Share

5) Lapangan Mukhsin

Setelah melewati jembatan yang melintasi sungai besar pembelah desa, Firda mulai sedikit menurunkan kecepatan laju motornya. Beberapa puluh meter kemudian, dia pun menghentikan motornya, lalu memarkirkannya di pinggir jalan yang bersebelahan dengan lapangan desa.

Lapangan sepak bola itu selalu ramai karena menjadi salah satu sarana rekreasi dan olah raga hampir seluruh warga desa. Tak jarang remaja-remaja dari desa sebelah pun main ke sana. Lapangan sepak bola yang menjadi kebanggaan semua warga itu, merupakan hibah dari Pak Kades.

Kedermawanan Pak Kades telah membuat dirinya kembali menjabat kepala desa untuk ketiga kalinya. Andai jabatan kepala desa tidak dibatasi undang-undang, mungkin beliau akan jadi orang nomor satu di desanya seumur hidup.

Semua warga sangat mencintai Pak Mukhsin, sebagai pribadi juga sebagai kepala desa. Semua orang memprediksi akan sulit menemukan penggantinya kelak, kecuali Yulia, anak kedua Pak Kades. Namun sayang, sejak dulu Yulia sudah menolaknya karena dia memang tidak berminat jadi aparat. Yulia terlanjur nyaman menjadi pengusaha dan pebisnis.

Sore itu pun lapangan yang mereka sebut Lapangan Mukhsin sedang ramai oleh muda-mudi kampung. Sebagian ada yang berlatih sepak bola, lari-lari di pinggir lapangan dan sekitarnya dan aktifitas olah raga kecil lainnya. Walau terkadang tidak semua memakai pakaian olah raga.

Sebagian yang lainnya terlihat hanya kumpul-kumpul sambil duduk-duduk santai di pinggir lapang bercengkerama dengan kelompoknya. Ada juga beberapa pasang muda-muda yang memisahkan diri duduk dan berdiri berduaan. 

Tidak bisa dipungkiri Lapangan Mukhsin sering dijadikan sarana mencari jodoh atau sekedar PDKT antar sesama remaja kampung. Tidak sedikit yang berawal dari kenalan di tempat ini, berakhir di pelaminan. Firda dan Arman pun memulai segala ceritanya dari insiden yang terjadi di lapangan ini.

Tidak hanya itu, segala kegiatan desa yang melibatkan massa banyak pun selalu diadakan di lapangan ini. Tak jarang juga menjadi tempat kampanye caleg tingkat kabupaten maupun provinsi yang mengerahkan warga dari beberapa kecamatan terdekat.

Sang kepala desa pun sudah melengkapi sarana lapangan, termasuk panggung, toilet dan sarana lainnya yang dibangun secara permanen. Walaupun tidak semegah stadion olah raga di kota kecamatan.  Jika di kota kabupaten ada alun-alun, di Desa Mekar Wangi ada Lapangan Muksin yang menjadi alun-alun.

Firda melepas helmnya karena merasa gerah. Lebih dari tiga kilo meter dia memacu kencang motornya, namun anehnya justru dia merasa waktu dan jarak tempuh yang dihasilkannya tak jauh berbeda dengan biasanya, saat membawa motor dengan kecepatan biasa. Hanya sore ini dia merasa sangat gerah, mungkin karena mentari masih bersinar terang.

“Assalamualaikum.” Sebuah suara yang datangnya dari samping kanan tiba-tiba membuat Firda sedikit terhenyak. Pikiran Firda yang sedang sedikit traveling pada peristiwa tadi di halaman kantor desa, mendaadak buyar seiring dengan menolehkan wajah dia ke arah sumber suara.

“Waalaikumsalam,” balas Firda seraya menatap seorang lelaki yang berdiri di samping motornya. Lelaki muda itu mengenakan celana kolor dan jersey warna dominan biru sebuah club sepak bola kebanggaan masyarakat Jawa Barat.

“Maaf ini Ibu Firda bukan?” tanya lelaki muda itu seraya menatap Firda ragu-ragu.

“Be…be..betul, ma…maaf ini siapa ya?” balas Firda dengan suaranya yang masih sedikit gelagapan dan bergetar, rasa terkejutnya belum sepenuhnya sirna.

Lelaki berusia kurang lebih dua puluh tahun itu tersenyum. Mata Firda pun makin intens menatap wajahnya, seketika itu juga isi kepala Firda berputar mengingat-ingat wajah yang tersenyum manis itu. Dia merasa sangat mengenal wajah itu namun lupa kapan dan dimana.

“Ibu masih ingat dengan saya?” Suara dan senyum anak muda yang berlesung pipi itu pun seketika membawa Firda pada ingatannya beberapa waktu yang lalu.

“I…i..ini Hendy bukan?” Firda bertanya dengan suara yang sedikit menyentak namun masih dalam keragu-raguan.

“Alhamdulillah, Ibu ternyata masih mengenali saya. Betul, saya Hendy yang dulu PKL di Kantor Desa Mekar W*....”

“Masya Allah, Hendy!” seru Firda, memotong ucapan anak muda yang bernama Hendy itu.

Firda lalu gegas turun dari motornya. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Hendy pun langsung menyambut tangan Firda seraya membungkukkan badan dan mencium punggung telapak tangan Firda dengan penuh rasa hormat.

“Gimana kabarnya, Bu? Keliatannya makin sehat dan cantik aja nih Ibu, heheheh.” Hendy yang sememangnya senang bercanda itu bertanya mencairkan suasana yang dia rasakan wanita cantik di depannya masih terkejut dan tegang.

“Alhamdulillah Hen, kamu sendiri gimana?” Firda menjawab setelah sedikit menenangkan hatinya yang deg-degan karena benar-benar kaget. Di saat pikirannya masih berpikir tentang Arman, tak menduga bertemu dengan salah seorang teman dekat Arman.

“Alhamdulillah, sehat Bu.” Hendy menjawab kalem.

“Oh Iya Hendy sekarang kerja atau kuliah?” Firda kembali bertanya basa-basi.

“Alhamdulillah sudah kerja, Bu. Walau hanya penjaga toko pakaian. Lebih tepatnya di toko pakaian milik orang tuanya Arman.”

“Oh syukurlah Hen, kerja dimana saja yang penting halal.”

“Iya, Bu. Oh iya maaf, Ibu sudah tahu kalau Arman….” Hendy tidak melanjutkan ucapannya, dengan maksud agar wanita di depannya tidak terlalu kaget jika belum tahu tentang berita yang akan disampaikannya. 

“Udah, Hen.” Firda langsung paham dengan maksud ucapan Hendy yang menggantung itu. “Sebelum pulang tadi, ibu dapat kabar dari Pak Hasan, hansip desa itu. Ibu bener-benar tak menduga,…” Suara Firda mendaadak tercekat.

“Iya Bu, kami semua sebenarnya sangat tidak menduga. Bahkan saya masih tidak percaya kalau Arman sudah pergi meninggalkan kita. Tiga hari sebelumnya dia masih main bola di lapangan ini dengan saya.” Hendy menjelaskan lagi.

“Oh ya?” Firda melongo.

“Beneran Bu. Dia juga ngeliat Ibu, pas pulang kerja. Tapi mau nyamperin katanya takut dimarahi hehehe.” Hendy berusaha terkekeh namun sangat hambar seraya menatap Firda yang masih melogo.

“Ibu kenapa?” tanya Hendy menyadarkan Firda dari melongonya.

“Eh gak papa Hen. Jujur saja ibu juga masih belum percaya kalau Arman secepat itu meninggalkan kita. Namun sangat disesalkan…” Firda nyaris saja keceplosan menyampaikan gosip yang dia dengan dari Pak Hasan, tadi.

“Jadi, Ibu sudah denger gosip itu?”

“Biasalah Hen. Tapi jujur saja ibu tidak percaya. Umur seseorang kan rahasia Allah. Dia yang sepenuhnya menentukan ajal semua makhluk yang hidup. Gak kenal tua atau muda, bahkan janin yang masih dalam kandungan pun banyak yang sudah tidak bernyawa saat terlahir ke dunia.”

“Iya syukur kalau Ibu tidak terpengaruh dengan gosip-gosip menyesatkan itu.” Hendy menarik napas lega.

“Insya Allah Hen, ibu masih waras. Ibu kan kenal juga dengan orang tua Arman, walau tidak terlalu akrab.“ Firda berusaha meyakinkan Hendy yang terlihat sangat cemas dan prihatin dengan gosip murahan itu, sama seperti dirinya.

“Sebenarnya banyak yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Termasuk beberapa pesan dari almarhum yang disampaikan beberapa hari sebelum dia pergi untuk selamanya.” Hendy bicara dengan intonasi yang sangat lirih, namun kedua matanya tajam menatap wajah Firda yang mendaadak kembali tegang.

“Pesan dari Arman buat saya, maksudmu?” tanya Firda dengan suara setengah berbisik, jantungnya mendaadak dag-dig-dug dan berdebar-debar tak karuan.

“Iya, pesan rahasia buat Ibu….” Hendy kembali menggantung kalimatnya sambil terdiam.

Sepertinya Hendy masih menyimpan keraguan dalam hatinya untuk menyampaikan pesan rahasia yang tentu saja tidak boleh diketahui oleh sembarangan orang. Padahal di sana hanya mereka berdua. Di lain sisi, jantung Firda semakin berdebar-debar.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Lisna Efsilawati
nama tokohnya ngambil semua dr karya kang ndra yg sebelumnya d aplikasi sebelah ...
goodnovel comment avatar
Ar_key
Sandi lagi modus, Lo bego apa pura" sih Yudis?? .........
goodnovel comment avatar
Aisy Me
Yudis kenapa kau tidak melihatnya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status