Tuuttt! Tuuttt!
Nada dering yang menyatakan panggilan tersambung.
"Masuk, Cok!" kata Rendi ke teman-temannya dengan senyum sumringah.
"Halo ini sia...," suara korban menjawab.
Rendi tidak membiarkan korbannya berbicara, dengan cepat dia memulai aktingnya, menangis histeris untuk meyakinkan korban.
"Mak... aku kecelakaan"
Suara riuh yang sengaja di buat menjadi background Rendi saat berbicara, agar terdengar meyakinkan.
"Mak ... tolong aku Mak! Mak!"
Korban terdengar gusar di seberang. 'Umpan bertemu ikan komandan' batin Rendi.
Tapi, kali ini Rendi benar-benar tidak menduga jawaban korban."Siapa Mamak kau?" suara di seberang lantang tidak ada suara kepanikan.
Rendi kembali berusaha meyakinkan tanpa menyebutkan nama.
"Aku loh, Mak! aku anak Mamak."Orang diseberang terdengar menghela nafas.
"Kau, kalau mau uang, kerja! bukan ngaku-ngaku jadi anakku trus minta uang, gitu 'kan maksudmu?"
'Sepertinya aktingku kurang meyakinkan' Monolog Rendi.
"Ishh, Mamak masa nggak perduli sama anak sendiri, Mak! tolong aku Mak!" Rendi mengeluarkan semua jurus aktingnya, agar dapat mengelabui korban. Menangis dan terdengar sangat panik adalah jurus jitunya selama ini.
"Diam!" Suara di seberang membentak Rendi.
Pengeras suara yang aktif, membuat teman-teman Rendi mendengar teriakan korbannya. Mereka terkejut bukan main, sepertinya mereka salah korban, suara riuh hasil dari suara yang di timbulkan mereka pun terhenti, hening sekejap."Sejak kapan aku punya anak, Hah? Pacar aja belum punya, kapan pulak anakku mencelat bisa kecelakaan, sinting kurasa kau, mau nipu aku pulak kau, kau jual ginjal kau itu sebelah kalau mau uang, malu kau sama monyet, monyet aja kerja biar makan, kau mau nipu, basi kali caramu"
Telepon diputuskan sepihak oleh calon korban yang gagal. Ya, gagal total. Mana calon korban lebih galak dari mama tiri lagi.
Aggrrh! Rendi mengacak rambutnya kasar, malam ini tidak jadi pesta miras. Mereka salah korban."Sabar, Boi! malam ini kita beli yang murah dulu, yang penting teler," Kata teman Rendi yang biasa disapa Bang Ucok.
Akhirnya tuak jadi tujuan terakhir. Harga murah tapi tetap membuat mabuk.
Mabuk adalah kebahagiaan tersendiri bagi Rendi. Entah sudah berapa banyak minuman beralkohol itu menggenangi tubuhnya.Namun malam ini tak seperti biasanya, Rendi tidak bersemangat, bukan karena korban gagal masuk dalam jeratan, tapi kata-kata perempuan itu berputar-putar diingatan Rendi.
'Malu kau sama monyet, monyet aja kerja biar makan'
Rendi mengacak-acak rambutnya kesal, masa monyet lebih baik dari dirinya?
'Seburuk itu 'kah aku?' batin Rendi bergejolak.Tuak yang teronggok di depannya sudah terlihat tidak nikmat. Ucok yang melihat temannya tak bersemangat menghampiri.
"Ngapa kau Ren, gak pala kau pikirkan kali kegagalan tadi, besok kita gas 'kan lagi," kata Ucok memberi energi positif bak Mario Teguh, tapi, yang disemangati malah pergi.
"Cabut aku, Cok!" Rendi menyampirkan jaketnya di pundak.
"Mau kemana kau? gak asik kali ah!" panggil Ucok.
Rendi melambaikan tangan, menarik gas sepeda motornya, lalu pergi meninggalkan Ucok sendirian.
" Salah makan kurasa anak itu" Ucok bergumam sendirian.
Di lain tempat ada Mouza, gadis bertubuh mungil, bibir tipis dan mata bulat bak bola pimpong, sedang marah-marah tak jelas akibat tidur cantiknya diganggu penelepon tidak tau aturan.
"Enak kali bibir dia manggil Mamak, dia kira aku pernah di kawini Bapaknya?" Mouza mengomel sendiri di kamarnya.
Matanya kini sulit diajak tidur kembali, padahal besok harus masuk shift pagi. Mouza bekerja sebagai operator di sebuah SPBU. Bosnya cukup galak, telat lima menit saja langsung potong gaji.
"Gara-gara penipu sialan itu lah ini ahh," Mouza uring-uringan.
Baru saja rasanya Mouza memejamkan mata, suara alarm sudah memekakkan telinganya. Mouza tersentak dan melirik jam di atas nakas, 05.30.
Mouza berlari menuju kamar mandi, hanya sisa waktu 30 menit, menurut Mouza adalah waktu yang sangat mepet berhubung banyak ritual wajib yang harus di lakukan di kamar mandi, seperti menghayal jadi istri Lee Min Hoo diatas kloset, menyanyi seperti Jessi J di dalam kamar mandi, yang sering berujung teriakan Ibunya dari dapur.
Mouza berlari menuju Motor bebek kesayangannya, yang selalu menemaninya kemana pun pergi, mau di temani pacar, pacarnya masih sibuk syuting di Korea. Itu kehaluan Mouza yang suka lupa haluan.
Benar saja sampai di tempat Kerja, sepeda motor sudah mengantri panjang seperti kereta api. Hari ini jadwal Mouza dan temannya Rini berada di jalur pengisian sepeda motor.
Wajah Rini tampak menahan kesal."Ku kira udah tewas kau," Rini bicara ketus.
Mouza mendelik ke arah temannya.
"Biasa ajalah woi! baru telat 5 menit"Rini memutar bola mata malas. Mouza bilang 5 menit, ini sudah setengah tujuh. Pergantian shift tengah malam ke shift pagi pukul 06.00. Mouza telat 30 menit, tentu akan membayar denda besar hari ini.
Suara klekson kendaraan riuh terdengar, jam pagi adalah jam paling sibuk, sudah jadi kebiasaan penduduk setempat berangkat bekerja atau sekolah dan mampir dulu mengisi bahan bakar. Bukan pemandangan baru jika kendaraan roda dua itu berbaris panjang, terkadang operator yang bertugas mengisi minyak ingin menangis karena pegal berdiri tanpa istirahat.
3S yang di terapkan SPBU kala itu, tidak berlaku pada jalur sepeda motor.
Jika harus melakukan Senyum, Sapa, Salam maka yang antrian belakang pasti sampai di tempat kerja atau sekolah sudah menjelang waktu pulang."Goceng!" pelanggan terakhir hari itu. Seorang lelaki berperawakan tinggi, putih, matanya sayu dan berpenampilan khas anak muda berandalan.
Mouza mengisi tanki motor lelaki itu, entah karena lelah atau sepeda motor yang lebih tinggi, nozel pengisian minyak tersendat, hingga bensin yang akan diisi menyembur keluar membasahi wajah Mouza dan lelaki itu. Mouza terkejut bukan main.
Berulang kali Mouza meminta maaf, namun lelaki cungkring itu diam saja dan berlalu.
Rini yang melihat kejadian tadi menghampiri Mouza."Aduh, Za! kau dalam masalah besar," kata Rini sambil membereskan laci tempat uang untuk disetor ke kasir.
"Maksudmu?" Mouza malah balik bertanya.
"Yang pertama, kau telat 30 menit, kau akan bertemu dengan Pak tarigan, selain diceramahi kau juga akan dapat surat cinta alias total potongan gaji""Trus?" Mouza tidak sabar menanti pernyataan kedua Rini.
"Yang kedua, ini lebih besar, kau menyiram wajah preman Tanjung Anom" Jelas Rini sambil bergedik ngeri.
"Preman? lelaki cungkring tadi? alah, ditiup angin terbang itu, badan selidi, sok jadi preman,"jawab Mouza sepele.
Rini menggelengkan kepalanya. Dia tak habis pikir kenapa temannya tidak mengenali preman yang di takuti satu kampung itu. Bahkan, kawasan kekuasan Rendi dan teman-temannya sampai ke Pajak Melati. "Terserah kau ajalah, Za! tapi hati-hati sama dia, udah berkali-kali berulah tapi tetap bisa bebas, katanya uang Bapaknya banyak, nggak ada orang yang berani cari masalah dengan dia," jelas Rini.Mouza berlalu meninggalkan Rini, tak menghiraukan perkataannya dan berjalan cepat agar Segera menghadap Pak Tarigan. Ya! dia akan menerima ceramah dan kertas daftar potongan gaji yang akan di potong bulan depan seperti kata Rini tadi.
Ternyata Pak tarigan melihat kejadian tadi dari CCTV, dia pun membahasnya, bukan hanya kesalahan menumpahkan minyak dan pelayanan yang tidak baik. Tapi, Pak Tarigan lebih mengkhawatirkan keselamatan Mouza. Pak Tarigan sampai rela mengkawal Mouza sampai ke gang rumahnya.
***
Rendi yang tak sudah-sudahnya mengumpati gadis Si Pengisi bensin itu.
"Sial!" maki Rendi sambil memukul tanki motor miliknya."Untung cantik, kalo gak udah kubanting tu perempuan" Rendi masih mengomel sendiri.
Ucok yang sedari tadi memperhatikan Rendi terkikik melihat ulah temannya.
"Kita kerjai cewek itu, cocok kam rasa?" usul Ucok.
Rendi teringat suara perempuan tadi malam yang membandingkannya dengan seekor monyet. Ada rasa aneh menghantam hatinya. Rasanya jiwa bruntal Rendi sirna, dia membayangkan wajah gadis tadi yang bicara dengannya tadi malam.
"Cantik," gumam Pelan.
"Kanapanya kau? Ahh, gak jelas kali anak ini jang, woii!" Ucok melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Rendi.
Rendi tak merespon, dia malah senyum-senyum sendiri."Senget kurasa anak ini,udahlah mati kau situ, nggak asik kali." Ucok meninggalkan Rendi yang sibuk mengkhayal.
Ditatapnya layar ponsel yang menghubungi gadis semalam, nomor itu masih tertera di sana. Rendi menyalin nomor itu ke ponselnya satu lagi.
Dia berniat menghubungi gadis itu kembali, kali ini bukan untuk meminta sejumlah uang, tapi, memenuhi sebuah gejolak yang sulit dia gambarkan. "Tapi, bagaimana caraku menghubunginya?apa yang akan kukatakan padanya? "Lelaki itu terduduk lemah menyadari segalanya menyerangnya dari setiap sudut. Mouza yang menyadari lelaki yang menjadi kekasihnya itu kini tengah diambang kehancuran. Tidak mengejutkan jika lelaki itu memiliki musuh dari berbagai sisi. Masa kelam Rendi memang telah membekas dan berubah menjadi boomerang yang siap menghancurkan hidupnya. Tak ada kata terlambat untuk berbuat baik, tetapi segala jejak akan tetap membekas hingga kapanpun. Tak banyak orang yang siap dengan perubahanmu, bagi sebagian kau akan tetap buruk seperti masa lalumu. Tak perduli seberapa keras kau berusaha untuk menjadi orang baik. Usaha yang dirintis Ayah Rendi benar-benar hancur ditangan orang-orang kepercayaan ayahnya sendiri, bahkan ayah Rendi harus berulang kali mendapat perawatan intensif karena drop mendapat kabar buruk itu. Sia-sia segala pengorbanannya. Rendi memutuskan pergi dari kota itu, berharap nasib baik menghampirinya. Namun nyatanya dimana pun dia berada dosanya tetap menghantui dirinya. Bertahu
Mouza berjingkat-jingkat meraih lobang ventilasi yang berada di atas pintu. Namun, karena tinggi badan Mouza yang cukup mini, hanya satu meter lima puluh lebih beberapa sentimeter saja. Usahanya sia-sia.Sebagai pekerja baru, meski diberi wewenang oleh Rendi untuk mengawasi gerak-gerik Sri, Mouza tak boleh sembrono. Dia juga harus tetap bermain cantik supaya mangsa masuk ke dalam perangkap lebih mudah.Di sudut ruangan toko, terdapat kursi bulat tempat meletakkan manekin atau patung yang dikenakan longdress agar tidak terjuntai ke lantai dan berdebu.Mouza benar-benar menaruh rasa curiga yang besar terhadap Sri.Dia angkat kursi tersebut lalu berencana berdiri di atasnya, tapi, sebelum benar-benar berhas
Pagi ini Rendi memutuskan terjun ke dunia yang telah digeluti Ayahnya sejak 30 tahun silam. Tempat ini adalah tempat yang membawa kehidupan dan martabat Pak Dame melesat tinggi, dari seorang kondektur menjadi seorang yang berkecukupan, bahkan memiliki kelas yang cukup bergengsi di kalangannya, terutama di tempat mereka tinggal. Ini kali pertama ia menginjakkan kaki di tempat ini untuk menggantikan Ayahnya, sebelumnya Rendi juga pernah bahkan sering berkunjung tapi bukan untuk membantu atau sekedar mempelajari kegiatan Ayahnya, tetapi hanya untuk meminta uang. Dari depan tampak tempat ini adalah toko pakaian, di atas pintu ruko terdapat spanduk label dari toko 'Dafa Collection' begitu tulisan besar itu terpampang besar. Toko ini juga merangkap sebagai kantor utama setelah ruang kerja yang ada di rumah kediaman mereka.&
Mouza gegas menghampiri Rendi ke rumah, dia takut Rendi dalam masalah. Kebetulan hari ini Mona sedang berada di sekolah, jadi tidak bisa menemani Mouza. Dengan sedikit negosiasi dengan ibunya, akhirnya Mouza bisa melangkah ke rumah Rendi. "Kau ngapain nyuruh aku kemari?" Pertanyaan Mouza membuat Rendi mulai bingung mau jawab dari mana. Tentu saja dia malu mengakui ketololannya di depan gadis pujaannya itu. Melihat Rendi bengong, Mouza nyelonong masuk ke dalam rumah dan membiarkan Rendi mematung sendiri di tempat itu. "Ya, ampun, beserak kali ini, Ren!" teriak Mouza kencang. Suara melengking Mouza berhasil mengembalikan nyaw
Aaggrrhh!" lolongan suara Pak Dame. HPnya terjatuh dari tangannya, sedang sebelah lagi memegangi dadanya yang terasa sesak.Bu Fatma berlari menghampiri suaminya yang terjatuh dari tempat duduknya. Dengan panik Bu Fatma meraih tubuh lelaki yang sudah tampak memucat."Kau kenapa, Bang?"Nafas Pak Dame nampak tersengal, menahan sakit di area dada sebelah kanannya. Entah apa yang sudah terjadi pada Pak Dame, Bu Fatma belum tahu, dia hanya ingin membawa Pak Dame selekasnya ke rumah sakit."Tolong! siapa saja tolong aku!" jerit Bu Fatma setengah terisak.Rumah kediaman Bu Fatma yang tertutup rapat oleh pagar tinggi, menyulitkan orang di s
Mona pun akhirnya kesal, dia memutuskan mengangkat telepon tersebut.[halo!]Suara yang sangat familiar di telinga Mona.[Bang Ganteng?]Jawab Mona Reflek.[hehe, iya ini aku]Mouza yang sejak tadi menjauh mendadak mendekat, saat Mona menyebut nama Abang Ganteng. Panggilan itu Mona sematkan hanya untuk Rendi."Rendi?" tanya Mouza, antusias. Mona mengangguk seraya memberikan telepon genggam itu ke tangan Mouza. Dengan tangan gemetar Mouza meraih benda pipih miliknya itu.
Rendi mengabaikan masalah tentang orang tuanya dulu. Urusan perut kini yang paling pertama dipenuhi agar otaknya kembali bekerja dengan baik. Dia mengobrak-abrik lemari di dapur, tampaknya tak satupun bahan makanan tersisa di sana. Benar-benar orang tuanya sudah pergi dari rumah mungkin sejak seminggu. Dari penampakan rumah yang berdebu, bisa diperkirakan begitu.Kini dia beralih ke kulkas, disana terdapat beberapa potong roti tawar dan selai coklat yang hampir tandas. Perut yang sudah tak sabar untuk diisi membuat Rendi mengabaikan tentang rasanya. Sejenak setelah selesai bersantap ria sendirian, Rendi tersadar akan kesendiriannya. 'begini jika aku akhirnya ditinggal Mama sama Ayah sendiri' batin Rendi.Kembali dilanjutkannya misi pencarian orang tuanya. Dia menuju bagasi mobil, siapa tau dia menemukan petunjuk disana. Tak lama supi
Tak sia-sia usaha Rendi mengundang orang lain ke ruangan ini. Berbekal menahan sedikit lebih lama nafasnya untuk mengelabui dua wanita bodoh itu, dan si Ucok yang tidak lulus SD, akhirnya mereka mengajak kenalan mereka yang mengerti tentang perurat nadian.Saat lelaki yang mereka panggil Anto itu masuk, Rendi membiarkan dia memeriksa semua bagian tubuhnya.Nampak segala memar dan beberapa sayatan cambukan di tubuh Rendi. Anto merupakan salah satu mantri yang bertugas di puskesmas dekat dengan rumah Rendi itu, terkejut dan menatap ke tiga manusia yang berdiri kaku di belakangnya."Dia kami temukan pingsan, jadi kami bawa kemari." Tanpa ditanya, Ucok menjelaskan sendiri. Hal itu mengundang curiga di hati mantri itu.Dengan gerakan tiba-tiba, Rendi menggenggam erat tangan Anto, lelaki yang masih mengenakan seragam putih itu menatap Rendi dengan bingung. Wajah Rendi terlihat memelas meminta pertolongan Anto. Anto ragu-ragu menafsirkan sorot mata Ren
Rendi tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana bisa Miska mengenal Ucok? 'Tunggu, tunggu ... Miska bukannya terlihat sedang hamil saat mencari keberadaan Mouza? lalu, kenapa sekarang tampak sangat langsing?'Rendi merasa otaknya sudah kacau. Di belakangnya ada Wiwik si gadis genit. Mereka melambai-lambai ke arah Rendi, tersenyum binal dan menggoda Rendi dengan erotis."Hai, Abang ganteng, apa kabar?" ucap Wiwik sambil mencubit genit dagu Rendi.Rendi memalingkan wajahnya, menghindari sentuhan liar dari Wiwik."Kok malu-malu kau, Bang? bukannya biasanya kau langsung nerkam? hahaha!" Wiwik tampak seperti iblis betina yang sedang menggoda.Rendi beralih menatap wanita yang sama persis dengan wajah milik Miska."Kau?" tanya Rendi, ragu."Hahaha! tampaknya otak kau masih berfungsi dengan baik, yah! aku Miska."Seringainya bagaikan singa kelaparan."Tapi ...."