Home / Rumah Tangga / Premanku Canduku / 5) Lapangan Mukhsin

Share

5) Lapangan Mukhsin

Author: NDRA IRAWAN
last update Last Updated: 2021-11-04 09:49:50

Setelah melewati jembatan yang melintasi sungai besar pembelah desa, Firda mulai sedikit menurunkan kecepatan laju motornya. Beberapa puluh meter kemudian, dia pun menghentikan motornya, lalu memarkirkannya di pinggir jalan yang bersebelahan dengan lapangan desa.

Lapangan sepak bola itu selalu ramai karena menjadi salah satu sarana rekreasi dan olah raga hampir seluruh warga desa. Tak jarang remaja-remaja dari desa sebelah pun main ke sana. Lapangan sepak bola yang menjadi kebanggaan semua warga itu, merupakan hibah dari Pak Kades.

Kedermawanan Pak Kades telah membuat dirinya kembali menjabat kepala desa untuk ketiga kalinya. Andai jabatan kepala desa tidak dibatasi undang-undang, mungkin beliau akan jadi orang nomor satu di desanya seumur hidup.

Semua warga sangat mencintai Pak Mukhsin, sebagai pribadi juga sebagai kepala desa. Semua orang memprediksi akan sulit menemukan penggantinya kelak, kecuali Yulia, anak kedua Pak Kades. Namun sayang, sejak dulu Yulia sudah menolaknya karena dia memang tidak berminat jadi aparat. Yulia terlanjur nyaman menjadi pengusaha dan pebisnis.

Sore itu pun lapangan yang mereka sebut Lapangan Mukhsin sedang ramai oleh muda-mudi kampung. Sebagian ada yang berlatih sepak bola, lari-lari di pinggir lapangan dan sekitarnya dan aktifitas olah raga kecil lainnya. Walau terkadang tidak semua memakai pakaian olah raga.

Sebagian yang lainnya terlihat hanya kumpul-kumpul sambil duduk-duduk santai di pinggir lapang bercengkerama dengan kelompoknya. Ada juga beberapa pasang muda-muda yang memisahkan diri duduk dan berdiri berduaan. 

Tidak bisa dipungkiri Lapangan Mukhsin sering dijadikan sarana mencari jodoh atau sekedar PDKT antar sesama remaja kampung. Tidak sedikit yang berawal dari kenalan di tempat ini, berakhir di pelaminan. Firda dan Arman pun memulai segala ceritanya dari insiden yang terjadi di lapangan ini.

Tidak hanya itu, segala kegiatan desa yang melibatkan massa banyak pun selalu diadakan di lapangan ini. Tak jarang juga menjadi tempat kampanye caleg tingkat kabupaten maupun provinsi yang mengerahkan warga dari beberapa kecamatan terdekat.

Sang kepala desa pun sudah melengkapi sarana lapangan, termasuk panggung, toilet dan sarana lainnya yang dibangun secara permanen. Walaupun tidak semegah stadion olah raga di kota kecamatan.  Jika di kota kabupaten ada alun-alun, di Desa Mekar Wangi ada Lapangan Muksin yang menjadi alun-alun.

Firda melepas helmnya karena merasa gerah. Lebih dari tiga kilo meter dia memacu kencang motornya, namun anehnya justru dia merasa waktu dan jarak tempuh yang dihasilkannya tak jauh berbeda dengan biasanya, saat membawa motor dengan kecepatan biasa. Hanya sore ini dia merasa sangat gerah, mungkin karena mentari masih bersinar terang.

“Assalamualaikum.” Sebuah suara yang datangnya dari samping kanan tiba-tiba membuat Firda sedikit terhenyak. Pikiran Firda yang sedang sedikit traveling pada peristiwa tadi di halaman kantor desa, mendaadak buyar seiring dengan menolehkan wajah dia ke arah sumber suara.

“Waalaikumsalam,” balas Firda seraya menatap seorang lelaki yang berdiri di samping motornya. Lelaki muda itu mengenakan celana kolor dan jersey warna dominan biru sebuah club sepak bola kebanggaan masyarakat Jawa Barat.

“Maaf ini Ibu Firda bukan?” tanya lelaki muda itu seraya menatap Firda ragu-ragu.

“Be…be..betul, ma…maaf ini siapa ya?” balas Firda dengan suaranya yang masih sedikit gelagapan dan bergetar, rasa terkejutnya belum sepenuhnya sirna.

Lelaki berusia kurang lebih dua puluh tahun itu tersenyum. Mata Firda pun makin intens menatap wajahnya, seketika itu juga isi kepala Firda berputar mengingat-ingat wajah yang tersenyum manis itu. Dia merasa sangat mengenal wajah itu namun lupa kapan dan dimana.

“Ibu masih ingat dengan saya?” Suara dan senyum anak muda yang berlesung pipi itu pun seketika membawa Firda pada ingatannya beberapa waktu yang lalu.

“I…i..ini Hendy bukan?” Firda bertanya dengan suara yang sedikit menyentak namun masih dalam keragu-raguan.

“Alhamdulillah, Ibu ternyata masih mengenali saya. Betul, saya Hendy yang dulu PKL di Kantor Desa Mekar W*....”

“Masya Allah, Hendy!” seru Firda, memotong ucapan anak muda yang bernama Hendy itu.

Firda lalu gegas turun dari motornya. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Hendy pun langsung menyambut tangan Firda seraya membungkukkan badan dan mencium punggung telapak tangan Firda dengan penuh rasa hormat.

“Gimana kabarnya, Bu? Keliatannya makin sehat dan cantik aja nih Ibu, heheheh.” Hendy yang sememangnya senang bercanda itu bertanya mencairkan suasana yang dia rasakan wanita cantik di depannya masih terkejut dan tegang.

“Alhamdulillah Hen, kamu sendiri gimana?” Firda menjawab setelah sedikit menenangkan hatinya yang deg-degan karena benar-benar kaget. Di saat pikirannya masih berpikir tentang Arman, tak menduga bertemu dengan salah seorang teman dekat Arman.

“Alhamdulillah, sehat Bu.” Hendy menjawab kalem.

“Oh Iya Hendy sekarang kerja atau kuliah?” Firda kembali bertanya basa-basi.

“Alhamdulillah sudah kerja, Bu. Walau hanya penjaga toko pakaian. Lebih tepatnya di toko pakaian milik orang tuanya Arman.”

“Oh syukurlah Hen, kerja dimana saja yang penting halal.”

“Iya, Bu. Oh iya maaf, Ibu sudah tahu kalau Arman….” Hendy tidak melanjutkan ucapannya, dengan maksud agar wanita di depannya tidak terlalu kaget jika belum tahu tentang berita yang akan disampaikannya. 

“Udah, Hen.” Firda langsung paham dengan maksud ucapan Hendy yang menggantung itu. “Sebelum pulang tadi, ibu dapat kabar dari Pak Hasan, hansip desa itu. Ibu bener-benar tak menduga,…” Suara Firda mendaadak tercekat.

“Iya Bu, kami semua sebenarnya sangat tidak menduga. Bahkan saya masih tidak percaya kalau Arman sudah pergi meninggalkan kita. Tiga hari sebelumnya dia masih main bola di lapangan ini dengan saya.” Hendy menjelaskan lagi.

“Oh ya?” Firda melongo.

“Beneran Bu. Dia juga ngeliat Ibu, pas pulang kerja. Tapi mau nyamperin katanya takut dimarahi hehehe.” Hendy berusaha terkekeh namun sangat hambar seraya menatap Firda yang masih melogo.

“Ibu kenapa?” tanya Hendy menyadarkan Firda dari melongonya.

“Eh gak papa Hen. Jujur saja ibu juga masih belum percaya kalau Arman secepat itu meninggalkan kita. Namun sangat disesalkan…” Firda nyaris saja keceplosan menyampaikan gosip yang dia dengan dari Pak Hasan, tadi.

“Jadi, Ibu sudah denger gosip itu?”

“Biasalah Hen. Tapi jujur saja ibu tidak percaya. Umur seseorang kan rahasia Allah. Dia yang sepenuhnya menentukan ajal semua makhluk yang hidup. Gak kenal tua atau muda, bahkan janin yang masih dalam kandungan pun banyak yang sudah tidak bernyawa saat terlahir ke dunia.”

“Iya syukur kalau Ibu tidak terpengaruh dengan gosip-gosip menyesatkan itu.” Hendy menarik napas lega.

“Insya Allah Hen, ibu masih waras. Ibu kan kenal juga dengan orang tua Arman, walau tidak terlalu akrab.“ Firda berusaha meyakinkan Hendy yang terlihat sangat cemas dan prihatin dengan gosip murahan itu, sama seperti dirinya.

“Sebenarnya banyak yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Termasuk beberapa pesan dari almarhum yang disampaikan beberapa hari sebelum dia pergi untuk selamanya.” Hendy bicara dengan intonasi yang sangat lirih, namun kedua matanya tajam menatap wajah Firda yang mendaadak kembali tegang.

“Pesan dari Arman buat saya, maksudmu?” tanya Firda dengan suara setengah berbisik, jantungnya mendaadak dag-dig-dug dan berdebar-debar tak karuan.

“Iya, pesan rahasia buat Ibu….” Hendy kembali menggantung kalimatnya sambil terdiam.

Sepertinya Hendy masih menyimpan keraguan dalam hatinya untuk menyampaikan pesan rahasia yang tentu saja tidak boleh diketahui oleh sembarangan orang. Padahal di sana hanya mereka berdua. Di lain sisi, jantung Firda semakin berdebar-debar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Lisna Efsilawati
nama tokohnya ngambil semua dr karya kang ndra yg sebelumnya d aplikasi sebelah ...
goodnovel comment avatar
Ar_key
Sandi lagi modus, Lo bego apa pura" sih Yudis?? .........
goodnovel comment avatar
Aisy Me
Yudis kenapa kau tidak melihatnya?
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Premanku Canduku   35) Premanku

    Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa

  • Premanku Canduku   34) Pesona Firda

    Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan

  • Premanku Canduku   33) Boncengan Gaib

    “Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja

  • Premanku Canduku   32) Siapakah Bunda Eni?

    “Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb

  • Premanku Canduku   31) Sabar Menanti Respon

    Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima

  • Premanku Canduku   Pemburu Brondong

    Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status