Setelah melewati jembatan yang melintasi sungai besar pembelah desa, Firda mulai sedikit menurunkan kecepatan laju motornya. Beberapa puluh meter kemudian, dia pun menghentikan motornya, lalu memarkirkannya di pinggir jalan yang bersebelahan dengan lapangan desa.
Lapangan sepak bola itu selalu ramai karena menjadi salah satu sarana rekreasi dan olah raga hampir seluruh warga desa. Tak jarang remaja-remaja dari desa sebelah pun main ke sana. Lapangan sepak bola yang menjadi kebanggaan semua warga itu, merupakan hibah dari Pak Kades.
Kedermawanan Pak Kades telah membuat dirinya kembali menjabat kepala desa untuk ketiga kalinya. Andai jabatan kepala desa tidak dibatasi undang-undang, mungkin beliau akan jadi orang nomor satu di desanya seumur hidup.
Semua warga sangat mencintai Pak Mukhsin, sebagai pribadi juga sebagai kepala desa. Semua orang memprediksi akan sulit menemukan penggantinya kelak, kecuali Yulia, anak kedua Pak Kades. Namun sayang, sejak dulu Yulia sudah menolaknya karena dia memang tidak berminat jadi aparat. Yulia terlanjur nyaman menjadi pengusaha dan pebisnis.
Sore itu pun lapangan yang mereka sebut Lapangan Mukhsin sedang ramai oleh muda-mudi kampung. Sebagian ada yang berlatih sepak bola, lari-lari di pinggir lapangan dan sekitarnya dan aktifitas olah raga kecil lainnya. Walau terkadang tidak semua memakai pakaian olah raga.
Sebagian yang lainnya terlihat hanya kumpul-kumpul sambil duduk-duduk santai di pinggir lapang bercengkerama dengan kelompoknya. Ada juga beberapa pasang muda-muda yang memisahkan diri duduk dan berdiri berduaan.
Tidak bisa dipungkiri Lapangan Mukhsin sering dijadikan sarana mencari jodoh atau sekedar PDKT antar sesama remaja kampung. Tidak sedikit yang berawal dari kenalan di tempat ini, berakhir di pelaminan. Firda dan Arman pun memulai segala ceritanya dari insiden yang terjadi di lapangan ini.
Tidak hanya itu, segala kegiatan desa yang melibatkan massa banyak pun selalu diadakan di lapangan ini. Tak jarang juga menjadi tempat kampanye caleg tingkat kabupaten maupun provinsi yang mengerahkan warga dari beberapa kecamatan terdekat.
Sang kepala desa pun sudah melengkapi sarana lapangan, termasuk panggung, toilet dan sarana lainnya yang dibangun secara permanen. Walaupun tidak semegah stadion olah raga di kota kecamatan. Jika di kota kabupaten ada alun-alun, di Desa Mekar Wangi ada Lapangan Muksin yang menjadi alun-alun.
Firda melepas helmnya karena merasa gerah. Lebih dari tiga kilo meter dia memacu kencang motornya, namun anehnya justru dia merasa waktu dan jarak tempuh yang dihasilkannya tak jauh berbeda dengan biasanya, saat membawa motor dengan kecepatan biasa. Hanya sore ini dia merasa sangat gerah, mungkin karena mentari masih bersinar terang.
“Assalamualaikum.” Sebuah suara yang datangnya dari samping kanan tiba-tiba membuat Firda sedikit terhenyak. Pikiran Firda yang sedang sedikit traveling pada peristiwa tadi di halaman kantor desa, mendaadak buyar seiring dengan menolehkan wajah dia ke arah sumber suara.
“Waalaikumsalam,” balas Firda seraya menatap seorang lelaki yang berdiri di samping motornya. Lelaki muda itu mengenakan celana kolor dan jersey warna dominan biru sebuah club sepak bola kebanggaan masyarakat Jawa Barat.
“Maaf ini Ibu Firda bukan?” tanya lelaki muda itu seraya menatap Firda ragu-ragu.
“Be…be..betul, ma…maaf ini siapa ya?” balas Firda dengan suaranya yang masih sedikit gelagapan dan bergetar, rasa terkejutnya belum sepenuhnya sirna.
Lelaki berusia kurang lebih dua puluh tahun itu tersenyum. Mata Firda pun makin intens menatap wajahnya, seketika itu juga isi kepala Firda berputar mengingat-ingat wajah yang tersenyum manis itu. Dia merasa sangat mengenal wajah itu namun lupa kapan dan dimana.
“Ibu masih ingat dengan saya?” Suara dan senyum anak muda yang berlesung pipi itu pun seketika membawa Firda pada ingatannya beberapa waktu yang lalu.
“I…i..ini Hendy bukan?” Firda bertanya dengan suara yang sedikit menyentak namun masih dalam keragu-raguan.
“Alhamdulillah, Ibu ternyata masih mengenali saya. Betul, saya Hendy yang dulu PKL di Kantor Desa Mekar W*....”
“Masya Allah, Hendy!” seru Firda, memotong ucapan anak muda yang bernama Hendy itu.
Firda lalu gegas turun dari motornya. Kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Hendy pun langsung menyambut tangan Firda seraya membungkukkan badan dan mencium punggung telapak tangan Firda dengan penuh rasa hormat.
“Gimana kabarnya, Bu? Keliatannya makin sehat dan cantik aja nih Ibu, heheheh.” Hendy yang sememangnya senang bercanda itu bertanya mencairkan suasana yang dia rasakan wanita cantik di depannya masih terkejut dan tegang.
“Alhamdulillah Hen, kamu sendiri gimana?” Firda menjawab setelah sedikit menenangkan hatinya yang deg-degan karena benar-benar kaget. Di saat pikirannya masih berpikir tentang Arman, tak menduga bertemu dengan salah seorang teman dekat Arman.
“Alhamdulillah, sehat Bu.” Hendy menjawab kalem.
“Oh Iya Hendy sekarang kerja atau kuliah?” Firda kembali bertanya basa-basi.
“Alhamdulillah sudah kerja, Bu. Walau hanya penjaga toko pakaian. Lebih tepatnya di toko pakaian milik orang tuanya Arman.”
“Oh syukurlah Hen, kerja dimana saja yang penting halal.”
“Iya, Bu. Oh iya maaf, Ibu sudah tahu kalau Arman….” Hendy tidak melanjutkan ucapannya, dengan maksud agar wanita di depannya tidak terlalu kaget jika belum tahu tentang berita yang akan disampaikannya.
“Udah, Hen.” Firda langsung paham dengan maksud ucapan Hendy yang menggantung itu. “Sebelum pulang tadi, ibu dapat kabar dari Pak Hasan, hansip desa itu. Ibu bener-benar tak menduga,…” Suara Firda mendaadak tercekat.
“Iya Bu, kami semua sebenarnya sangat tidak menduga. Bahkan saya masih tidak percaya kalau Arman sudah pergi meninggalkan kita. Tiga hari sebelumnya dia masih main bola di lapangan ini dengan saya.” Hendy menjelaskan lagi.
“Oh ya?” Firda melongo.
“Beneran Bu. Dia juga ngeliat Ibu, pas pulang kerja. Tapi mau nyamperin katanya takut dimarahi hehehe.” Hendy berusaha terkekeh namun sangat hambar seraya menatap Firda yang masih melogo.
“Ibu kenapa?” tanya Hendy menyadarkan Firda dari melongonya.
“Eh gak papa Hen. Jujur saja ibu juga masih belum percaya kalau Arman secepat itu meninggalkan kita. Namun sangat disesalkan…” Firda nyaris saja keceplosan menyampaikan gosip yang dia dengan dari Pak Hasan, tadi.
“Jadi, Ibu sudah denger gosip itu?”
“Biasalah Hen. Tapi jujur saja ibu tidak percaya. Umur seseorang kan rahasia Allah. Dia yang sepenuhnya menentukan ajal semua makhluk yang hidup. Gak kenal tua atau muda, bahkan janin yang masih dalam kandungan pun banyak yang sudah tidak bernyawa saat terlahir ke dunia.”
“Iya syukur kalau Ibu tidak terpengaruh dengan gosip-gosip menyesatkan itu.” Hendy menarik napas lega.
“Insya Allah Hen, ibu masih waras. Ibu kan kenal juga dengan orang tua Arman, walau tidak terlalu akrab.“ Firda berusaha meyakinkan Hendy yang terlihat sangat cemas dan prihatin dengan gosip murahan itu, sama seperti dirinya.
“Sebenarnya banyak yang ingin saya sampaikan pada Ibu. Termasuk beberapa pesan dari almarhum yang disampaikan beberapa hari sebelum dia pergi untuk selamanya.” Hendy bicara dengan intonasi yang sangat lirih, namun kedua matanya tajam menatap wajah Firda yang mendaadak kembali tegang.
“Pesan dari Arman buat saya, maksudmu?” tanya Firda dengan suara setengah berbisik, jantungnya mendaadak dag-dig-dug dan berdebar-debar tak karuan.
“Iya, pesan rahasia buat Ibu….” Hendy kembali menggantung kalimatnya sambil terdiam.
Sepertinya Hendy masih menyimpan keraguan dalam hatinya untuk menyampaikan pesan rahasia yang tentu saja tidak boleh diketahui oleh sembarangan orang. Padahal di sana hanya mereka berdua. Di lain sisi, jantung Firda semakin berdebar-debar.
“Pesan rahasia apa, Hen. Kamu jangan bikin ibu deg-degan dong!” Firda sedikit nyolot terbawa perasaannya yang sudah benar-benar sangat tegang. “Lima hari sebelum meninggal, Arman memaksa saya untuk menemui Ibu di kantor. Namun saat itu saya sedang sibuk di toko. Lantas malamnya seusai Salat Isya, kami mendatangi rumah ibu.” Hendy bicara dengan sangat hati-hati, sementara Firda masih melongo menunggu kelanjutan ceritanya. “Namun ternyata rumah Ibu sudah pindah ke BTN Antiex. Lalu kami pulang lagi karena sudah terlalu malam. Walau pada awalnya Arman maksa untuk tetap menemui Ibu. Tapi saya mencegahnya karena tidak enak kalau ke rumah ibu udah terlalu malam. Lagian dia kan betemunya tidak mau kalau ada Bapak.” Hendy kembali terdiam. “Terus?” Firda mulai terbawa cerita. “Akhirnya kami sepakat untuk menemui ibu di kantor desa beberapa hari kemudian. Seharusnya hari ini. Namun ternyata rencana hanya tinggal rencana, Arman telah pergi sebelum bisa bertemu dengan Ibu.” Unruk sementara Hend
Firda hampir terpancing emosinya. Namun dia pun sadar tidak mudah menyangkal gosip tanpa didukung bukti-bukti otentik. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun dalam kenyataannya orang-orang lebih mudah percaya pada hoax. Firda hanya bisa geleng-geleng kepala seraya pergi pulang setelah membeli beberapa kebutuhan hariannya. Namun gosip tentang Arman sepertinya masih akan tetap berlanjut hingga mereka bosan sendiri membicarakannya. ‘Gila, tidak salah yang dikatan Hendi. Ternyata ada gosip yang sangat edan di kalangan warga. Aku tak menduga sudah sejauh itu gpsip tentang Arman. Tapi benarkah semua itu?’ rutuk Firda dalam hati. Namun diakui atau tidak, sesungguhnya dia pun mulai sedikit terpengaruh dengan berita-berita yang masuk ke telinganya. Akhirnya Firda sampai di rumahnya. Baru lima bulan dia dan suaminya menempati rumah di kompleks BTN Antiex. Nama sebenarnya BTN Sindang Sari. Namun karena hampir 80% penghuninya berstatus karyawan PT. Textile Antiex, perumahan itu pun ser
Setelah melaksanakan Shalat Maghrib, bayangan Alex dan sosok ganjil yang menyerupai Alex dan mengerikan itu pun menguap dari pikiran dan bayangan Firda. Saat suaminya pulang kerja, semua sudah kembali seperti sedia kala. Firda pun merasa apa yang dilihat dan dialaminya hanya halusinasi, hingga dia memutuskan untuk tidak menceritakan itu pada suaminya. Hari berikutnya Firda sampai di kantornya jam setengah tujuh pagi. Sengaja dia berangkat lebih pagi karena ingin segera bertemu dengan Pak Hasan untuk menanyakan banyak hal tentang Arman. Namun dia harus kecewa karena ternyata Pak Hasan tidak masuk kerja tanpa alasan jelas. Akhirnya Firda hanya duduk termangu di meja kerjanya seraya menunggu yang lain dan memikirkan semua yang telah dialaminya dipadu dengan semua info yang masuk ke telinganya. Keyakinan Firda mulai sedikit goyah. Ada sebersit perasaan dalam hatinya yang mengatakan jika Arman memang menjadi tumbal pesugihan dan kini arwahnya gentayangan. Sebenarnya Firda juga ingin
“Kok lama sekali sayang, katanya cuma sebentar?” tanya Mas Bayu saat aku sampai di rumah. “Iya Mas, tadi Bang Alex ngobrolnya lama banget sama teman-temannya,” jawabku berbohong. “Ya udah kita masuk dulu. Mas juga udah nyiapin minuman hangat buat kamu, Sayang” ajak Mas Bayu sambil tersenyum lembut menghangatkan jiwaku yang kaku dan dingin. Aku benar-benar terharu mendapati kelembutan dan perhatiannya. Lalu buru-buru masuk ke rumah dan bergegas masuk kamar mandi. Aku tidak mau Mas Bayu melihatku menangis karena terluka atas penghinaan Alex, sekaligus terharu atas kebaikan suamiku. ‘Mas Bayu, seandainya kamu tahu, istrimu tercinta ini sudah dua dinodai oleh si manusia brengsek itu. Di dalam rahim istrimu kini telah tersemai benih seorang preman kampung yang bertekad ingin merebutku darimu. Maafkan segala kelemahanku, Mas.’ Aku hanya bisa membatin sambil berusaha menahan isak tangis agar tidak menjadi raungan keras yang akan membuat suamiku cemas dan bertanya-tanya, apa sesungguhnya
Hingga beberapa saat lamanya Hendy dan Firda hanya terdiam. Keduanya asik berkelana dengan pikirannya masing-masing. Firda merenungi banyaknya kejanggalan dalam kematian Arman. Sementara Hendy asik menikmati rokok dan segelas kopinya yang sudah dingin. Isi kepalanya sudah sangat lelah memikirkan yang sedang terjadi. Sebagai seorang sahabat yang sudah menganggap Arman sebagi saudara kandungnya tentu saja Hendy memiliki beban moral yang lebih dibanding siapapun. Dia sangat mengenal karekater Arman dengan keluarganya, lebih dari siapapun. Kehilangan yang dirasakan oleh orang tua Arman, juga dirasakan olehnya. “Hen, ibu boleh tanya sesuatu yang sedikit sensitif?” Firda kembali angkat bicara. Tiba-tiba saja dia teringat dengan obrolan emak-emak kemarin sore. “Silakan Bu. Saya tidak akan menutup-nutupinya,” balas Hendy santun. “Kamu kenal dengan Mas Andi, tukang gali kuburan?” tanya Firda dengan sangat hati-hati. “Astagfirullah!” seru Hendy seraya menghentakan punggung pada sandaran kur
Aku Dan Cewek Misterius (1) Tok tok tok "Man, kuliah gak lu!" Hendy yang sejak tadi menunggu Arman di luar kamar mandi, berteriak tak sabar. “Bentar, gua lagi nanggung, Nyet!” Arman menjawab sekenanya. “Colay jangan di kamar mandi, Nyet! Ganggu jadwal orang mandi aja!” rutuk Hendy makin kesal. Arman tersenyum puas karena sudah membuat sahabatnya salah persepsi. Dia sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas kamar mandi yang menegangkan itu. Dia justru sedang berjongkok menunggu sesuatu yang akan keluar dan terbuang dari dalam tubuhnya. Sementara pikirannya sedang melayang pada peristiwa semalam. Jiltan lidah Firda masih terasa di sekujur tubuhnya. Syaraf-syaraf kenikmatannya kembali menggila dan tersiksa. Perlakuan Firda tadi malam sulit ditebak. Kadang cepat dan kasar, kadang juga lembut penuh perasaan hingga membuat Arman serasa terbang melayang dicabik-cabik badai syahwat birahinya. Firda tiada hentinya memberikan service yang menakjubkan, dia bahkan tidak membiarkan kesemp
Setelah berdiam cukup lama, akhirnya Mas Bayu menjelaskan tentang obsesi dan fantasi dirinya. Mas Bayu mengaku sudah cukup lama memendam hasrat dan terobsesi pada aktivitas seksual yang tak lazim. Dia sangat menginginkan istrinya melakukan hubungan badan dengan laki-laki lain atas seizin dan sepengetahuannya. Bahkan jika perlu dilakukan di depannya. Atau melakukannya secara bersama-sama dengan mengundang lelaki lain. Menurut Mas Bayu gambar dan film-film itu sengaja dia koleksi untuk memancing libidonya agar bergairah saat menyetubuhiku. Jika suatu saat dia tiba-tiba bersemangat menyetubuhi itu akibat fantasinya sedang tinggi. Imajinasinya sedang bagus membayangkan aku disetubuhi lelaki lain. Dia mengakui juga kalau selama ini fantasinya sering gagal karena lama kelamaan bukan hanya khayalan yang dia butuhkan namun melihatnya secara langsung. Dia juga mengakui sering membayangkan bagaimana liar dan binalnya jika aku melakukan hubungan intim dengan laki-laki muda, gagah dan perkasa.
Entah karena merasa malu atau bersalah, atau sedang membeli hatiku agar mau mengikuti fantasinya, atau ada udang di balik batu lainnya. Beberapa hari kemudian tiba-tiba saja Mas Bayu mengajakku nonton film di bioskop. Padahal sedang tanggung bulan dan bukan jadwal kami untuk belanja bulanan. Ini benar-benar sesuatu yang sangat baru bagi kami. Selama menjadi istrinya, aku belum pernah diajak nonton film di bioskop, jalan-jalan atau rekreasi ke tempat-tempat wisata ternama, apalagi berbulan madu ke Labuhan Bajo dan tempat eksotik lainnya. Paling banter diajak makan di resturant sekitaran mall sambil belanja bulanan. Itu pun kalau dia sempat. Sejauh ini aku lebih sering belanja sendiri di mini market terdekat. Demi menyenangkan hatinya dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya, aku pun langsung menerima ajakannya tanpa banyak pikir. Entah mengapa aku jadi mudah curiga pada suamiku sendiri. Apapun yang dilakukannya terasa tidak tulus lagi, hanya modus dan rekayasa belaka. Dengan be