus, kita tidak akan bertahan lama," ucapnya dengan tatapan sendu.

"Lalu bagaimana?'' tanyaku cukup khawatir. Mengingat kami berada di perantauan dengan kondisi aku sedang mengandung anak Jaya.

"Saya memikirkan untuk pulang ke Sumedang. Disana kita buka usaha dari tabungan yang masih tersisa. Setidaknya meringankan pengeluaran sewa rumah, karena kita tinggal dirumah orang tuaku," jawab Jaya membuatku terkejut. Seperti disambar kilatan petir di siang bolong.

"Apakah keluargamu disana akan menerimaku dan Firman?" tanyaku dengan ragu.

"Sudah pasti. Jangan membedakan kamu dan keluargaku. Kalian sama berartinya untukku," jawab Jaya sambil menggenggam erat tanganku yang basah oleh keringat.

"Bagaimana kalau kita ke Palered saja, rumah orang tuaku?" tanyaku dengan terbata.

"Tidak Amira, harga diriku menafkahi dan memberikan tempat tinggal layak untukmu dan Firman, bukan tanggung jawab keluargamu," ucap Jaya sambil menggeleng dengan keras.

"Kenapa kamu membedakan keluargaku? Bukankah keluargamu adalah keluargaku, berarti keluargaku juga keluargamu?" tanyaku sambil memicingkan mata, menangkap perbaningan yang Jaya beri kesan.

"Tidak, bukan begitu maksudku. Pokoknya kamu ikut denganku ke Sumedang. Tidak ada bantahan kali ini," ucap Jaya sambil berdiri meninggalkanku dengan penuh tanda tanya.

Apakah lelaki begitu egois? Aku harap keputusan kali ini tidak menyebabkan sesuatu yang berakibat fatal. Memang mertua dan iparku terlihat baik. Namun sekilas, tidak tahu jika kami disatukan dalam atap yang sama. Aku akan berusaha supaya bisa diterima dengan baik, tekadku kala itu.

Awal kepindahan kami, cukup baik bagiku dan Firman. Ibu mertua dan Kak Dina terlihat menyayangi Firman, walaupun Kak Nina terkesan acuh pada kami. Aku tidak terlalu memikirkannya hingga tiba saat Kak Nina selalu menggangguku dengan ucapannya yang tajam menyindirku dan Firman.

"Kak Nina hanya iri padamu, Mir. Sudahlah tidak usah dihiraukan," ucap Jaya ketika aku menceritakan perlakuan Kak Nina padaku dan Firman.

"Tapi aku kasihan pada Firman, dia tidak seharusnya terlibat dalam situasi seperti ini," jawabku sambil menundukan kepala dalam-dalam.

"Sudah jangan dipikirkan lagi. Biar nanti saya bicara dengan Kak Nina," jawab Jaya meyakinkan.

Sejak saat aku mengadu pada Jaya, sikap Kak Nina bukan berubah menjadi lebih baik, malah semakin menjadi-jadi. Dia semakin berani mengejekku atas statusku sebelum menikah dengan Jaya seakan dia tahu permasalahanku dulu. Juga tak segan memarahi Firman agar tidak banyak menghabiskan makanan yang ada, karena dia bukan siapa-siapa dan tidak lebih dari orang lain yang hanya menumpang hidup di keluarganya.

Bahkan ketika Rafik lahir, dia semakin membandingkan antara Firman dan Rafik. Padahal tidak ada bedanya diantara mereka. Kakak beradik yang dilahirkan dari ibu yang sama. Menempati rahim yang sama sebelum lahir kedunia fana ini.

"Rafik sayang, keponakanku satu-satunya," ucap Kak Nina jika dia sedang menimang Rafik.

Sakit, perih. Namun apa yang dia bilang benar, karena Rafik satu-satunya anakku yang memiliki garis keturunan keluarga Jaya. Lantas apa yang bisa aku sanggah?

Rentetan kejadian itu membuatku tak sanggup menahan beban ini sendiri. Karena Jaya pun seperti tidak peduli dengan semuanya. Selama aku dan Firman bisa makan, dia merasa telah menafkahi kami dengan baik walaupun cibiran dan ejekan lebih banyak kami telan dibanding nasi.

Hingga perceraian adalah satu-satunya jalan yang ada dihadapanku ketika Rafik berusia dua tahun. Cukup sudah aku menelan pil pahit yang diberikan iparku selama tiga tahun pernikahan dengan Jaya.

Sekarang, aku dihadapkan lagi dengan kisah rumah tangga lain, yang juga cukup menguras pikiranku.

Dimana aku akan dinikahkan dengan Mahdar yang notabenenya adalah suami dari perempuan lain, dan juga Rafik yang dibawa kabur dalam gelapnya dini hari oleh ayahnya sendiri.

"Sudah Amira, nanti minggu kita jemput Rafik. Mahdar akan mengantarkan kita," ucap bapak terdengar bagai angin segar bagiku.

"Betul Pak?" tanyaku masih dengan mata berlinang.

"Kapan bapak berbohong?'' ucap bapak dengan sorot mata tegas.

***

Hari minggu tiba. Aku yang sudah bersiap dari pagi buta menunggu jemputan bapak dan Mahdar untuk membawa kembali Rafik pada pelukanku. Tak lupa dengan Firman yang sudah rapih sambil memainkan mainannya sendiri ditengah rumah kontrakanku.

Menatap bocah itu, biasanya dia mengajak Rafik bercanda disitu namun sekarang dia hanya sendiri.

"Tenang saja, sebentar lagi kita jemput Rafik," ucapku pada diri sendiri.

"Amira, sudah siap?" tanya bapak ketika melihatku sedang duduk memperhatikan Firman.

"Ayo Pak, Amira sudah tidak sabar," jawabku menghampiri Firman dan menuntunnya untuk memulai perjalanan menjemput Rafik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status