Mara menarik napas dalam, seolah mempersiapkan diri untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Kau tahu, kehidupan Isla berubah sejak menjadi pelayan di kediaman Winchester. Tidak lama sejak dia berada di sana, Isla menikah dengan cucu tertua sekaligus pewaris keluarga Winchester.”
Kening Ivy berkerut. Ia langsung ingat pria pertama yang ia lihat ketika membuka mata tadi. Namun, Ivy membiarkan Mara melanjutkan ceritanya. Isla baru dua bulan bekerja sebagai pelayan di kediaman Winchester, namun Mara tidak mengetahui alasan mengapa Isla tiba-tiba harus bekerja di sana. Justru setelah dua bulan itu, Mara mendapatkan berita bahwa Isla akan menikah dengan Ethan Winchester. Ethan Winchester adalah pewaris sekaligus presdir Winchester Corporation. Pria tampan yang sangat dielukan dan diincar oleh seluruh wanita di Alden. Dia juga merupakan orang paling berpengaruh di kota itu. Pada satu malam ketika Isla telah menjadi pelayan di sana, Isla diminta mengantarkan sebuah minuman untuk Tuan Muda Winchester. Isla hanya menuruti perintah itu, tetapi tidak lama setelah Isla mengantarkan minuman itu, Isla justru ditarik paksa masuk ke dalam kamar Ethan. Beberapa waktu setelah Isla ditarik paksa, Isla keluar dari kamar Ethan dengan pakaian dan tubuh yang berantakan. Keesokan paginya, entah bagaimana tetapi Kakek Ethan mengetahui skandal itu dan memaksa Ethan untuk menikahi Isla secepatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban, atau sang Kakek tidak akan mewariskan hartanya sepeserpun pada Ethan jika Ethan tidak menikahi Isla. Sebenarnya Isla juga tidak menginginkan pernikahan itu, bahkan ia juga tidak menginginkan malam itu terjadi. Namun, Isla menerima takdirnya dan berusaha menjadi istri yang baik untuk Ethan, karena dia tidak punya pilihan. Akan tetapi, pernikahannya tetap tidak berakhir bahagia meskipun Isla telah berusaha menjadi istri yang baik untuk Ethan dan menantu keluarga Winchester. Ibu mertuanya tidak menganggap Isla karena asal-usulnya yang tidak setara dengan keluarga Winchester. Ethan memperlakuan Isla dengan dingin, dan bahkan tidak pernah menganggap Isla ada, serta ada juga Stella, wanita yang selalu ada di sekitar Ethan—teman kecil pria tersebut, sekaligus sekretarisnya. Isla sadar bahwa dia memang tidak pantas untuk Ethan, trauma malam itu juga menghantuinya. Isla juga semakin tertekan dengan sikap Ethan dan cemoohan orang-orang di sekitarnya, karena menganggapnya licik dengan menjebak Ethan untuk bisa dinikahi pria itu. Padahal Isla tidak tahu apa-apa. Dan, semua orang menganggap bahwa wanita yang pantas bersanding dengan presdir Winchester Corp. adalah Stella, bukan Isla si pelayan rendahan. Selama dua tahun pernikahan, Isla menerima perlakuan itu semua, hingga pada satu malam, sebuah kejadian seperti ‘malam itu’ kembali terjadi, sayangnya pria yang tidur di samping Isla bukanlah Ethan, melainkan pria asing. Sekali lagi, Isla tidak tahu apa-apa, namun kali ini karena statusnya adalah istri Ethan Winchester, kejadian itu membuat malu Ethan hingga dia ingin menceraikannya tanpa mendengar penjelasan Isla. Perceraian itu membuat Isla merasa tersudutkan. Semua pihak menyalahkannya. Mengecam atas perbuatan yang tidak ia lakukan dan menghinanya tanpa henti. Isla menganggap bahwa di dunia ini ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Sehingga ia berniat untuk mengakhiri hidupnya. Namun sebelum melakukan upaya bunuh diri, Isla ingin menikmati sisa hari terakhirnya di salah satu hotel mewah yang ada di Alden. Dengan tabungan yang tersisa, ia menyewa sebuah kamar. Lalu melakukan hal-hal yang disukainya tanpa harus merasakan tekanan untuk satu hari terakhir itu saja. Menikmati dan memanjakan dirinya dengan semua fasilitas yang disediakan hotel, sebelum ia mati. Mendengar cerita Mara, dada Ivy begitu sesak, hatinya seperti tersayat belati. Bajunya basah karena air mata yang tidak berhenti mengalir sejak tadi. Mara bangkit dan memeluk Ivy. Dalam pelukannya, bahu Ivy berguncang hebat. Penyesalan di hati Ivy menyesakkan dadanya. Seharusnya Ivy tidak pernah berhenti untuk mencari keberadaan Isla dan ibunya sejak dulu, walau harus mencari sampai ke belahan dunia lain. Atau bahkan ketika kakeknya menutup akses pencariannya. Ivy mengurai pelukan Mara ketika dia teringat akan satu hal. “Ibuku, ibu Isla. Bagaimana keadaannya sekarang? Sejak tadi kau tidak menceritakan soal ibuku.” Pandangan Mara kembali berubah sendu dan kepalanya menggeleng. “Maafkan aku, aku tidak tahu soal keberadaan ibu kalian. Isla tidak pernah memberitahuku soal itu.” Ivy terdiam. Ia mulai memahami sebagian luka yang Isla alami, tapi masih ada satu bagian yang belum terungkap, ibunya. Namun sekarang bukan waktunya untuk mencari jawaban. Ada hal yang lebih penting. Orang-orang yang telah menyakiti Isla … Satu per satu harus membayar harga atas apa yang telah mereka lakukan.Ethan tidak membuang waktu. Tangannya dengan cepat membuka ikat pinggang dan ritsleting celananya, menurunkannya sebatas bisa keluar dari desakan sebelumnya. Sekarang kejantanannya terbebas, keras dan berdenyut di antara paha Ivy. “Lihat ini, Sayang,” katanya serak, tangannya menggenggam batangnya, menggosokkan ke celana dalam Ivy, merasakan kelembapan yang membasahi kain. “Ini semua untukmu. Kau mau aku masuk sekarang?” “Ya, Ethan, masuklah ...” desah Ivy, suaranya nyaris frustrasi. Lalu tangannya menarik tepian celana dalamnya sendiri ke samping, memperlihatkan kewanitaannya yang basah dan siap. Ia pun menggeser pinggulnya, memposisikan diri tepat di atas batang Ethan, kepala kejantanan pria itu menyentuh pintu masuknya. “Aku ingin merasakan milikmu itu dalam-dalam,” racaunya, matanya terkunci pada Ethan, penuh hasrat. Ivy benar-benar terdesak oleh dorongan gairah yang membuatnya ingin bergerak secara brutal dan berucap terlewat vulgar. Dorongan itu semakin menghantam. Mem
Tatapan mereka bertemu. Ada sesuatu di mata Ivy. Campuran letih, lega, tapi juga dorongan yang sulit dijelaskan. Ethan tidak banyak bertanya lagi. Ia menepikan mobil ke sisi jalan, membiarkan mesin perlahan berhenti. Sudah ia persiapkan hal ini sebelumnya sebagai antisipasi situasi, sehingga para bawahannya mengerti apa yang harus dilakukan, tanpa menunggu perintahnya lagi secara langsung. Mereka paham untuk membuat jarak. Dan di dalam mobil, suasana hening menyelimuti kedua insan itu. Ivy memejamkan mata sebentar, menarik napas panjang. Ia tidak tahu kenapa tubuhnya bereaksi seperti itu—sebuah dorongan yang begitu kuat dan agak mengganggu. Namun satu hal yang pasti ... di tengah semua kekacauan hari ini, yang ia butuhkan hanyalah Ethan. Ethan memiringkan tubuhnya, menatap wajah Ivy dari samping. “Kau baik-baik saja, Istriku?” tanyanya lembut. Alih-alih menjawab, Ivy membuka matanya dan menatap Ethan. Ada senyum samar di sudut bibirnya. Bukan senyum lega, tapi semacam sinyal bahw
Langkah Ivy baru sampai di ambang pintu ketika suara Stella meledak di belakangnya. “Kau pikir kau siapa, hah?!” teriaknya. “Kau cuma sampah yang kebetulan dilindungi Ethan! Tidak tahu malu! Tanpa dia, kau bukan siapa-siapa!” Ivy berhenti. Ia tidak menoleh. Stella semakin marah karena sikap tenang dan acuh Ivy. “Jangan berlagak tenang! Aku tahu kau bukan Isla! Aku tahu kau cuma perempuan murahan yang—” Suaranya terhenti begitu Ivy berbalik cepat. Tatapan Ivy tajam, cukup untuk membuat Stella menelan ludah tanpa sadar. Tapi rasa marahnya menutup rasa takut itu. Sehingga ia melangkah maju dan mengayunkan tangan ke arah Ivy. Gerakan Stella cepat, tapi Ivy lebih cepat lagi. Tangan Ivy menahan pergelangan Stella di udara, cengkeramannya kuat dan terkendali. Dalam sekejap, suara desis keluar dari bibir Stella. Antara terkejut dan kesakitan. “Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu,” ucap Ivy datar, dingin, nyaris berbisik tapi bernada tegas. Ia mendorong tangan Stella menjauh, l
Ivy hanya mendengarkan. Tidak satu pun perubahan di wajahnya, karena ia menyadari kalau itu cuma asumsi Stella semata. “Hmm ... kau juga licik dalam menilai.”Stella mendengus. “Jadi kau mengakui bahwa dirimu bukan Isla?”Ivy tersenyum tipis. Semakin yakin Stella hanya tahu sebatas itu dan terus bicara menurut pendapat pribadi, menduga tanpa bukti. Tapi agar lebih yakin, ia harus mendorong jalang licik itu lebih jauh lagi. “Aku tidak perlu mengakui sesuatu yang tidak bisa kau buktikan.”Langkahnya maju dua langkah, semakin dekat ke Stella. “Justru kau yang perlu menjawab pertanyaanku.”Tatapan Stella berubah waspada. Mendengus, sambil menyeringai. “Untuk apa aku harus menjawab pertanyaanmu?”Ivy menaikkan kedua alis, melipat tangan di depan dada, lalu mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Sudah kuduga saat kau bilang akan menunjukkan bukti padaku soal identitas itu, rupanya hanya bualanmu saja, ya Stella?”Ekspresi Stella berubah. Tubuhnya menegang,
Ethan mengangguk pelan, tapi saat Ivy akhirnya menarik tangannya perlahan, genggaman pria itu ikut melemah, namun masih menahan dengan satu hal kecil—ujung jari kelingking Ivy yang tetap ia tahan sampai dilepas oleh wanita itu pada akhirnya.Sebelum berbalik, Ivy melambai sekilas. Ethan membalas, menatap lurus ke arah wanitanya yang sudah berbalik pergi.Di halaman mansion, mobil hitam sudah menunggu. Martin berpakaian kasual pagi ini. Pria itu menunduk hormat begitu Ivy naik ke kursi belakang.Tidak ada tanda-tanda pengawalan mencolok, tapi dua kendaraan lain tampak berjarak di depan dan belakang mobil itu.Sudah jelas orang-orangnya Ethan menjaga perjalanannya, bahkan sampai di tempat tujuan.Mereka bukan pengawal berseragam. Hanya memantau yang selalu ada di radius pandang, memastikan Ivy tidak benar-benar sendirian, tapi juga tidak membatasi ruang geraknya.Sesuai permintaannya pada Ethan.Perjalanan menuju ke tempat persembunyian Stella memakan waktu hampir dua jam. Jalanan semak
Ivy terdiam beberapa saat, memandangi pantulan wajah mereka di cermin. Ada senyum kecil yang perlahan terbit di bibirnya. “Aku ingin menemuinya sendirian, Ethan.”Pria itu mengerutkan kening, tapi Ivy lebih dulu menyentuh pipi Ethan, lembut namun menenangkan.“Bukan karena aku tidak mau kau ada di sana,” katanya dengan nada hangat. “Tapi kalau kau ikut, pembalasan itu tidak akan terasa seperti seharusnya. Aku ingin dia tahu siapa yang datang untuknya. Aku sendiri.”Ethan menatap Ivy lama, seolah menimbang sesuatu di dalam pikirannya. “Dia berbahaya dan licik, Sayang. Aku tidak ingin kau sendirian di dekatnya.”Ivy tersenyum kecil, lalu berbisik di telinga Ethan penuh kelembutan. “Aku tidak akan benar-benar sendirian. Aku tahu kau akan memastikan semuanya aman, ‘kan?”Ethan tidak menjawab, tapi dari cara rahangnya mengeras, Ivy tahu tebakannya tepat. Bahwa Ethan akan tetap memantau, walau dari jauh sekalipun.“Jadi biarkan aku melakukannya dengan caraku,” lanjut Ivy. “Kalau kau ada di