Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku.
"Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku.
"Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya.
"Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya.
"Ya aku sudah siap," ucapku.
Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula.
"Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Jadi ini keputusannya, Amira?" tanya bapakku tersenyum.
"Ya, Pak. Amira dan anak-anak sudah siap," jawabku penuh kemenangan tanpa menghiraukan pertanyaan ibu mertua.
"Mahdar, tolong bawakan barang Amira. Amira, bawa Firman dan Rafik masuk mobil. Biar Bapak yang menjelaskan," pinta bapak.
Mahdar mengambil tas yang ku tenteng, lalu aku menuntun kedua anakku mengikuti langkahnya.
"Maaf besan, Jaya. Amira sudah mengambil keputusan untuk pulang ke rumahnya. Itu berarti selama tiga hari kebelakang, dia tidak melihat perubahan setelah pembicaraan kita tempo hari. Saya sebagai Bapak dari anak menantu di rumah ini, meminta kembali Amira. Biar Amira dan anaknya kembali menjadi tanggung jawab saya," ucap bapak tegas.
"Maksud Bapak apa?" tanya Jaya.
"Apakah Amira ada mengajakmu untuk memulai kehidupan baru dan keluar dari rumah orang tuamu ini?" tanya bapak.
"Ya, Amira memang memintanya namun saya pikir itu hanya keinginan tak berdasar," jawab Jaya.
"Berarti kamu telah melalaikan janjimu pada saya. Lalu apakah Nina memperlakukan Amira dengan baik tiga hari ini?" tanya bapak beralih pada mertuaku.
"Ya, tiga hari ini rumah dalam keadaan tenang," jawab bapak mertua.
"Berarti besan tidak memperhatikan Amira dengan baik," timpal bapak.
"Bagaimana Bu Besan, apakah ada perubahan dari Nina?" tanya bapak lagi.
"Em… ya, seperti apa yang suami saya bilang, rumah ini dalam keadaan tenang," ucap ibu mertuaku dengan gelagapan dan tidak berani menatap mata bapak.
"Saya yakin tidak, karena Bu Besan menjawab pertanyaan saya dengan gugup dan tidak berani menjawab dengan apa yang Bu Besan tahu. Melainkan dengan apa yang Pak Besan tahu," ucap bapak.
'Kena kau wahai mertua,' batinku.
"Lalu bagaimana ini Pak?" tanya Jaya.
"Sudah, lepaskan Amira. Biarlah mereka hidup tenang dengan kami di sana. Tidak usah kau risaukan kehidupan mereka. Saya tidak mungkin menyakiti anak dan cucu saya," ucap bapak penuh penekanan.
"Apa tidak bisa dibicarakan baik-baik besan?" tanya bapak mertua
"Bukankah tempo hari sudah? tapi tidak ada hasil nyata," jawab bapak dengan tenang.
"Apakah tidak ada kesempatan untuk saya memperbaiki hubungan ini?" tanya Jaya.
"Kesempatan apa lagi Jaya? bukankah Amira sudah memberikan kesempatan dan kamu menyia-nyiakannya?" jawab bapak.
Mereka semua terdiam. Mungkin mereka pikir aku bisa terkekang karena tidak bisa melakukan apa-apa.
Terlihat raut wajah Kak Nina yang merah padam. Mungkin saja dia tahu sehabis ini, dialah yang akan dimintai pertanggungjawaban atas hengkangnya aku dari kehidupan Jaya.
"Ini semua gara-gara Kak Nina!" teriak Jaya penuh amarah.
Kak Nina terlihat mundur beberapa langkah, bersembunyi di balik tubuh ibunya.
"Sudahlah Jaya, biarkan Amira pergi dan jangan selalu menyalahkan kakakmu," sentak ibu mertua.
"Tapi memang ini semua karena ulah Kak Nina, Bu," seru Jaya.
Pijakannya luruh menjadikan posisinya berlutut, tubuhnya seakan tak mampu menahan beban dan tergugu di lantai.
"Memang apa hebatnya Amira? kamu bisa mendapatkan gadis cantik lainnya. Ibu juga awalnya heran kenapa kamu memilih bekas orang," ucap ibu mertua membuat bapak menggelengkan kepala.
"Jaya cinta pada Amira, Bu. Tidak peduli dia gadis atau bukan," histeris Jaya.
"Kamu cinta pada Amira?" tanya bapak berjongkok di hadapan Jaya.
Jaya mengangguk menjawab pertanyaan bapak.
"Kalau begitu lepaskan. Bukankah mencintai berarti rela berkorban demi orang yang dicintai agar dia bahagia? Tapi di sini Amira tidak bahagia Jaya. Makanya, bukti jika kamu mencintai Amira adalah dengan cara melepaskannya," ucap bapak membuat Jaya menatap tajam pada bapak.
Beberapa saat kemudian semua terdiam.
Pun juga Jaya, dia sepertinya mencerna apa yang bapak ucapkan.
"Baik, jika itu bisa membuat Amira bahagia," ucap Jaya lesu.
"Jatuhkan talak pada Amira. Karena selepas masa iddahnya, saya akan menikahkan Amira dengan lelaki yang akan membahagiakannya," ucap bapak membuatku membulatkan mata.
Tidak, ini bukan bagian dari rencana ini.
Apakah ucapan bapak serius? atau hanya gertak sambal?
"Jadi Amira sudah mempunyai calon suami sebelum saya menceraikannya?" Tanya Jaya emosi.
"Sudahlah Jaya. Terbukti kan bahwa dia memang perempuan tidak baik dan tidak pantas diperjuangkan," ucap ibu mertua memanasi Jaya.
"Ya, Ibu betul. Disaksikan oleh orang tua saya dan bapak, mulai saat ini saya jatuhkan talak saya terhadap Amira Handayani. Mulai detik ini, dia sudah bukan mahram saya. Yang berarti haram bagi saya untuk menyentuh Amira," ucap Jaya dengan mata menyalang.
Kemudian tangisan dalam diam terlihat dari wajah sendu Jaya. Juga senyum yang mengembang menghiasi raut ibu mertua. Sementara bapak mertua terpaku menyaksikan semua yang terjadi.
Tanpa sadar mataku meneteskan air yang sejak tadi tertahan. Ternyata aku tidak sekuat yang dibayangkan.
Air mata ini mengalir dengan deras. Sampai disini saja kidung rumah tangga yang aku jalani untuk kedua kalinya.
"Terima kasih, Jaya. Saya terima kembali Amira menjadi tanggung jawab saya. Mulailah kehidupan baru tanpa penyesalan," ucap bapak sambil menepuk bahu Jaya.
Jaya masih tergugu memeluk erat lututnya. Tangis yang keluar dari matanya tidak dapat dihentikan.
Kak Nina melenggang masuk ke dalam kamarnya. Bapak mertua rubuh dari tegapnya.
Betapa memilukan perpisahan ini.
"Urusan saya cukup sampai disini. Rafik saya bawa. Saya tidak akan membatasi jika Bapaknya ingin bertemu. Datanglah menengok Rafik kapanpun kamu mau," ucap bapak.
Terlihat bapak menyalami mantan mertuaku, lalu membalikan badan melangkah menuju arah kami.
Lalu Mahdar menjalankan mobil dengan tenang.
Kucoba menepis semua yang membuat air mataku luruh, namun susah sekali.
"Menangislah Amira. Luapkan semua kesedihanmu cukup hari ini. Berbahagialah mulai esok," ucap bapak padaku.
Aku kembali menangis sambil memeluk kedua anakku.
Firman dan Rafik terdiam. Mereka terlalu muda untuk menjalani kepahitan hidup.
"Maafkan mamah," ucapku pelan pada keduanya.
"Sudah Amira, tidak perlu dipikirkan lagi," timpal Mahdar.
"Pak, apa ucapan tadi pada Jaya serius atau hanya gertakan?" tanyaku.
"Ucapan yang mana, Mir?" bapak balik bertanya.
"Tentang setelah lepas dari Jaya, Amira sudah dapat pengganti," tanyaku.
"Bapak serius," ucap bapak tanpa menoleh.
"Tapi siapa, Pak? Bahkan Amira baru saja berpisah tapi Bapak sudah bilang pada Jaya tanpa membicarakan hal ini sebelumnya," protesku.
"Mahdar siap menjadi suamimu," ucap bapak.
"Mahdar?" tanyaku ragu
"Ya, Amira. Saya sudah melamarmu pada bapak, dan bapak sudah menerima lamaran saya," ucap. Mahdar tersenyum.
"Memangnya kamu lajang?" tanyaku ragu, melihat usia kami terpaut agak jauh.
Mahdar tidak langsung menjawab malah menoleh ke arahku dengan tatapan yang tidak dapat aku artikan.
Apakah dia bujangan, duda atau beristri?
Besoknya ketika aku sedang bermain dengan Firman di halaman rumah orang tuaku, sayup terdengar suara mobil yang semakin mendekat membuatku menoleh."Assalamualaikum," sapa pria yang keluar dari mobil tersebut."Waalaikumsalam," jawabku tersenyum dengan manis ketika melihat Mahdar yang datang."Amira, saya bawakan beberapa camilan untuk Firman," ucap Mahdar sambil menyodorkan kantong kresek padaku."Terima kasih," jawabku masih dengan senyum yang mengembang.Kemudian aku mengajak Mahdar masuk ke dalam rumah, karena melihat beberapa ekor pasang mata menatapku dengan sinis. Aku sudah menduga akan mendapatkan hal seperti ini dari para tetangga, jadi tidak begitu terkejut."Mana mamah Mir?" tanya Mahdar sambil mengedarkan pandangan."Ada sedang masak. Sebentar ya A, saya ambilkan minum dulu," ucapku pa
Jaya adalah sosok pemuda yang disukai oleh penduduk desa tempat tinggal Uwa. Selain parasnya yang lumayan tampan dengan sorot mata tajam, alis tebal dan hidung mancung, Jaya juga tidak segan membantu warga sekitar. Bahkan pegawai Jaya mayoritas orang pribumi yang tidak memiliki pekerjaan. Merangkul dan mengarahkan mereka semua untuk mencari rupiah dan menunjang keluarganya. Pesona Jaya mampu membalikkan niatku yang tadinya tidak ingin mengawali suatu hubungan karena luka yang ditorehkan oleh Budi sebelumnya. Namun dia mampu meyakinkan hati bahwa luka yang kurasakan akan terganti dengan bahagia. "Walaupun saya tidak memiliki pengalaman dalam membangun rumah tangga, tapi izinkan saya untuk menjadi kepala rumah tanggamu. Fi
"Kenapa tidak? bukankah yang kedua selalu diutamakan?" jawabku tersenyum penuh arti."Kamu tidak akan aneh-aneh 'kan?" tanya mamah menyelidik."Aneh gimana, Mah? Bukankah Mahdar sendiri yang menginginkan Amira. Kalau Amira yang sengaja menggodanya, baru Amira salah. Ini bahkan Amira tahunya setelah bapak menerima lamaran Mahdar," ucapku santai."Ingat, Amira. Jangan terjerumus karena harta, sumber kebahagiaan bukan hanya harta," petuah mamah.''Lalu apa Mah? Cinta? Bahkan kedua pernikahanku yang berlandaskan cinta juga gagal. Mamah tenang saja, Amira sudah terlatih patah hati," ucapku."Mamah hanya mengingatkan, selebihnya terserah kamu saja. Makan dulu sana, biar anak-anak kalau bangun mamah yang urus saja," titah mamah"Ya, Mah," jawabku sambil beranjak dari kursi menuju dapur.Sambil menyantap makanan, aku berkhayal apa saja yang akan kupinta pada Mahdar. Jujur saja aku tidak ada perasaan padanya. Namun sayang sekali ji
"Punya, namanya Neneng. Itu masalah gampang, saya bisa menghidupi kalian berdua," ucapnya santai."Maksudnya kamu akan menjadikanku istri kedua?" tanyaku kaget."Ya, apa itu masalah?" tanyanya."Jelas. Kamu sudah punya anak dan istri, apalagi yang kamu cari?" tanyaku."Ya pokoknya kamu harus jadi istriku juga, sudah tidak usah banyak tanya, nanti saja rundingkan dengan bapakmu," jawabnya.Bapak hanya terdiam, tidak menyela perbincangan kami.Aku berpikir keras kenapa bapak menerima lamaran Mahdar yang bahkan sudah berkeluarga. Pantas saja akhir-akhir ini Mahdar selalu membantu bapak. Ternyata ada mau
Aku melonjak kegirangan. Untung saja Firman dan Rafik sudah berganti pakaian. Akupun sudah siap dan menenteng dua tas besar tadi. Diikuti langkah kecil kedua anakku."Waalaikumsalam, eh besan mampir kemari," ucap bapak mertuaku."Ya, boleh bertemu Amira?" tanpa basa-basi bapak bertanya."Amira, keluarlah. Ini ada Bapak datang," teriak Jaya."Ya aku sudah siap," ucapku.Semua yang ada di sana heran melihatku sudah rapi dan membawa dua tas besar, serta Firman dan Rafik yang sudah kudandani rapi pula."Mau kemana kamu?" tanya ibu mertua ketus.
"Bicara apa kamu Amira. Sudah simpan uangmu. Ini Jaya pakai uang ibu saja tidak usah diganti. Asal kalian nyaman di rumah ini," ucap ibu menyodorkan uang pada Jaya."Tuh lihat Mir. Ibu sayang kan pada kamu," ucap Jaya berbinar.'Sayang terlihat di depanmu, tapi ganas saat di belakangmu,' batinku."Sudah sana ajak Firman dan Rafik, mereka ada di kamar Dina. Amira, kalau bosan dengan makanan rumah kamu minta uang pada ibu saja untuk jajan. Ibu akan kasih asal kamu tidak minta uang untuk pergi dari rumah ini ya," ucap ibu sambil mendekatiku.Kemudian ibu merangkul pinggangku. Tangannya melingkar dan ternyata tujuannya adalah mencubit dengan keras pinggangku.