Julian berdiri lebih tegak, ekspresinya serius. “Sudah kami upayakan, Presdir. Tapi penarikan tidak bisa dilakukan secepat biasanya.”Ethan mengalihkan pandangan, keningnya mengerut makin dalam. “Alasannya?”Julian tidak langsung menjawab. Ia menimbang kata-katanya sejenak.“Berita ini tersebar terlalu cepat dan terlalu luas. Banyak dari media yang memuatnya bukan mitra tetap kita, jadi jalur komunikasi lebih panjang.“Selain itu … beberapa redaksi menyampaikan bahwa mereka mendapat tekanan dari pihak tertentu untuk tetap mempertahankan berita itu tayang.”Ethan menajamkan tatapan. “Tekanan?”Julian mengangguk pelan. “Ya. Sepertinya ada pihak berpengaruh yang berada di balik penyebaran ini. Mereka bukan hanya menyuplai informasi, tapi juga mengatur penyebarannya melalui media-media besar, sehingga dalam hitungan jam saja, berita itu sudah menjangkau khalayak luas. Kami masih melacak sumber utamanya.”Ethan mendengus pelan, jemarinya berhenti mengetuk. “Jadi ini memang dirancang. Bukan
Sementara Ivy mendengus kasar mendengar hinaan wanita itu. Ia sadar tengah diprovokasi, namun membiarkan dirinya terbawa arus.Karena bagaimana pun, ia tidak terima anak-anak yatim piatu yang tidak bersalah harus dihina seperti ini. Bahkan Isla juga turut terseret dalam perkataan buruk wanita itu.Tatapan Ivy beralih pada Maya yang sudah tenang dan memastikan agar gadis kecil itu mau diturunkan dari gendongan.Maya tetap menempel pada Ivy. Memeluk serta boneka dan paha Ivy bersamaan sambil menyembunyikan wajah sembabnya di sana.Sebelum membalas perkataan wanita itu, Ivy menutup kedua telinga Maya agar anak kecil itu tidak perlu mendengar perkataan buruk yang akan ia lontarkan sebagai balasan.Perlahan Ivy berkata, suaranya tenang namun membawa ancaman yang halus.“Apa yang akan kulakukan dengan anak-anak panti, semua itu bukan urusanmu. Berhentilah bicara buruk di depan anak-anak. Atau aku akan memperpanjang masalah ini.”Wanita itu tersenyum miring sambil mendengus. Kedua matanya me
Sementara itu, tidak jauh dari mobil Ivy yang bergerak sangat pelan di pinggiran toko karena antrian lampu merah, tampak seorang gadis kecil berusia lima tahun tengah berlari kecil ke arah toko mainan yang berdampingan dengan swalayan.Ia lepas dari pengawasan Janet—staf muda di Panti Asuhan St. Hildegarde, yang sedang sibuk memilih beberapa kebutuhan harian anak-anak.Tidak sadar kalau Maya, bocah itu, diam-diam menyelinap keluar dan menyeberang ke toko sebelah dengan mata berbinar saat melihat etalase penuh boneka berbagai jenis yang berwarna-warni.“Martin, berhenti di sini saja,” perintah Ivy cepat, saat ia melihat Maya. Ia tersenyum sambil memperhatikan sekeliling, namun ia tidak melihat Carla atau staf panti bersama bocah itu.Perlahan senyum Ivy memudar, keningnya mengerut. Tidak mungkin Maya berkeliaran sendirian tanpa pengawasan seperti itu.Martin sudah menarik rem perlahan dan menepi.Namun saat Ivy baru saja hendak membuka pintu, suara Martin menahannya.“Mohon tunggu sebe
Sang ayah mertua berdiri tegak di sana dengan bantuan tongkatnya.Pria itu menatap tajam, kening mengerut dalam.Anastasia merasakan keringat dingin mengalir pelan dari pelipisnya. Tubuhnya yang kaku dan tegang, tidak mampu menyembunyikan kecemasannya.Bibirnya sedikit bergetar, ketika ia berusaha bertanya dengan nada biasa. “Oh, Ayah mencariku? Ada yang bisa kubantu?”Jantungnya berdebar keras. Berusaha menutupi keterkejutannya karena kehadiran mertuanya yang entah sejak kapan ada di depan pintu ruang pribadinya.Leonard mendengus pelan. Mau seperti apa Anastasia menyembunyikan kegugupan darinya, ia tahu bahwa ada sesuatu yang sedang terjadi.Walau ia tidak tahu pasti apa yang sedang direncanakan oleh menantunya, setidaknya ia paham gelagat aneh menantunya seperti sekarang.“Aku hanya ingin memastikan undangan makan malam untuk keluarga Hawthorne sudah kau kirim. Tadi aku menemukan salinannya di ruang tamu, belum ditandatangani,” ucapnya datar.Seketika Anastasia sadar kesalahannya.
Ethan masih belum menjawab. Bukan karena ada sesuatu yang disembunyikan, melainkan ia merasa Ivy belum siap untuk mendengar jawabannya. Jawaban bahwa balkon ini hampir tidak berarti apa pun baginya, kalau bukan karena mereka duduk berdua di sini.Lagipula, sepertinya hanya akan menjadi beban untuk Ivy jika ia menjawabnya dengan terlalu jujur.Sementara Ivy yang melihat Ethan tidak kunjung menjawab, langsung mengibaskan tangan pelan di depan wajahnya. “Kau tidak perlu memberitahuku kalau kau tidak mau mengatakannya.”Menghela napas pelan, Ethan memalingkan wajahnya, kini kembali menatap lurus ke depan.Keheningan yang kembali hadir di antara mereka, membuat Ivy merasa sesak. Bukan tidak nyaman, tapi rasanya serba salah.Hingga akhirnya, ia menguap pelan. Memang pura-pura, tapi jujur saja, ia sudah mulai kelelahan. Pasti lebih nyaman berbaring di kasur, dibandingkan harus tersiksa oleh kebisuan di antara mereka.“Ayo, kita turun,” ajak Ethan. Ia sudah bangkit dari duduknya.Begitu Ivy
Sepersekian detik tubuhnya masih membeku.Ivy terlalu terkejut dan tidak tahu harus bagaimana dalam situasi ini.Tapi kesadaran menyentaknya kemudian.Alarm di kepalanya memberi peringatan untuk tidak terbawa suasana.Saat akan mengangkat kepala dan tubuhnya dari dada Ethan, Ivy merasakan lengan kanan pria itu melingkari pinggangnya dan lengan kiri Ethan berada di bawah lehernya.Ia tertahan di sana. Dalam posisi dan jarak yang telah menipis.“Ethan ….”Ivy tidak bisa melanjutkan ucapannya, mana kala bibir Ethan mendarat pelan di keningnya. Bukan sedetik, tapi lima detik. Kecupan ringan, namun dalam, dan meninggalkan bunyi ‘cup’ pelan di keheningan antara mereka.Ivy yang mematung tahu-tahu sudah dibantu berdiri tegak kembali.Ethan masih berada di belakangnya. Wanita itu masih mengerjap-ngerjapkan mata dengan bingung. Shock karena ciuman di yang didapatkannya dari Ethan dalam keadaan sadar sepenuhnya seperti saat ini.Hangat bibir Ethan masih terasa di keningnya. Merambat pelan sa