“Mempelai prianya sudah datang!”
Apa? Bagaimana maksudnya?
Apakah pria brengsek itu kembali dan melanjutkan pernikahan?
Tania mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. Rasa marah yang membakar dadanya membuat Tania tidak menampakkan sedikit pun senyuman di wajahnya.
“Apa aku baru saja dipermainkan?” batin Tania geram..
“Nak, ayo!” Tiba-tiba sang ayah menghampiri Tania dan menarik tangan wanita itu agar mengikutinya keluar dari ruangan, menuju aula utama. “Kita temui calon suamimu.”
“Aku tidak akan menahan diri, aku akan menghajarmu sialan!” batin Tania.
Dari kejauhan, Tania melihat punggung pria itu. Calon suaminya sudah duduk di pelaminan, membelakangi pintu masuk. Tampak sudah siap untuk menikah.
Namun, Tania tidak peduli. Sosok itu sudah mempermainkannya!
Sesampainya ia di dekat pria itu, Tania langsung menampar bagian belakang kepala sosok itu dengan keras.
Para hadirin terperangah. Tidak percaya.
“Tania! Apa yang kamu lakukan!?” Sang ayah tak kalah terkejut, langsung menegur anak gadisnya.
Akan tetapi, saat calon suami Tania itu menoleh, Tania ikut terkejut.
“Jadi seperti ini caramu berterima kasih?” Sosok itu bertanya dengan suara dinginnya.
“Sa-saya–” Tania tergeragap. Bisik-bisik mulai terdengar di sekitar mereka.
Meskipun mengenakan masker dan hanya tampak sebagian wajahnya, Tania mengenali sorot mata dingin itu. Tidak mungkin ia salah, apalagi suara familier itu … adalah hal yang menghantuinya dua bulan kemarin.
Kenapa bosnya yang sekarang duduk di pelaminan!?
Namun, Tania tidak diberikan waktu untuk berpikir terlalu lama karena bosnya tersebut berdecak pelan.
“Sampai kapan kamu berdiri di situ?” tegur pria itu kemudian.
Mendengar itu, Tania akhirnya beranjak dari tempatnya berdiri dan duduk di kursi pelaminan. Ia hanya bisa menundukkan pandangan, mendengar bisikan orang-orang yang masih membicarakannya.
“Pria itu tidak seperti yang di foto undangan.”
“Lho, kamu tidak tahu? Mempelainya kabur, pria itu adalah pengantin pengganti.”
“Hah? Kalau begitu, kenapa wanita itu memukulnya!?”
“Benar-benar tidak tahu terima kasih, padahal pria itu yang membantunya.”
“Tidak tahu diri.”
“Pengantin wanitanya kasar sekali. Sayang. Padahal si mempelai pria sepertinya tampan. Meski pakai masker.”
Tania tidak berani menatap ke depan, ia hanya menatap jari-jemarinya yang saling bertaut. Ia sungguh tidak tahu, bahwa “calon suami” yang dimaksud tadi adalah sosok lain yang menggantikan mantan kekasihnya yang brengsek itu.
Dan … mereka akan menikah?
“Mimpi buruk macam apa ini?” batin Tania. “Mengapa pria menyeramkan itu ada di sini? Apa dia apa yang sebenarnya dia inginkan?”
Tania berusaha menguatkan hatinya untuk melihat pria yang duduk di sebelahnya, memastikan sekali lagi bahwa ia tidak salah lihat.
Namun, berulang kali pun Tania memastikan, tidak ada yang berbeda. Pria itu tetap orang yang sama, orang yang sangat dihindari oleh Tania.
"Apa yang kamu lihat?” bisik pria itu dengan suara rendah, membuat Tania merinding. “Kamu harus membayar mahal atas apa yang sudah kamu lakukan padaku nanti.”
“Ma-maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau Anda–”
"Mengajukan pengunduran diri untuk hal bodoh seperti ini?" Pria itu menyela. Ia mengangkat sebelah alisnya dengan senyum miring, seolah mengejek Tania.
Mendengar hal itu, Tania hanya menggigit bibir bawahnya sembari menunduk dalam, menyesali kebodohannya. Mengorbankan banyak hal dan pada akhirnya ia harus menanggung semuanya sendirian.
“Angkat kepalamu,” ucap Ray tiba-tiba. Tatapan matanya kini terarah ke depan. “Fokus ke depan. Menyesali perbuatanmu sekarang toh tidak ada gunanya.”
Tania mengangkat kepalanya dan tatapannya langsung tertuju pada sang ayah yang duduk di hadapan, siap memulai ijab kabul. Sorot mata pria paruh baya itu tampak lelah, mungkin karena tekanan dari keluarga besar yang khawatir menanggung malu dan omongan tetangga.
Tania juga lelah. Ia juga malu. Namun, melihat sang ayah dalam kondisi yang sama, ia jadi tidak tega.
Karenanya, ia menegakkan tubuhnya dan menatap lurus ke depan.
“Ini … terima kasih sudah membantu saya, Pak.” Wanita itu bergumam pada akhirnya.
Ray mendengus. “Simpan ucapan terima kasih itu,” balasnya. “Ini tidak gratis.”
Ucapan itu membuat Tania melirik ke samping. “Y-ya?”
“Kamu tetap harus membayar bantuanku hari ini. Dengan mahal.”
“Tania,” tegur Ray saat Tania tidak memperhatikannya.“Iya, ada apa sayang?” tanya Tania. Ia keasikan bertukar pesan dengan Maudy, membuat Tania tidak memperhatikan apa yang dikatakan Ray.“Kamu dengar tidak apa yang aku katakan?”Tania kebingungan, ia bahkan tidak ingat kalau Ray berbicara sesuatu padanya. Namun untuk menyelamatkan dirinya, Tania hanya mengangguk pelan, tampak jelas kalau ia sendiri ragu.“Coba jelaskan ulang apa yang aku katakan tadi.”Tania jadi diam seribu bahasa, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan tidak tahu apa saja yang dikatakan Ray.“Kau tidak tahu ‘kan.” Ray menyentil dahi Tania, membuat Tania meringis.“Sayang,” rengeknya, mengusap dahinya.“Makanya kalau aku bicara itu dengarkan. Jangan hanya fokus pada ponselmu. Jika kau terus seperti ini, aku akan mematahkan ponselmu.”Tania langsung meletakkan ponselnya di meja. Ia tersenyum menatap Ray, seolah bersikap manis. Menunjukkan bahwa dirinya akan berperilaku baik.“Apa yang tadi kamu katakan, sayan
Tania merasa aneh, Juan tidak pernah lagi menampakkan batang hidungnya. Juan seolah menghilang begitu saja. Ray juga tidak pernah membahas tentang Juan, bahkan saat Tania bertanya, tidak ada yang memberikan jawaban.“Sayang, aku tidak pernah lagi melihat Juan. Apakah dia sakit?” tanya Tania pada suaminya, Ray.“Tania, sudah berapa kali aku katakan. Jangan pernah membahas tentang laki-laki lain. Aku tidak suka,” jawab Ray, mendengus kesal. Iya bahkan melepaskan pelukannya dan menatap Tania tajam.“Aku ‘kan hanya bertanya karena khawatir, lagipula dia sahabat kamu ‘kan.”Tania bergumam pelan, namun masih bisa didengarkan oleh Ray. Hal itu membuat Ray semakin kesal.“Sayang, kamu marah?” Melihat Ray yang langsung memutar tubuhnya, berbaring membelakangi Tania, membuat Tania menyadari kalau Ray benar-benar kesal. Tania lalu memeluk Ray dari belakang. Tania tidak bisa membiarkan Ray kesal, karena itu bisa berdampak pada hal lainnya juga. Jadi kunci segalanya berjalan baik adalah membuat
“Sayang, lihat bukankah ini sangat lucu.” Tania yang antusias, jadi terkejut saat melihat bukan Ray yang ada di sebelahnya.“Iya, itu menggemaskan, cocok untuk Rose,” jawab Juan dengan senyuman tulus yang ia tunjukkan.“Di mana, Ray?” tanya Tania yang langsung menyadari ketidakhadiran Ray di dekatnya.Tania mengedarkan pandangan matanya, mencari keberadaan Ray. Namun, Ray tidak ada di mana pun. Saat ini hanya ada Tania dan juga Juan.“Mau ke mana? Bukankah kau ingin melihat pakaian untuk Rose?” Juan menarik tangan Tania yang hendak pergi. Hal itu membuat Tania menatap Juan heran, ini kali pertama Juan bersikap seperti ini.“Lepaskan.” Tania menarik tangannya yang digenggam oleh Juan.Tania benar-benar merasa tidak nyaman di dekat Juan. Tania merasa ada yang mengganjal dari sikap Juan. Dia tidak seperti biasanya.“Ray harus kembali ke kantor, karena itulah aku yang menemani kamu di sini,” jelas Juan.“Mengapa dia tidak mengatakannya padaku?” protes Tania, seharusnya Ray mengatakannya p
Tani duduk dengan gelisah di atas tempat tidur, ia tidak bisa turun atau bahkan meninggalkan tempat tidur tanpa izin Ray. Kecuali jika Tania sanggup menerima hukuman dua kali lipat, maka ia bisa bebas membangkang.“Dia kemana sih,” gerutu Tania, kesal. Ray sudah pergi sejak tadi dan belum kembali juga. Padahal Ray mengatakan kalau ia tidak akan lama.Karena penasaran, Tania akhirnya memberanikan diri untuk membangkang. Ia harus turun ke bawah dan melihat apa yang terjadi.Tania merasa tidak bisa tenang. Ia sangat yakin kalau Ray dan Juan akan menghukum pengawal dan mungkin juga asisten rumah. Padahal ini tidak ada hubungannya dengan mereka, semua ini murni kesalahan Tania. “Jangan sampai mereka menghukum orang yang tidak bersalah,” gumam Tania pelan.Dan seperti dugaan Tania, saat ia sampai di bawah. Juan sedang mendisiplinkan para pengawal dan seluruh asisten rumah, termasuk Ma Cee. Tania segera menghampirinya, meskipun harus dengan tertatih-tatih karena kakinya yang sedang sakit.
Rapat sedang berlangsung saat telepon Juan terus berdering, sehingga ia terpaksa meninggalkan rapat.Juan mulai curiga saat melihat banyak panggilan tidak terjawab dari telepon rumah, pengawal dan sekarang telpon dari Ma Cee menggunakan nomor pribadinya. Biasanya Ma Cee tidak menggunakan nomor pribadinya untuk menelpon.“Ada apa Ma Cee?” tanya Juan.“Nona Tania … Nona Tania tidak sadarkan diri, Nona Tania terluka, kakinya terluka dan mengeluarkan banyak darah.”Jantung Juan terasa berhenti berdetak mendengar suara ketakutan Ma Cee. Dalam keadaan darurat apa pun itu, Ma Cee biasanya selalu tenang. Namun, sekarang terdengar jelas suara Ma Cee yang bergetar disertai napasnya yang memburu, menunjukkan dengan jelas betapa takut dan khawatirnya Ma Cee.Juan memutar tubuhnya menatap pintu ruang rapat. Jika ia memberitahukan pada Ray sekarang, maka rapat akan terhenti dan semuanya harus ia susun kembali dari awal. Namun jika Juan tidak memberitahukan pada Ray sekarang, maka Juan tidak bisa me
“Apakah kamu ingin ikut ke kantor?” tanya Ray. Tania yang baru bangun dibuat terkejut dengan pertanyaan Ray. Yang benar saja, bagaimana mungkin Tania tiba-tiba muncul di kantor setelah semua yang terjadi. “Tidak, aku di rumah saja,” jawab Tania cepat.“Aku takut jika kau akan bosan di rumah,” ujar Ray, berjalan mendekati Tania yang masih duduk di tempat tidur.“Sudah tidak ada Rose yang akan mengganggumu,” ujar Ray lagi, mengusap wajah Tania yang memerah.Rose kembali ke luar negeri untuk melanjutkan akademik. Sebelumnya Rose memang tidak dikeluarkan, sehingga ia masih terdaftar sebagai siswa di sana. Meskipun berat, Tania tidak punya pilihan lain selain melepas Rose. Lagipula itu juga permintaan Rose yang ingin kembali belajar dan bermain bersama teman-temanya.“Aku bisa pergi ke pantai yang di depan rumah, apakah boleh?” tanya Tania.“Boleh, pergilah bersama asisten rumah dan beberapa pengawal.”“Ray,” ujar Tania memelas. Tania tahu, hubungannya dengan Ray sudah berubah, bukan l