Ivy tidak pernah lupa hari ketika keluarganya tercerai-berai.
Usianya baru sepuluh tahun saat berdiri di tengah ruang tamu keluarga Harrington di Norwick, menyaksikan ibunya menangis sambil menggenggam tangan Isla, saudari kembarnya yang identik.
Ibunya harus pergi meninggalkan keluarga Harrington, dan hanya boleh membawa satu anak. Itu keputusan yang dipaksakan oleh kakek mereka.
Ivy masih ingat bagaimana ibunya memohon, tapi kakeknya tidak mau mendengarkan. Akhirnya, ibunya pergi bersama Isla, meninggalkan Ivy di sana.
Sejak hari itu, mereka menjalani hidup terpisah. Ivy dibesarkan sebagai pewaris Harrington Company oleh kakek dan ayahnya, sementara Isla tumbuh dalam kesulitan ekonomi bersama ibunya.
Ivy merasa sangat bersalah. “Apa dia akan sembuh?” Suaranya serak dan bernada lirih saat bertanya.
Perawat menggeleng pelan. “Kondisinya kritis. Kami sedang berusaha, tapi butuh waktu.”
Ivy menarik napas dalam, cepat-cepat mengusap air mata. Dia tidak mau menangis lagi. Tidak sekarang. Dia harus kuat untuk Isla.
“Ayo, Nyonya Isla, sebaiknya kuantar Anda kembali ke ruang rawat. Anda masih butuh istirahat.”
Ivy memejam. Semua orang telah menganggapnya sebagai Isla.
Namun, jika dipikirkan kembali dari yang terjadi saat ini, semuanya masuk akal.
Saat kejadian, Ivy tidak membawa apa pun selain ponsel di saku jaketnya. Hari itu, dia sedang berjalan santai di sekitar hotel tempatnya menginap, setelah menyelesaikan pertemuan bisnis dengan seorang klien.
Secara tidak sengaja, dia melihat Isla di depan hotel, tampak terburu-buru masuk ke sebuah taksi. Ivy sempat tercenung tidak percaya bahwa ia bisa bertemu kembali dengan Isla di waktu yang tidak terduga.
Tidak ingin kehilangan Isla, Ivy spontan menyusul dan langsung naik ke dalam taksi ikut duduk di samping Isla.
Namun, sebelum sempat berkata apa-apa, taksi itu ditabrak truk di persimpangan.
“Nyonya, mari saya antar ke kamar rawat Anda.” Si perawat mengamit lengan Ivy dan menuntunnya, memaksa Ivy untuk kembali ke kamar rawatnya.
Namun, baru beberapa langkah yang diambilnya untuk kembali ke ruang rawat VIP, suara dari arah belakang menghentikan mereka.
“I-Isla?”
Spontan Ivy menoleh. Ada seorang perempuan muda berdiri beberapa meter di belakang mereka.
Seragam rumah sakit yang dikenakan menunjukkan bahwa wanita itu adalah salah satu staf di sana.
Raut wajah wanita itu tampak ragu, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja dia lihat.
Ivy memandang balik dengan tatapan kosong. Dia masih belum benar-benar menyadari situasi.
Sementara perempuan itu melangkah mendekat dengan hati-hati. Si perawat tadi langsung berujar, “Mara, kau kenal dengan pasien?”
Mara tersenyum kikuk, lalu dia berinisiatif berkata, “Ya, pasien temanku. Biar aku yang mengantarnya ke ruang rawat.”
Ivy tidak mengerti, dia hanya memandang si perawat yang menatapnya bergantian dengan wanita bernama Mara itu, lalu melepas genggamannya di lengan Ivy. “Aku serahkan padamu. Terima kasih, Mara,” kata si perawat sambil tersenyum sebelum meninggalkan mereka berdua.
Sedang wanita bernama Mara langsung mengamit lengan Ivy sambil menatap Ivy dengan mata berkaca-kaca.
Melihat sahabatnya yang terluka seperti ini, rasanya Mara ingin cepat-cepat memeluk Isla. Namun, Mara menahan diri, karena tatapan Isla padanya terlihat berbeda.
“Maaf, kau … siapa?” akhirnya Ivy bertanya.
Mara langsung menutup mulutnya. Tidak percaya dengan yang dia dengar. Kali ini, Mara langsung memeluk Isla. “Kau kehilangan ingatan?”
Ivy diam membiarkan Mara memeluknya, tetapi dia tidak membalas pelukan Mara.
Mara mengurai pelukannya, namun tatapannya berkilat cepat saat menyadari sesuatu. “Kau kehilangan ingatan atau kau adalah … Ivy?”
Ivy tersentak. Mara mengenali dirinya. “Bagaimana kau …”
“Oh, Tuhan.” Mara mendesah lega bercampur frustasi. “Ayo kita kembali ke ruang rawatmu. Aku akan jelaskan di sana.”
Mara menuntun Ivy cepat namun dengan hati-hati menuju ruang rawatnya. Mara dengan telaten dan penuh kelembutan membaringkan Ivy di ranjangnya, tetapi kini matanya sudah memerah menahan tangi
“Aku minta maaf,” kata Ivy disela-sela Mara membaringkannya. “Tapi, bisakah kau jelaskan padaku semua yang kau tahu?”
Setelah selesai membaringkan Ivy dan memastikan wanita itu nyaman, Mara menatap Ivy sendu, air mata yang berusaha dia tahan akhirnya mengalir di pipinya. Mara mengusapnya, sambil menarik salah satu kursi tunggal dan duduk di samping ranjang Ivy. “Aku dan Isla berteman sejak kuliah.”
Lalu, Mara mulai bercerita banyak hal tentang bagaimana dia mengetahui bahwa Isla memiliki kembaran, lalu kehidupan Isla yang sulit selama masa kuliah, hingga setelah kuliah di mana mimpi Isla harus terkubur karena secara tiba-tiba menjadi pelayan di kediaman Winchester.
“Sekarang bagaimana kondisi Isla? Aku tidak tahu kalau dia mengalami kecelakaan seperti ini sampai aku melihatmu di lorong tadi, makanya kupikir kau adalah Isla.”
“Sekarang dia ada di ICU. Wajahnya hancur,” kata Ivy lirih.
Mara menutup mulutnya. “Oh, tidak. Isla yang malang. Mengapa wanita baik sepertinya harus mengalami penderitaan yang tidak berujung.” Dia mengusap sudut matanya yang basah, lalu menatap Ivy dengan ekspresi sedih. “Dia tidak pantas mengalami semua ini.”
Ivy mengerutkan kening, jantungnya masih berdebar. “Apa maksudmu? Apa yang tidak pantas dia alami?”
Ethan tidak membuang waktu. Tangannya dengan cepat membuka ikat pinggang dan ritsleting celananya, menurunkannya sebatas bisa keluar dari desakan sebelumnya. Sekarang kejantanannya terbebas, keras dan berdenyut di antara paha Ivy. “Lihat ini, Sayang,” katanya serak, tangannya menggenggam batangnya, menggosokkan ke celana dalam Ivy, merasakan kelembapan yang membasahi kain. “Ini semua untukmu. Kau mau aku masuk sekarang?” “Ya, Ethan, masuklah ...” desah Ivy, suaranya nyaris frustrasi. Lalu tangannya menarik tepian celana dalamnya sendiri ke samping, memperlihatkan kewanitaannya yang basah dan siap. Ia pun menggeser pinggulnya, memposisikan diri tepat di atas batang Ethan, kepala kejantanan pria itu menyentuh pintu masuknya. “Aku ingin merasakan milikmu itu dalam-dalam,” racaunya, matanya terkunci pada Ethan, penuh hasrat. Ivy benar-benar terdesak oleh dorongan gairah yang membuatnya ingin bergerak secara brutal dan berucap terlewat vulgar. Dorongan itu semakin menghantam. Mem
Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu di mata Ivy. Campuran letih, lega, tapi juga dorongan yang sulit dijelaskan. Ethan tidak banyak bertanya lagi. Ia menepikan mobil ke sisi jalan, membiarkan mesin perlahan berhenti. Sudah ia persiapkan hal ini sebelumnya sebagai antisipasi situasi, sehingga para bawahannya mengerti apa yang harus dilakukan, tanpa menunggu perintahnya lagi secara langsung. Mereka paham untuk membuat jarak. Dan di dalam mobil, suasana hening menyelimuti kedua insan itu. Ivy memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti itu—sebuah dorongan yang begitu kuat dan agak mengganggu. Namun satu hal yang pasti ... di tengah semua kekacauan hari ini, yang ia butuhkan hanyalah Ethan. Ethan memiringkan tubuhnya, menatap wajah Ivy dari samping. “Kau baik-baik saja, Istriku?” tanyanya lembut. Alih-alih menjawab, Ivy membuka matanya dan menatap Ethan. Ada senyum samar di sudut bibirnya. Bukan senyum lega, tapi semacam sinyal bahw
Langkah Ivy baru sampai di ambang pintu ketika suara Stella meledak di belakangnya. “Kau pikir kau siapa, hah?!” teriaknya. “Kau cuma sampah yang kebetulan dilindungi Ethan! Tidak tahu malu! Tanpa dia, kau bukan siapa-siapa!” Ivy berhenti. Ia tidak menoleh. Stella semakin marah karena sikap tenang dan acuh Ivy. “Jangan berlagak tenang! Aku tahu kau bukan Isla! Aku tahu kau cuma perempuan murahan yang—” Suaranya terhenti begitu Ivy berbalik cepat. Tatapan Ivy tajam, cukup untuk membuat Stella menelan ludah tanpa sadar. Tapi rasa marahnya menutup rasa takut itu. Sehingga ia melangkah maju dan mengayunkan tangan ke arah Ivy. Gerakan Stella cepat, tapi Ivy lebih cepat lagi. Tangan Ivy menahan pergelangan Stella di udara, cengkeramannya kuat dan terkendali. Dalam sekejap, suara desis keluar dari bibir Stella. Antara terkejut dan kesakitan. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu,” ucap Ivy datar, dingin, nyaris berbisik tapi bernada tegas. Ia mendorong tangan Stella menjauh, l
Ivy hanya mendengarkan. Tidak satu pun perubahan di wajahnya, karena ia menyadari kalau itu cuma asumsi Stella semata. “Hmm ... kau juga licik dalam menilai.”Stella mendengus. “Jadi kau mengakui bahwa dirimu bukan Isla?”Ivy tersenyum tipis. Semakin yakin Stella hanya tahu sebatas itu dan terus bicara menurut pendapat pribadi, menduga tanpa bukti. Tapi agar lebih yakin, ia harus mendorong jalang licik itu lebih jauh lagi. “Aku tidak perlu mengakui sesuatu yang tidak bisa kau buktikan.”Langkahnya maju dua langkah, semakin dekat ke Stella. “Justru kau yang perlu menjawab pertanyaanku.”Tatapan Stella berubah waspada. Mendengus, sambil menyeringai. “Untuk apa aku harus menjawab pertanyaanmu?”Ivy menaikkan kedua alis, melipat tangan di depan dada, lalu mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Sudah kuduga saat kau bilang akan menunjukkan bukti padaku soal identitas itu, rupanya hanya bualanmu saja, ya Stella?”Ekspresi Stella berubah. Tubuhnya menegang,
Ethan mengangguk pelan, tapi saat Ivy akhirnya menarik tangannya perlahan, genggaman pria itu ikut melemah, namun masih menahan dengan satu hal kecil—ujung jari kelingking Ivy yang tetap ia tahan sampai dilepas oleh wanita itu pada akhirnya.Sebelum berbalik, Ivy melambai sekilas. Ethan membalas, menatap lurus ke arah wanitanya yang sudah berbalik pergi.Di halaman mansion, mobil hitam sudah menunggu. Martin berpakaian kasual pagi ini. Pria itu menunduk hormat begitu Ivy naik ke kursi belakang.Tidak ada tanda-tanda pengawalan mencolok, tapi dua kendaraan lain tampak berjarak di depan dan belakang mobil itu.Sudah jelas orang-orangnya Ethan menjaga perjalanannya, bahkan sampai di tempat tujuan.Mereka bukan pengawal berseragam. Hanya memantau yang selalu ada di radius pandang, memastikan Ivy tidak benar-benar sendirian, tapi juga tidak membatasi ruang geraknya.Sesuai permintaannya pada Ethan.Perjalanan menuju ke tempat persembunyian Stella memakan waktu hampir dua jam. Jalanan semak
Ivy terdiam beberapa saat, memandangi pantulan wajah mereka di cermin. Ada senyum kecil yang perlahan terbit di bibirnya. “Aku ingin menemuinya sendirian, Ethan.”Pria itu mengerutkan kening, tapi Ivy lebih dulu menyentuh pipi Ethan, lembut namun menenangkan.“Bukan karena aku tidak mau kau ada di sana,” katanya dengan nada hangat. “Tapi kalau kau ikut, pembalasan itu tidak akan terasa seperti seharusnya. Aku ingin dia tahu siapa yang datang untuknya. Aku sendiri.”Ethan menatap Ivy lama, seolah menimbang sesuatu di dalam pikirannya. “Dia berbahaya dan licik, Sayang. Aku tidak ingin kau sendirian di dekatnya.”Ivy tersenyum kecil, lalu berbisik di telinga Ethan penuh kelembutan. “Aku tidak akan benar-benar sendirian. Aku tahu kau akan memastikan semuanya aman, ‘kan?”Ethan tidak menjawab, tapi dari cara rahangnya mengeras, Ivy tahu tebakannya tepat. Bahwa Ethan akan tetap memantau, walau dari jauh sekalipun.“Jadi biarkan aku melakukannya dengan caraku,” lanjut Ivy. “Kalau kau ada di