“Neng… Neng Firda kenapa?” Kembali Pak Hanan bertanya dan tangannya terus dikibas-kibaskan depan wajah Firda.
“Eh, maaf Pak. Saya ke warung Bu Qosim dulu sebentar,” jawab Firda sambil melangkah meninggalkan Pak Hasan yang masih melongo. Tak mengerti dengan sikap Firda yang dirasanya sangat aneh.
Firda mempercepat langkahnya dengan pandangan yang tak sedikit pun lepas dari warung Bu Qosim yang berjarak kurang lebih lima puluh meteran dari kantor desa. Warung tempat hampir semua staf desa biasa nongkrong sambil ngopi, makan siang dan sebagainya.
“Eh, Neng cantik, tumben jam segini belum pulang. Ibu kira udah gak siapa-siapa di kantor.” Sang pemilik warung menyapa renyah, ketika Firda datang dengan wajah yang terlihat melongo dan tampak ragu-ragu.
“Mau cari apa Neng? Mau makan, Sayang?” Bu Qosim kembali bertanya dengan sapaan khasnya. Firda sama sekali tidak merespon ucapan Bu Qosim.
‘Tumben Neng Firda jadi aneh begini, sampai-sampai gak bales sapaanku, padahal biasanya dia yang nyapa duluan atau ngucapin salam kalau masuk warung. Ada apa dengan dia?’ tanya Bu Qosim dalam hati.
“Eh, maaf Bu. Saya bukan mau makan atau cari apa, tapi… ta… tapi… mau nanya, kemana orang yang barusan masuk ke sini?” Firda balik bertanya seraya celingak-celinguk. Kedua matanya mengitari seluruh ruangan warung lalu memandangi deretan meja dan kursi tempat makan para pelanggan yang saat sedang kosong.
“Orang yang barusan masuk ke sini? Maksudnya Eneng sendiri, hehehe. Yang barusan masuk ke sini kan cuma Neng Firda doang.” Bu Qosim menjawab seraya menatap wajah Firda yang ekspresinya terlihat sedikit aneh.
“Ih, barusan banget, ada cowok sepantaran Rangga pakai jaket dilan sama celana hitam masuk ke sini.” Firda menyangkal pernyataan Bu Qosim. Matanya terus jelalatan mengitari seluruh ruangan dengan wajah celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu yang mendaadak menghilang dari pandangan.
“Eh, si Eneng mah ada-ada aja. Salah liat kali, Neng.” Bu Qosim pun menyangkal ucapan Firda.
“Masa sih, Bu? Dia ada di dalam kali!” Firda memaksa.
“Hehehe, masa ibu harus bohong, Neng?” Bu Qosim makin bingung.
“Ya Allah, Bu, beneran barusan saya ngeliat Ar… eh maksud saya ngelihat seseorang yang masuk ke sini pake jaket abu-abu yang ada bulu-bulu cokelat di kerahnya. Masa sih langsung hilang, Bu?” Firda terus meyakinkan sang pemilik warung jika penglihatannya masih normal.
“Beneran Neng, sumpah demi Allah gak ada orang yang masuk sini berpakaian apapun. Yang terakhir ke sini itu tadi Pak Asrul, beli goreng ayam buat anaknya. Setelah itu gak ada yang ke sini lagi selain Neng Firda, sekarang.” Bu Qosim kembali menjelaskan dengan terperinci.
“Masa sih, Bu?” Firda bertanya pelan seperti untuk dirinya sendiri.
“Astagfirullah Neng, masa ibu harus bohong, tanya aja sama Ana dan Ani.” Bu Qosim menunjuk dua orang pelayannya yang berdiri di samping kiri dan kanannya.
“Beneran Bu, gak ada orang yang masuk ke sini, selain Pak Asrul dan Ibu.” Salah seorang dari pelayan itu memperkuat jawaban majikannya.
Untuk beberapa saat Firda kembali tertegun seraya memandangi wajah Bu Qosim dan kedua gadis kembar itu. Mencari kebenaran dari ucapan mereka yang kompak menyangkal penglihatannya.
“Oh iya, mungkin saya salah lihat ya, Bu.” Firda segera menyadari keadaannya. Ketiga wanita yang tadi wajahnya terlihat tegang pun mendaadak kendur.
“Kalau gitu saya permisi dulu, Bu. Maaf sudah ngeganggu, saya bener-bener salah liat. Sekali lagi maaf untuk semuanya, ya!” lanjut Firda dengan suara yang ngambang, tampaknya dia masih belum yakin dengan jawaban Bu Qosim dan dua pelayannya. Raut wajahnya pun terlihat masih bingung.
“Memangnya Neng Firda lagi nunggu siapa?” Bu Qosim yang masih merasa heran dengan sikap Firda, kembali bertanya.
“Gak nunggu siapa-siapa. Tapi barusan saya lihat ada orang masuk ke sini, seperti orang yang pernah saya kenal, makanya saya cepet-cepet ke sini. Soalnya sudah lama gak ketemu dengan dia” jawab Firda dengan rona wajah yang tersipu-sipu malu dan tak enak hati.
“Hmm, jangan-jangan Neng Firda lagi kangen sama mantannya, hehehe,” goda Bu Qosim seraya menatap kedua anak buahnya yang sontak mereka pun ikut tersenyum.
“Idiih si Ibu ada-ada aja. Saya gak punya mantan, Bu. Makasih Bu, sekali lagi maaf udah ngeganggu,” ucap Firda sambil buru-buru ke luar dari warung, sebelum candaan Bu Qosim akan menjebak dan membawanya pada suatu kenangan yang tidak ingin dikenangnya.
“Dasar Neng Firda, gak mungkinlah wanita secantik ibu gak punya mantan, heheheh.” Ucapan Bu Qosim terdengar sayup-sayup di telinga Firda yang sudah kembali melangkah meninggalkan warungnya.
‘Masa sih aku salah lihat?’ batin Firda sambil memandangi warung Bu Qosim dan kembali celingak celinguk mencari sosok yang tadi terlihat masuk ke warung itu.
“Aku yakin tadi ngeliat dia. Eh, tapi kenapa dia ada di sekitar sini? Aduh, ada apa denganku? Jangan-jangan aku memang sedang ngehalu tingkat dewa gara-gara ucapan Pak Hasan.” Firda berbicara pada dirinya sendiri setelah tersadar dengan apa yang dilihat dan dilakukannya adalah sebuah kekonyolan.
Setelah beberapa saat berdiri di teras kantor, Firda pun tersadar dengan keadaan hari yang semakin sore. Dan ternyata hanya tinggal dia yang berdiri di depan kantor. Dia pun segera gegas menuju tempat motornya terparkir di halaman samping kantor.
“Pak, Pak Hasan… Pak Hasan… Bapak di mana?” tanya Firda dengan suara yang sedikit lantang. “Cepet amat Pak Hasan hilangnya,” gumam Firda pada dirinya sendiri.
Firda naik ke motornya dan memasang helm. Namun saat dia sedang memasangkan kaitan helmnya, tiba-tiba dia merasakan ada sesuatu yang menyentuh punggungnya. Seperti ada seseorang yang ikut naik berboncengan di motornya.
‘Aduh, kenapa bulu kudukku jadi berdiri begini?’ Firda bertanya dalam hati seraya membaca doa-doa pendek dan panjang dalam hati.
Sudah lebih dari tiga tahun Firda bekerja di kantor ini. Bukan hanya kali ini saja dia pulang lebih lambat dan bahkan berada sendirian di sekita kantor desa. Namun baru kali ini dia merasakan ada sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya. Firda juga bukan seorang yang penakut apalagi untuk hal-hal yang berbau mistis, takhayul dan sejenisnya.
“Astagfirullah kenapa aku jadi begini!” ucap Firda seraya memasukan kunci kontak motornya dengan tangan yang bergetar. Sekujur tubuhnya pun mendaadak terasa panas dingin dan agak merinding.
Dalam hitungan detik berikutnya, dia sudah berlari kencang di atas motornya meninggalkan halaman kantor desa. Dia bahkan tidak menutup kembali pintu gerbangnya.
Beberapa orang kebetulan berada di sekitar sana, sedikit melongo melihat Firda membawa mengendarai motor tidak seperti biasanya. Termasuk Bu Qosim yang kebetulan melihatnya karena dia sedang berada di luar warung.
“Ada apa dengan Neng Firda. Jangan-jangan dia juga seperti yang lain. Seingatku dia dulu sangat akrab dengan pemuda yang meninggal ngedaadak itu. Kalau begitu jangan-jangan arwahnya….” Bu Qosim tidak melanjutkan ucapannya, dengan bergegas dia masuk kembali warungnya dan memerintahkan Ani dan Ana untuk segera menutup warungnya, padahal biasanya warung itu tutup di atas jam sembilan malam.
“Tumben, kenapa sore-sore udah mau tutup, Bu?” tanya Ana yang sedikit terperanjat dengan perintah majikannya yang sangat tidak biasa dan mendaadak.
“Ibu lupa, hari ini mau ke rumah Bu Adam. Udah tutup aja warungnya, jangan banyak tanya,” pungkas Bu Qosim seraya mengelus-elus daadanya yang mendaadak terasa sesak dan berdebar-debar tak karuan. Wajahnya pun tampak tegang dan memucat.
“Berarti Bu Firda memang ngeliat sesuatu,” bisik Ani pada Ana.
“Hah, warung kita kedatangan tamu misterius. Arwah penasaran?” tanya Ana berbisik. Dan wajah gadis kembar itu pun mendaadak tegang dan pucat. Sama seperti wajah majikannya.
Saat tiba di rumah mertua, entah mengapa suasananya terlihat sangat sepi. Tidak banyak tamu padahal menurut ibu mertua sejak bapak resmi menjadi calon anggota legislatif, rumah mereka nyaris tak pernah sepi hampir 24 jam. Setelah diberi uang tips untuk sekedar beli rokok karena ongkos udah dibayarin Mas Bayu, Leo pun kembali pulang dan aku tidak meminta untuk menjemput karena kemungkinannya menginap. Raut wajah Leo tampak sedikit kecewa karena sepertinya dia berharap kembali memboncengku. Selama dalam perjalanan tadi kami tidak banyak ngobrol karena sama-sama memakai helm full face. Namun aku merasakan jika gestur Leo ada yang sedikit berbeda. Lebih perhatian dan bawa motornya pun lebih santai melewati banyak jalan tikus untuk menghindari kemacetan. Dia bahkan memintaku untuk memeluknya. Entah mengapa dia jadi ganjen. Untungnya aku sudah janji mau melupakan hal-hal demikian. Mas Bayu juga sudah mulai berubah, jadinya godaan-godaan kecil seperti yang dilakukan Leo dengan mudah bisa
Hanya Bah Akin yang tahu persis bagaimana kronologis pertemuan Bunda Eni dengan Ipang. Hal itu memang sangat mereka rahasiakan.Bah Akin tukang pijat kawakan usianya sebaya dengan Pak Kades. Mereka lahir pada tahun yang sama, di kampung yang sama dan bersahabat karib sejak balita. Nasib baik membuat Pak Kades menjadi orang terkaya di kampungnya bahkan diangkat menjadi kepala desa setelahnya. Sementara Bah Akin tetap dengan profesinya sebagai tukang pijat.Pak Kades bukan kacang lupa kulitnya. Untuk membantu perekonomian Bah Akin, dia mengangkatnya menjadi terapis juga buat istrinya yang dinyatkan menderita penyakit menahun diabet. Sementara anak-anak Pak Kades tidak ada yang berminat dipijat.Bah Akin sempat ditawari jadi hansip desa namun menolak karena takut dituduh KKN. Pak Kades selalu memberi imbalan besar, hingga sang kakek sembilan cucu dan lima anak itu merasa sudah sangat cukup menjadi terapis sahabatnya itu. Bah Akin rela membatalkan janji dengan pasien lain jika berbenturan
“Sayang, coba lihat sini bentar!” seru Ipang pada Bunda Eni yang sedang menyeduh kopi di meja makan rumah megahnya.“Ada apa, Sayang?” tanya Bunda Eni seraya bergegas mendatangi Ipang yang berdiri depan kaca jendela balkon rantai dua seraya menatap ke luar, lebih tepatnya jauh ke jalan.“Hmmm liat tuh Bu Firda. Dia sepertinya udah main brondong lagi. Kenal gak sama yang diboncengnya?” Ipang menunjuk Firda yang melintas di depan rumah sang kepala desa itu. “Yang dibonceng Firda? Siapa yang ngebonceng, Sayang? Firda bawa motor sendiri kok!” sangkal Bunda Eni seraya menajamkan pandangan matanya menatap sekaligus mengawasi Firda yang dia lihat hanya punggungnya yang semakin kecil dan menjauh.“Hai, itu liat di belakangnya. Masa Bunda gak bisa ngeliat orang yang dibonceng Bu Firda? Keliatannya masih brondong, tuh dia ngeliat ke belakang ke arah kita, orangnya putih, pake jaket ala si Dilan gitu. Coba deh perhatikan baik-baik.” Ipang berusaha meyakinkan Bunda Eni.“Eh Sayang, kamu kok ja
“Jadi beneran Arman datang dalam mimpi Ibu?” Asrul kembali memastikan.Firda segera menjawabnya dengan menganggukkan kepala. Dan Asrul hanya bisa menganga, tak menduga jika Arman benar-benar mendatangi Firda. Tidak mungkin Arman datang hanya dalam mimpi pasti datang juga di alam nyata. Tidak mugkin Firda tahu segalanya kalau hanya sebatas mimpi. Demikian asumsi Asrul.Berbeda dengan Asrul, Firda justru sedang memikirkan siapa sesungguhnya Bunda Eni. Firda coba menyusun berbagai mozaik potongan kisah wanita tajir melintir itu dengan apa yang baru saja disaksikan. Bukan sesuatu yang mustahil jika wanita pemburu brondong ini ada di balik kematian Arman.Bunda Eni banyak tahu tentang Arman. Dia pernah ditolak keingiannya oleh Arman. Sebagai istri seorang kades yang tajir melintir, tentu bukan hal yang susah baginya untuk membalas sakit hatinya, bahkan jika perlu melenyapkan siapapun yang dianggap telah melukainya. “Sekarang saya mau tanya. Dari mana Pak Asrul tahu kalau Bunda Eni seb
Tok tok tok…Pintu dapur kantor tiga kali diketuk dengan tidak terlalu keras, namun sudah sangat keras untuk bisa menyadarkan Firda dari semua lamunan dan bayangan percintaan Bunda Eni dengan Ipang.“Bu Firda, are you, oke?” tanya Asrul dari balik pintu dengan suara yang terdengar sangat khawatir, karena Firda tidak langsung menjawab ketukan pintunya.“Oke banget, masuk aja, Pak!” balas Firda seraya merapikan pakaian dan duduknya. Dia berharap Asrul tidak terlalu bisa melihat sisa-sisa ketegangan dalam dirinya. Asrul masuk kembali ke ruangan dan langsung duduk berhadapan dengan Firda. Wajah sang lelaki berwatak agamis itu tampak cerah. Hatinya sudah sedikit lega dan tenang karena melihat wajah Firda yang sudah kembali normal. Berdarah dan sedikit berseri-seri walau masih ada sisa-sisa keringat di beberapa titik.“Gimana Bu sudah enteng dan lebih enakan?” Asrul langsung bertanya dengan senyum khasnya.“Alhamdulillah.” Firda menjawab seraya mengulaskan senyum manisnya juga.“Hmmm, gima
Setelah bersimpuh, Bunda Eni langsung mejilati tepian celana dalam Ipang. Bulu-bulu yang mengawali wilayah yang paling menggairhkankanya itu tampak terserak di batas tepian celana tipis nan seksi itu. Firda baru kali melihat celana dalam lelaki dengan bentuk yang sangat aneh juga menarik. Dia hanya tahu semua sempak lelaki sama saja bentuknya hanya beda warna.Dan pada detik berikutnya, Bunda Eni menampakkan sosok dirinya yang sangat rakus dan nakal. Dengan sangat liarnya wanita yang dalam kesehariannya selalu menutup rapat-rapat auratnya itu membetot celana dalam lelaki yang bukan suaminya itu. Dan dengan gigitannya dia pun menarik lepas celana dalam Ipang dari selangkangannya.Bunda Eni terus menggigit, sementara Ipang mengikuti tarikan gigi Bunda Eni dengan mengangkat kakinya bergantian hingga celan itu benar-benar lepas dan kini berada dalam genggaman sang wanita.Bunda Eni menciumi kain berbentuk segitiga itu sebelum melemparnya ke lantai. Dia tampak begitu bergairah saat menyesa