Share

7) Mendadak Indigo

Firda hampir terpancing emosinya. Namun dia pun sadar tidak mudah menyangkal gosip tanpa didukung bukti-bukti otentik. Bukan hanya di dunia maya, di dunia nyata pun dalam kenyataannya orang-orang lebih mudah percaya pada hoax.  

Firda hanya bisa geleng-geleng kepala seraya pergi pulang setelah membeli beberapa kebutuhan hariannya. Namun gosip tentang Arman sepertinya masih akan tetap berlanjut hingga mereka bosan sendiri membicarakannya.

‘Gila, tidak salah yang dikatan Hendi. Ternyata ada gosip yang sangat edan di kalangan warga. Aku tak menduga sudah sejauh itu gpsip tentang Arman. Tapi benarkah semua itu?’ rutuk Firda dalam hati. Namun diakui atau tidak, sesungguhnya dia pun mulai sedikit terpengaruh dengan berita-berita yang masuk ke telinganya.

Akhirnya Firda sampai di rumahnya. Baru lima bulan dia dan suaminya menempati rumah di kompleks BTN Antiex. Nama sebenarnya BTN Sindang Sari. Namun karena hampir 80% penghuninya berstatus karyawan PT. Textile Antiex, perumahan itu pun sering dianggap sebagai perumahan khusus karyawan.

Rumah yang ditempati Firda  merupakan over alih kredit. Walau posisinya berada paling pinggir dan agak terpisah dari bangunan yang lain, namun bangunan lebih besar dan lebih megah dibanding yang lain karena pemilik lama sudah merenovasinya. Halamannya pun cukup luas yang dipenuhi aneka tanaman hias dan pohon buah-buahan. Sangat asri dan nyaman dengan pasokan udara segar yang melimpah. 

“Bu Firda sore amat pulangnya.” Sebuah suara tiba-tiba menyapa Firda yang baru saja memarkirkan motornya di garasi. Firda segera menolehkan wajah mencari asal suara penyapa.

Deg! Jantung Firda seketika terasa berhenti berdetak. Bola matanya sedikit terbelalak saat melihat sosok penyapa itu ternyata laki-laki yang paling dibenci dan ditakutinya.

Lelaki itu berdii di bawah pohon rambutan dengan memakai celana jeans hitam yang robek di sana-sini serta kaos hitam tanpa lengan, diolah ingin memamerkan semua tato yang tergambar pada kedua lengan dan daadanya. Gaya berpakaian yang sudah menjadi ciri khasnya.

“I… i… iya Mas, seperti biasa aja,” jawab Firda sedikit gelagapan seraya menatap lelaki yang dikabarkan sudah sering keluar masuk penjara karena kasus kriminal dan pemerkosaan.

Sebelah tangan lelaki itu memutar-mutar sebatang rokok yang masih menyala. Sementara tangan yang lainnya mengelus-elus celana robek-robeknya tepat di bagian slangkangannya yang menyembul. Tatapan mata dan seringai bibirnya yang hitam terlihat mengintimidasi.     

“Pak Bagasnya belum pulang, Bu?” tanya lelaki itu sambil bersandar pada pohon rambutan di belakangnya.

“Be…be..belum, Mas. Sebentar lagi pulang, u..u..udah di jalan,” jawab Firda sambil tergesa-gesa memasukan anak kunci pada pintunya. Sekilas dia melihat lelaki bertampang kriminal itu bangkit dari bersandarnya, lalu melangkah seperti yang hendak mendatanginya.

“Makin gede aja buahnya, Bu,” ucap lelaki itu dengan tatapan liar yang tertuju pada bagian depan tubuh Firda yang terhalang kerudung cokelat muda.

Wajah Firda mendaadak merah padam menahan kesal, marah dan takut yang berkecamuk dalam daada. Dengan sangat tergesa-gesa dia segera masuk ke rumahnya tanpa mempedulikan ucapan yang sangat kurang dari lelaki brandalan itu.

Firda segera menutup dan mengunci kembali pintunya. Jantungnya berdebar kencang dan sekujur tubuhnya bergetar dan melemas. Dia berdiri menahan pintu dengan punggungnya, berjaga-jaga jika lelaki kurang ajar itu mendorong pintu dan memaksa masuk ke rumahnya.

Sekilah mata Firda menatap jam dinding yang menunjukan waktu pukul enam kurang beberapa menit. Keadaan dalam rumahnya sudah sedikit gelap. Namun Firda tidak berniat menyalakan lampu. Dia khawatir lelaki itu memaksa masuk dan berbuat jahat terhadapnya. Dalam keadaan gelap Firda masih bisa sembunyi atau berlari keluar melalui pintu dapur.

Bukan baru kali ini Firda ketakutan dengan kehadiran lelaki brandalan itu di dekat rumahnya. Namun kali ini rasa takutnya sangat berbeda. Ada aura aneh yang dirasakannya saat dia menatap mata lelaki itu hingga bulu kuduk Firda pun merinding. Sesuatu yang terasa ganjil namaun sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. 

Sejak pertama pindah ke kompleks itu, beberapa tetangganya sudah mewanti-wanti agar jangan kenal apalagi dekat dengan lelaki bernama Alex. Namun suami Firda justru sengaja mengakrabkan diri dengannya. Menurut Pak Bagas, preman justru harus didekati agar tidak berani mengganggu.

Alex tinggal dengan ibunya, seorang janda yang sudah renta. Rumah sederhananya berjarak kurang lebih lima puluh meteran dari rumah Firda. Preman kompleks itu tidak setiap hari ada di rumahnya. Pasar, terminal, stasiun kereta, tempat hiburan malam dan pelabuhan laut, menjadi rumah keduanya.

Saat Alex sedang di rumah ibunya, Pak Bagas sering mengundangnya untuk sekedar minum kopi, ngobrol atau bermain catur. Sejauh ini Pak Bagas pun belum pernah mengajak Alex masuk ke dalam rumahnya, kecuali saat numpang ke kamar mandi yang ada di dapur. 

Beberapa kali Firda memprotes suaminya yang tidak mau mendengar nasihat para tetangganya. Namun alih-alih menanggapi protes istrinya, Pak Bagas justru sering melontarkan pujiannya untuk Alex. Menurut dia, keberengsekkan Alex belum seberapa jika dibanding dengan kenalan dirinya saat muda dulu.

Firda pun mengakui, Alex tidak pernah berbuat kurang ajar pada dirinya. Namun tatapan mata serta candaannya kadang terkesan mengintimidasi dan melecehkan. Firda sering dibuat gerah, jengah dan muak karenanya. Namun Alex pun cukup tahu diri, dia tidak pernah mencandai Firda di depan suaminya.

Andai saja Alex sedikit peduli dengan penampilannya, mungkin dia akan menjadi sosok idola emak-emak sekompleks. Kulit wajahnya yang sedikit legam, akan tersamarkan dengan hidung mancungnya, matanya yang setajam elang, alisnya yang tebal, rambutnya yang gondrong serta tato-tato di sekujur tubuhnya, bahkan bisa menjadi daya tarik tersendiri.   

Sudah cukup lama Firda berdiri menahan pintu dengan punggungnya. Namun dia tidak mendengar suara langkah Alex mendekati pintu. Firda menduga jika Alex tidak masuk ke beranda rumahnya. Dia masih tetap berdiri di bawah pohon rambutan atau di tempat lain.

Dengan gerakan yang sangat pelan, Firda mendekati jendela samping. Lalu dia menggeser sedikit gordennya untuk mengintip keberadaan Alex.

“Astaga!” pekik Firda sedikit keras. Jantungnya tersentak dan darahnya seketika berdesir kencang. Dia segera memejamkan mata, namun masih tidak cukup untuk membuang bayangan mendebarkan yang baru saja dilihatnya dengan durasi yang tidak terlalu lama.  

Firda melihat dengan jelas, Alex sedang berdiri di bawah pohon rambutan dengan celananya yang dipelorotkan hingga setengah paha. Kepalanya mendongak ke langit, mulutnya megap-megap, kedua matanya pun merem melek, sementara salah satu tangannya bergerak lincah mengocok belalai hitamnya yang sangat besar dan panjang.

‘Dasar manusia gila!’ maki Firda dalam hati. Dalam sepanjang hidupnya, baru kali ini dia melihat lelaki berprilaku nekad dan norak seperti itu. Dalam sepanjang hayatnya pula, Firda baru pertama kali melihat belalai lelaki sebesar dan sepanjang milik Alex.

Setelah menguasai degup jantung dan dirinya, Firda segera beranjak menuju kamarnya. Lalu mengunci pintu kamar dan berdiri bersandar pada daun pintu. Sekujur tubuhnya terasa makin lemas dan bergetar. Belalai besar dan panjang yang semestinya tidak dilihatnya itu, telah merasuki benaknya.

Dan entah pikiran mana yang telah menggerakkan dirinya, hingga tanpa disadarnya, Firda mendatangi jendela kamarnya. Lalu dia pun menyingkap sedikit gordennya untuk kembali mengintip aksi sang lelaki gila dan nekad yang sedang bermastrbasi di alam terbuka.

“Astagfirullahaladzim!” Firda berseru seraya melepas gorden yang dipeganggnya dan kedua tangannya refleks mengusap beberapa kali sambil membaca segala doa yang dihapalnya.

Di bawah pohon rambutan itu, Firda tidak menemukan Alex, namun yang terlihat hanya sesosok bayangan hitam yang sangat mengerikan. Hampir menyerupai bayangan manusia raksasa. Bayangan itu pun sedang melakukan seperti yang tadi Alex lakukan. Belalainya pun terlihat berukuran raksasa.

“Alex atau siapa yang tadi menyapaku? Mengapa dia menjadi sosok aneh begitu? Jangan-jangan… “ tanya Firda dalam hati.

“Astaga! mengapa aku bisa melihat makhluk-makhluk aneh seperti itu?”

Seketika tubuh Firda menggigil, wajahnya pucat, mata terpejam, mulut komat-kamit,  dan bulu kuduknya merinding. Ketika Adzan Maghrib berkumandang, kesadaran Firda kembali pulih. Dia pun bergegas mengambil air wudhu dan melaksanakan Shalat Maghrib setelahnya.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Ar_key
jangan kemakan sama rayuan Sandi ... noooo ...
goodnovel comment avatar
Fadita Adinata
sampai semua mata tertuju padanya loh, anak muda, emak2, ibu2, apalagi yang bapak2
goodnovel comment avatar
Fadita Adinata
masih jadi misteri, apa yang terjadi dengan Firda.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status