Share

Mencari arti rasa jatuh cinta

Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya. 

Entah imajinasi apa yang membuat pikirannya menyamakan gadis operator SPBU dengan gadis yang di teleponnya kemarin. Dia merasa ada keterkaitan atau pikirannya yang memang terlalu melanglang buana. 

Dia teringat kepanikan gadis operator SPBU itu, bibir mungilnya yang terus meminta maaf, rambut panjangnya yang lurus, dan wangi parfum sederhana yang masih menempel diingatannya. Bagaimana mungkin dalam satu waktu Rendi menggilai dua wanita sekaligus. Rendi menyugar rambutnya. Dia tak pernah mengagumi seseorang segila ini. 

Disini Rendi sekarang, terdampar di bentangan kasur yang empuk, sudah lama sekali dia tak menghuni rumah di jam segini. Biasanya, dia sudah keluar dari rumah sejak siang, bahkan terkadang pulang ke rumah hanya berganti pakaian saja. 

Ponselnya sejak tadi berdering, siapa lagi yang sibuk meneleponnya selain Ucok. Dia hanya menatap layar ponselnya sesekali dan mengabaikannya. Dunia gelapnya kini tidak memiliki daya tarik di hatinya. Makian gadis di telepon dan wajah gadis penjual minyak kini bertahtah dengan megah di hati dan pikirannya. 

Perut Rendi yang kini menuntut agar segera diisi, membawa kaki rendi melangkah ke dapur yang hanya sesekali di kunjunginya. Dia mengubrak-abrik lemari tempat penyimpanan makanan, namun nihil,tidak ada satu makanan tersimpan disana. 

"Mak! O, Mak!" Rendi berteriak mencari keberadaan wanita penghuni tetap rumah ini.

Dia mencari ke kamar, ruang keluarga, semua kosong. 

"Kemananya Mamak ini," dia bergumam sendiri. 

Terdengar suara dua manusia bercengkrama di teras belakang rumah. Dia lekas menuju kesana. 

"Disininya rupanya Mamak? dipanggilin dari tadi bukannya nyahut" Rendi mendumel bak anak kecil. Mamanya Rendi, Ibu Fatma merasa terkejut melihat Rendi berada di rumah jam segini. Dia berdiri menghampiri Rendi, lalu menempelkan tangannya di kening Rendi. 

"Nggak panas,"gumam Bu Fatma. 

"Apanya Mamak ini, ah! aku lapar Mak, kenapa gak ada makanan" 

Wanita paruh baya itu tersenyum, sudah lama anaknya ini tidak meminta dia memasakkan sesuatu. Ibu Fatma sadar, Rendi menjadi anak nakal karena didikan yang salah dari dia dan suaminya. Fatma terlalu memanjakannya. Anak satu-satunya dan penantian yang panjang seperti alasan tak terbantahkan untuk menuruti apa saja kemauan Rendi. 

Kini didikannya membuahkan hasil yang sangat miris, Rendi menjadi sangat nakal dan tak jarang terjerat kasus kriminal. Ayahnya selalu membelanya hingga kini. Ayah Rendi takkan segan-segan mengeluarkan uang banyak hanya untuk membebaskan Rendi dari jeratan hukum

Fatma sudah meminta suaminya agar membiarkan Rendi menjalani hukumannya jika salah, biar ada efek jera, begitu niat hatinya. Suaminya, yang akrab di panggil Pak Dame tidak setuju. Anakku cuma satu, aku hidup untuk anakku, selama aku hidup, akan ku perjuangkan. Begitu selalu jawaban suaminya. 

Masalahnya, manusia tidak bisa abadi hidup di dunia ini, sama dengan Bu Fatma dan Pak Dame. Jika waktunya telah tiba, maka mereka akan kembali menghadap Sang Ilahi. Lalu, bagaimana anaknya tanpa mereka?

Bu Fatma hanya bisa mengadu dan meminta belas kasih kepada Sang Maha Pembolak-balik hati, agar menunjukkan jalan yang benar untuk putra semata wayangnya. 

"Mak!" Rendi membuyarkan lamunan Ibunya.

"Oih, anak ini, bikin kaget aja," kata Fatma sambil mengusap dadanya. 

"Lapar loh, Mak! Mamak malah melamun." Bibir Rendi menyerucut, dia memang sangat manja apalagi terhadap Ibunya. 

Bu fatma berjalan menuju dapur, Rendi mengekor seperti anak kecil. 

"Mak! Mamak pernah gak jatuh cinta?" tanya Rendi sembari menjatuhkan bokongnya di kursi.

Bu fatma memutar badan dan menatap anaknya lamat-lamat. 

 "Pernah" jawab Bu fatma sambil tersenyum.

"Gimana rasanya? maksudku, kek mana perasaan Mama?" Rendi bertanya lagi dengan antusias. Dia menggeser kursi tempat dia duduk ke dekat Ibunya. 

Bu Fatma hanya tersenyum melihat tingkah lucu anaknya. 

"Mak! jawablah Mak! Malah senyum-senyum." Rendi nampak tak sabaran menanti jawaban Ibunya. 

Bu Fatma malah menoel hidung mancung anaknya.

"Lagi jatuh cinta rupanya kau?"

"Kan, Mamak ini, ditanya malah balek nanyak." Rendi mencebik. 

Bu Fatma membawa sepiring nasi goreng menuju meja makan, pikirannya kembali menerawang awal mula dia bertemu Pak Dame suaminya. Pak Dame yang persis seperti putranya itu, hanya saja Pak Dame tidak senakal anaknya. 

Dame hanyalah seorang kondektur metro mini di Ibu Kota Jakarta, sedangkan Fatma mahasiswi calon sarjana ekonomi kala itu. 

Berawal dari tas Fatma yang di ambil paksa oleh preman di terminal, dengan sigap Dame menolong Fatma dan berujung pada perkenalan. 

Benih-benih cinta tumbuh tanpa mampu dicegah, Fatma jatuh cinta pada pemuda tampan berwajah tegas itu, cintanya juga tidak mulus berjalan hingga ke pelaminan. Ada Ayah Fatma yang melarang keras hubungan mereka.

 

'Masa anakku calon sarjana ekonomi disandingkan dengan kau yang hanya kondektur metromini, mau di kasih makan apa anakku? Asap mobil?'  itu kata hinaan yang membangkitkan semangat Dame, walaupun tidak sarjana, tapi dia bisa memberi makan Fatma kelak dengan  layak. 

Segala usaha dia lakoni, berjualan pakaian di Tanah Abang, berbisnis buah dari kampungnya Berastagi dan banyak hal yang dilakukan tanpa lelah. Fatma yang jago dalam ilmu ekonomi, membantu Dame hingga usaha mereka berkembang pesat.

Lamaran Dame pun tak mampu di tolak Ayah Fatma, kegigihannya yang membuat tembok kokoh di hati Ayah Fatma runtuh. Dame memboyong Fatma pulang ke kampungnya di Medan, disinilah mereka kembali memulai usaha, bahkan usaha mereka merambah ke pakain bekas impor di Sambu atau yang lebih sering masyarakat Medan menyebutnya Pajak Sambu. 

Usaha Fatma dan Dame berkembang dengan cepat, namun, ada hal yang membuat kebahagiaan mereka tak sempurna, hingga delapan tahun penantian. Segala upaya dilakukan hingga jalan pasrah menjadi pilihan terakhir. Tuhan begitu mencintai kegigihan hati Fatma yang tak lelah mengemis pada Sang Pemberi hidup, akhirnya di usia Fatma yang ke 30 tahun hadirlah Rendi di tengah-tengah mereka. 

Dame berjanji, akan membahagiakan, menjaga titipan Tuhan itu, tapi yang berujung salah didik. Rendi sudah lulus sarjana sejak dua tahun lalu, tapi , dia tetap bergantung pada Ayah dan Ibunya. Tak satu pekerjaan pun yang dia coba. 

Rendi meninggalkan Ibunya yang berkelana dalam lamunan, rasanya dia tidak menemukan jawaban yang sama dengan yang dia rasakan. Dia teringat temannya Ucok, walaupun tidak yakin kalau Ucok bisa memecahkan masalah hatinya. 

Tak lama setelah pesan untuk Ucok terkirim, sahabat nakalnya itu sudah sampai di depan pintu rumah Rendi. Ucok sudah hapal seluk beluk rumah ini, dia nyelonong masuk tanpa permisi dan langsung menuju kamar Rendi. Rendi yang tengah asik membayangkan wajah cantik gadis penjual minyak, terkejut hingga tersentak saat Ucok tiba-tiba duduk disampingnya.

"Ahh,  Bab*nya anak ini, tekejot kali aku." Rendi mengusap dadanya. 

"Apanya kau? Mulai gak jelas anak ini kutengok." Ucok mengeryitkan dahinya bingung. 

"Kaunya datang gak ngucap salam, main nyosor aja," kata Rendi kesal. 

"Omaak! salam, kerasukan jin mana kau pake salam, kejedot pala kau iya, makanya kek kurang waras kutengok kau." Ucok menempelkan tangannya di jidat Rendi sambil menggeleng. 

"Rusak anak ini bah," kata Ucok bergumam. 

"Bapak kau rusak, enak kali ngomong, itu minum, manatau butuh minum kau," Rendi memonyongkan mulutnya, menunjuk ke arah nakas tempat air putih berada. 

"Air putih?" Ucok mengangkat teko bening dan menatap heran ke arah Rendi. Ucok semakin tak mengerti dengan sahabatnya itu. Biasanya sekalipun di larang, Rendi tetap menyembunyikan sebotol atau dua botol minuman keras di kamarnya. Kali ini berbeda, rasanya wajah gadis itu sudah cukup membuatnya mabuk kepayang. 

"Serius kau Boi, kenapanya kau? Kek gak asik kali kutengok kau belakangan ini, kenak marah Bapakmu kau?" Ucok menatap Rendi dengan wajah serius. Masalahnya lebih berbahaya jika Ayah Rendi tidak memihak mereka lagi, bisa-bisa jika terjerat kasus mereka akan membusuk dalam penjara. 

Rendi menghela nafas, dia bingung mau memulai dari mana. Dia juga tak yakin manusia di depannya itu mampu memberi solusi yang waras. Tapi, dia tidak punya sahabat lain. 

"Cok! pernahnya kau jatuh cinta?"

Bruubb! Ucok menyemburkan air yang berada di mulutnya reflek. Dia tak menyangka Rendi lelaki yang tidak punya rasa empaty itu menanyakan cinta. 

Segera Ucok menyeka air yang menempel di bibirnya yang kehitaman. 

"Apa Boi? jatuh cinta? gak salah makan kau 'kan?" Ucok menghampiri Rendi.

"Serius dulu, Cok!" ujar Rendi lagi. 

Ucok mulai menangkap sesuatu yang tidak beres dengan temannya. "Kau suka sama cewek, Boi?" kali ini Ucok duduk menghadap Rendi. Dia ingin memastikan sesuatu hal buruk merusak kejiwaan temannya itu, maksudnya hal yang mengubah Rendi menjadi manusia baik, Itu adalah hal buruk untuk Ucok. 

Rendi hanya mengangguk lemah. 

"Jadi, itu yang buat kau nggak datang nongki sama kita, Boi?" cecar Ucok. 

Rendi hanya diam. Dia tau Ucok kecewa, tapi bagaimana, sebenarnya dia juga ingin menjadi pemuda biasa yang lebih baik untuk orang tuanya. Tapi, dunia miras lebih mengasikkan untuk saat itu, tapi, untuk saat ini, senyuman gadis penjual minyak adalah candu baru untuknya. 

Ucok pergi tanpa permisi, mungkin ada kecewa di hatinya, Rendi mengabaikan mereka karena perempuan. Rendi mengingkari thema persahabatan mereka 'miras yes!, sahabat yes! , perempuan no!'

Itu bagai motto hidup mereka selama ini. 

Jika pun ada perempuan, itu hanya sekedar pelengkap dari minuman mereka.

Rendi tak peduli, yang ada di otaknya kini adalah bagaimana cara berkenalan dengan gadis itu, bagaimana cara memulai menyapanya dan memandang wajah gadis itu lebih dekat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
liza sarah
sukaaaa baca novel ini. tp kayanya gk smpe slesai ya. sayang lho thor.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status