Share

Bermuka dua

"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya.

"Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.

'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku.

"Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.

Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.

Aku meringis menahan sakit, ibu seperti memberi kode agar aku tidak bertingkah lebih jauh lagi.

"Ayo, Mir! Aku gendong Rafik kamu tuntun Firman ya?" ucap Jaya sekembalinya dari kamar Kak Dina.

Kami melangkah meninggalkan rumah menuju warung bakso. Aku tak habis pikir bisa-bisanya ibu berlaku tak ubahnya bunglon yang bisa merubah warna sesuai apa yang dia pijak.

Ibu juga seperti itu 'kan? sifatnya berubah-ubah berdasarkan siapa yang sedang berhadapan dengannya. Memuakkan.

Setelah selesai menyantap bakso, aku meminta pada Jaya untuk sekedar berbincang dahulu sebelum pulang.

"Jaya, bagaimana kalau Kak Nina tidak berubah?" tanyaku.

"Tidak mungkin," jawabnya.

"Kalau misalkan ternyata keluargamu memang tidak menerimaku, apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku.

"Tidak mungkin Amira. Bahkan ibu sangat baik padamu?" tanyanya menatapku.

Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapan itu tetapi merasa mual di ulu hati.

"Kalau aku meminta kamu memilih antara keluargamu dan keluarga kita, kamu memilih yang mana?" tanyaku menyelidik.

"Amira, kamu adalah keluargaku. Berarti keluargaku juga keluargamu. Berhentilah membeda-bedakan. Selamanya aku tidak akan bisa memilih antara kalian. Karena kalian sama pentingnya untukku," ucap Jaya pelan namun tegas.

"Kalau kita pindah ke rumah orang tuaku di Palered, apakah kamu mau?" tanyaku lagi.

"Tidak Amira. Itu hanya akan membuatku malu," jawab Jaya.

"Kenapa harus malu? Keluargaku juga keluargamu bukan?" tanyaku.

"Malu karena kamu, Firman dan Rafik sepenuhnya tanggung jawabku," jawab Jaya.

"Tenang saja, di Palered kamu hanya malu. Sementara di sini aku sakit hati," ucapku lirih.

"Apa lagi Amira? bukankah masalahnya sudah selesai?" tanya Jaya bingung.

"Belum Jaya. Masalahnya belum selesai. Mungkin beberapa hari lagi baru akan selesai," ucapku.

Jaya hanya menggeleng dan memilih tidak mempedulikan ucapanku lagi. Mungkin baginya aku hanya sekadar bergurau.

Baiklah Jaya, nikmati detik demi detik kebersamaan kita karena mungkin tidak akan bertahan lama lagi.

Aku tidak bisa bertahan dalam hubungan seperti racun yang perlahan mematikanku.

Aku sudah menerima konsekuensi dari ketidakkuatanku menjalani hubungan ini.

Sebenarnya pertanyaan tadi cukup untuk membuktikan bahwa Jaya tidak sepenuhnya mengerti akan diriku.

Kalau saja Jaya menerima keinginanku untuk pindah, mungkin saja pernikahan kami akan panjang.

Disana dia bisa bekerja membantu bapak di peternakan ayam bersama Dika, adikku.

Namun pikirannya terlalu sempit. Meninggikan ego dan malu karena merasa bertanggung jawab atas diri ini namun tidak mau mengerti apa yang aku rasakan. Bukankah itu adalah bentuk keegoisan?

Aku tidak mau berlama-lama menjalani hidup seperti ini. Sudah cukup bagiku.

Bertahan dengan dia walau tidak memiliki penghasilan tetap rupanya tidak membuat dia menyadari bahwa aku akan menemaninya apapun keadaannya. Menggenggam erat ego dan harga diri yang akan membuat dia kehilanganku.

Sudah cukup. Mungkin untuk kedepannya lebih baik aku memilih untuk menerima pria yang memiliki banyak harta saja. Walaupun perlakuan keluarganya tidak mengenakan tapi aku bisa meminta rumah sendiri agar tidak sering berselisih paham dengan keluarga suamiku kelak.

Toh aku sudah mencoba menerima dia yang mencintaiku dengan kesederhanaan. Tapi dia melukaiku dengan ketidaksengajaan lewat perlakuan dan sikap keluarganya padaku.

Sekarang aku berpikir bahwa cinta hanyalah pembodohan.

Sudah dua kali aku menggantungkan hidup atas nama cinta. Namun sama saja tetap luka yang aku terima.

Aku bertekad mulai saat aku berpisah dengan Jaya, aku akan berusaha bagaimanapun caranya agar bisa memiliki harta.

Supaya tidak ada yang bisa meremehkanku lagi.

Aku yakin suatu hari nanti, janda akan lebih diinginkan.

Jika para istri di luar sana memandang sebelah mata janda karena takut suaminya tergoda, akan kukabulkan ketakutan mereka.

Di tahun 2002 ini, janda masih dianggap sebelah mata. 

Entah sepuluh tahun kedepan. Mungkin saja janda akan lebih diinginkan.

***

Tiga hari setelah kepulangan bapak, perlakuan Kak Nina semakin menjadi.

Di hadapan Jaya dia akan bersikap manis, namun berubah menjadi sadis jika tidak ada Jaya.

Aku cukup bertahan tiga hari saja. Di hari ketiga ini, aku akan bertingkah.

Sekali lagi akan kuuji Jaya apakah dia benar membelaku atau sekedar menenangkanku tanpa adanya aksi nyata.

"Jaya, aku ingin pulang hari ini," pintaku pada Jaya ketika keluarga tengah berkumpul.

Sontak membuat semua yang ada di dalam ruangan menatapku heran.

Juga terlihat jelas sorot mata ibu mertua yang seperti ingin menerkamku hidup-hidup.

"Mau apa lagi Amira?" tanya Jaya.

"Aku kan kemarin mengajakmu pindah ke Palered. Ayo hari ini!" Ajakku lagi.

"Tidak Amira, sudah di sini saja tidak usah macam-macam," ucap Jaya tegas.

"Jadi kamu tidak akan ikut aku dan anak-anak pindah?" tanyaku.

"Tidak, lagipula aku tidak akan mengantarkanmu pulang. Kamu tidak tahu juga jalan pulang dari sini menuju Palered jika menggunakan bus kan," ucap Jaya santai.

Jaya selalu menganggapku anak-anak yang tidak berdaya dan tidak tahu apa-apa. Mungkin dia seperti itu karena melihat aku yang selalu menurutinya dan bergantung padanya. Namun kali ini tidak lagi.

Sewaktu aku diantar bapak untuk mendiskusikan permasalahan yang aku pendam, bapak bilang akan pulang dan memberi waktu pada Kak Nina. Apakah bisa merubah perilakunya padaku.

Bapak memberi waktu dua minggu. Namun aku meminta cukup tiga hari saja. Karena takut jika memang Kak Nina tidak akan berubah. Aku sudah memperkirakan hingga kemungkinan terburuk.

Benar saja, Kak Nina bahkan ibu mertuaku terang-terangan memusuhiku.

Untung saja aku meminta bapak kembali mengunjungiku dalam waktu hanya tiga hari 

Tidak bisa dibayangkan jika dua minggu aku terus menerima perlakuan tidak mengenakan dari ipar dan mertuaku. Mungkin aku bisa mati berdiri.

"Sudah Amira, tidak usah bertingkah. Toh disini pun kamu tidak sampai kelaparan, 'kan?" ucap ibu penuh penekanan.

"Semenjak orang tuanya melabrak kemarin, semakin bertingkah saja dia," sungut Kak Nina.

Aku berpura-pura terlihat sedih dan membendung air mata. Kemudian membawa Firman dan Rafik ke dalam kamar.

Sebenarnya sejak malam aku sudah membereskan barang yang akan dibawa pulang. Hanya baju kami saja, tidak lebih dari dua tas besar.

Ketika aku beranjak, terlihat Jaya akan menyusulku. Namun…

"Sudah Jaya, tidak usah disusul. Biarkan dia menangis kesal. Nanti juga kembali seperti biasa," tahan ibu mertuaku.

"Ya biarkan saja. Jika dibujuk akan lebih besar kepala perempuan itu," timpal Kak Nina.

"Amira, dia istriku. Bukan perempuan itu," jawab Jaya.

"Ya, terserah," ucap Kak Nina.

Memang di rumah mertuaku itu, hanya ibu dan Kak Nina yang selalu ikut bersuara. Adik dan kakak Jaya yang lain jarang sekali ikut dalam perselisihan.

Kak Dina, walaupun tidak turut bersuara namun dia selalu melindungi Firman dan Rafik jika keadaan mulai memanas.

Edi adiknya terkesan acuh, sementara bapak mertua memang lebih banyak menyimak.

"Assalamualaikum," terdengar suara khas seseorang yang kutunggu memberi salam di depan rumah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status