“Pesan rahasia apa, Hen. Kamu jangan bikin ibu deg-degan dong!” Firda sedikit nyolot terbawa perasaannya yang sudah benar-benar sangat tegang.
“Lima hari sebelum meninggal, Arman memaksa saya untuk menemui Ibu di kantor. Namun saat itu saya sedang sibuk di toko. Lantas malamnya seusai Salat Isya, kami mendatangi rumah ibu.” Hendy bicara dengan sangat hati-hati, sementara Firda masih melongo menunggu kelanjutan ceritanya.
“Namun ternyata rumah Ibu sudah pindah ke BTN Antiex. Lalu kami pulang lagi karena sudah terlalu malam. Walau pada awalnya Arman maksa untuk tetap menemui Ibu. Tapi saya mencegahnya karena tidak enak kalau ke rumah ibu udah terlalu malam. Lagian dia kan betemunya tidak mau kalau ada Bapak.” Hendy kembali terdiam.
“Terus?” Firda mulai terbawa cerita.
“Akhirnya kami sepakat untuk menemui ibu di kantor desa beberapa hari kemudian. Seharusnya hari ini. Namun ternyata rencana hanya tinggal rencana, Arman telah pergi sebelum bisa bertemu dengan Ibu.” Unruk sementara Hendy mengakhiri kisah sedihnya.
‘Hari ini Arman mau menemuiku? Berarti….?’ ucap Firda dalam hati. Isi kepalanya kembali memutar peristiwa yang dialaminya di sekitar warung Bu Qosim. Dan dia semakin yakin jika yang dilihatnya memang benar-benar Arman.
Daada Firda seketika berdebar-debar, suhu tubuhnya mulai dan tak stabil dan bulu kuduknya mulai sedikit merinding. Namun dia tetap berusaha tenang, menyembunyikan semua perasaannya yang mulai berkecamuk. Firda tak ingin Hendy menganggap dirinya pun telah termakan isyu yang menyesatkan.
“Tapi Alhamdulillah, saya bisa bertemu ibu di sini. Anggap saja saya mewakili Arman.” Hendy kembali bertutur membuyarkan lamunan Firda yang sedang mengelana kesana kemari.
“Ma…maaf, me…me…memangnya ada apa Arman mau menemui ibu?” Suara Firda sedikit bergetar, tak mampu menyembunyikan perasaannya yang kian lama kian tak menentu.
“Katanya mau minta maaf sama Ibu, dan…” Hendy menggantung ucapannya seakan sengaja untuk membuat Firda semakin penasaran.
“Mi…min…minta maaf? Minta maaf untuk apa? Seingat ibu, Arman tidak punya salah sama ibu. Andai pun punya salah yang tidak disengaja, ibu sudah pasti memaafkannya, Hen.” Firda kembali tersentak.
Walau dia berusaha tenang agar Hendy tidak bisa membaca perasaannya, namun ternyata suaranya yang bergetar dan sikap gelagapannya, tidak bisa menyembunyikan isi hatinya dan memang Hendy sudah sangat bisa membaca situasi dan isi hati Firda.
“Katanya sih dia punya dosa masa lalu. Kesalahan yang terasa tidak afdol jika tidak meminta maaf langsung pada Ibu. Dosa dua tahun yang lalu, saat kami sama-sama PKL di tempat Ibu. Mungkin ibu sudah lupa atau memang sudah melupakannya.” Ucapan Hendy sontak membuat sekujur tubuh Firda kian merinding, panas dingin tak menentu.
Entah apa yang harus dikatakannya, Firda benar-benar berada dalam situasi yang sangat sulit dan tidak nyaman. Dia ingin segera keluar dari situasi yang seketika membuatnya salah tingkah dan kian merasa berdosa dengan masa lalunya bersama Arman.
“Eh, Hen, ngomong-ngomong kamu lagi olah raga kan, silakan dilanjut aja jangan terganggu. Ibu juga harus segera pulang, udah sore. Takutnya suami Ibu udah nungguin, soalnya kunci rumah kan ibu yang pegang.” Akhirnya Firda menemukan jalan keluar untuk mengakhiri obrolan yang kian mengerikannya bersama Hendy.
Dengan tergesa-gesa Firda pun kembali naik ke motornya. Namun semua tingkah Firda yang demikian semakin memberikan keyakinan pada Hendy jika Arman memang punya salah besar pada wanita yang pernah jadi pembimbing PKL-nya ini. Hendy bertekad untuk menuntaskan semuanya agar Arman bisa tenang di alam sana.
“Maaf Bu, apakah saya boleh minta nomor hape Ibu?” Dengan sangat hati-hati Hendy bicara pada Firda yang sudah naik motornya.
“Kalau Ibu tidak keberatan, nanti saya minta waktu untuk menyampaikan semuanya. Saya butuh nomor ibu, hanya untuk konfirmasi kapan ibu punya waktu bisa bicara empat mata dengan saya,” lanjut Hendy meyakinkan.
Firda menatap wajah Hendy penuh curiga. ‘Gila! apakah Hendy sudah tahu semua tentang aku dan Aman? Bahaya!’ ucap Firda dalam hati seraya terus menatap wajah Hendy yang senyumnya terlihat makin jantan dengan lesung pipinya.
“Dua minggu sebelum meninggal, Arman menceritakan kalau dia mengalami kejadian yang sangat tidak masuk akal. Saya pun tidak berani menceritakan lagi pada siapapun, termasuk keluarganya. Jika Ibu ingin mendengarnya, saya siap menceritakannya karena Arman pun sudah mengizinkannya.” Hendy kembali menambahkan penjelasan yang kian membuat jiwa kepo Firda gelonjotan sekaligus dag-dig-dug tak karuan.
‘Arman sudah mengizinkannya? Kapan Arman memberi izin pada Hendy? Apakah Hendy juga didatangi arwah Arman seperti diriny? Benarkah sosok yang masuk warung Bu Qosim itu benar-benar Arman?’ Firda kembali bertanya-tanya dalam hati.
Walau dengan berat hati dan sejuta keraguan menggelayutinya, akhirnya Firda bertukar nomor kontak dengan Hendy. Sebenarnya Firda tidak ingin siapapun membuka kembali kenangan rahasia dirinya dengan Arman. Namun di sini lain dia pun memang harus bicara empat mata dengan Hendy, namun harus mencari waktu dan tempat yang tepat.
Obrolan sore itu pun akhirnya berakhir. Hendy kembali ke lapangan Mukhsin untuk melanjutkan olah raganya, sementara Firda melanjutkan pulang dengan pikiran terus traveling tanpa tujuan.
Seperti biada Firda pun mampir ke warung Bu Sarkoni untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-harinya. Namun saat tiba di sana, Firda mau tidak mau menjadi pendengar setia beberapa emak-emak yang bergosip tentang Arman dan segala misteri yang menyelimuti kematiannya.
“Padahal anaknya soleh dan ganteng. Tak menduga anak kesayangan malah dijadiin tumbal pesugihan oleh bapaknya sendiri.” Gosip pertama yang Firda dengar saat tiba di warung Bu Sarkoni.
“Iya, makanya anak itu jadi arwah penasaran. Katanya sih gentayangan gitu. Tiap malam ngedatangin kakeknya, nangis-nangis minta tolong gak mau dijadiin tumbal oleh bapaknya sendiri!” timpal yang lain, kian membuat Firda merinding.
“Jadi itu beneran ya, kalau arwahnya anak itu suka ngedatangin orang-orang yang penrah dekat sama dia?” Ibu yang lainnya bertanya. Jantung Firda serasa mau copot.
“Hih, itu sih udah jadi rahasia umum. Rumah ortuku kan dekat dengan rumah kakeknya almarhum. Pokoknya banyak yang udah ngeliat penampakan hantunya.” Seorang ibu muda berapi-api meyakinkan ibu yang lainnya.
“Eh beneran gak sih, yang didatangi arwah itu sueuh nyanpein pesan buat orang tuanya si arwah?” Bu Sarkoni sang pemilik warung ikut meramaikan gosip sore itu.
“Katanya sih begitu. Tapi aku sendiri sih gak percaya. Masa ada orang mati titip minta dibeliin baju baru dan dikirim uang segala, kan aneh!” sangkal salah seorang ibu muda yang sedikit membuat Firda merasa plong.
“Eh Bisa aja, Bu Yayan. Kan di sini aja kelitan mati, aslinya belum mati. Makanya dia gentayangan karena arwahnya tidak diterima bumi.” Bu Sarkoni merespon sangkalan ibu muda tadi.
“Hah, Gak diterima Bumi? Bukannya dia sudah dikuburkan, kok gak diterima Bumi, sih?” Ibu muda yang menyangkal tadi, tak mengerti.
“Eh, kalian tahu gak, Mas Andi yang menggali kuburan orang yang mati itu, minggat dari kampunngnya. Katanya sih, dia ketakutan karena tiap malam selalu didatangi arwah penasaran itu. bahkan…..” Ibu yang berjilbab kuning angkat bicara.
“Bahkan apa, Bu?” hampir semua ibu yang bergosip bertanya kompak.
“Kuburannya ada bekas yang ngegali lagi. Sssst, tapi ini masih rahasia, jangan bilang-bilang!” Ibu itu berbisik melanjutkan beritanya. Namun Firda bisa mendengarnya dengan jelas.
“Hah!” Semua emak-emak biang gosip itu kompak terbelakak dan menganga.
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa