Mau ship Rangga atau Julian, ya, enaknya...?
"Kenapa kamu kelihatan tidak senang begitu?""Biasa saja. Aku sedang sibuk. Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu diskusikan la-""Baik, baik, Tuan Presiden Direktur yang terhormat! Saya permisi dulu." Julian tersenyum tipis dan meninggalkan Rangga.Dion yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka juga merasa sedikit heran. Dia sangat hafal bagaimana ekspresi Rangga ketika sedang memikirkan masalah yang cukup rumit, biarpun tidak ada orang yang tahu selain dirinya."Pak ...""Dion, siapkan uang kekurangan pembayaran katering Vina.""Tapi, Pak, baru saja Pak Julian menam-""Julian menggunakan uang pribadinya. Semua pembiayaan harusnya berasal dari perusahaan kita. Suruh Vina mengembalikan uang itu pada Julian nanti.""Bagaimana kalau Pak Mahendra sampai tahu? Saya dengar, tadi beliau sendiri yang menego setengah harga.""Kakek pasti juga tidak akan senang jika mendengar orang-orang menggunjingkan Cakrawala Group tidak sanggup membayar dengan harga yang sudah ditentukan.""Baik, P
"Bunda, kata Tante Cantik tadi, Om Ganteng mau jadi ayah aku."Bocah kecil itu menepuk-nepuk lembut pipi Vina. Vina menggenggam tangan kecil putrinya dan mengecup berulang kali. Dibelainya rambut lembut hitam sebahu Rachel dengan penuh kasih sayang."Rachel belum mengantuk?" Vina mencoba mengalihkan perhatian Rachel.Rachel menggeleng. Mata Rachel belum sepenuhnya terpejam karena hatinya menggebu ingin mengetahui bahwa apa yang dikatakan Belinda memang benar. Rachel sedikit berharap Om Ganteng sungguh mau menjadi ayahnya.Rachel ingin memiliki seorang ayah. Namun, Rachel takut Vina akan bersedih. Dia pun menyimpan keinginannya dalam hati karena tak mau melihat Vina menangis, seperti sebelumnya ketika dia menanyakan di mana ayahnya.*Flashback on.*'Kenapa aku tidak punya ayah seperti teman-teman, Bunda?'Vina tercengang oleh pertanyaan Rachel. Dia juga tahu jika suatu hari nanti Rachel pasti akan bertanya tentang ayahnya. Namun, Vina tak menyangka pertanyaan itu akan datang lebih cepat
"Tidak perlu. Aku akan memberimu satu tugas lagi. Cari tahu, dengan siapa saja dia berhubungan setelah hari itu sampai sekarang.""Baik, Pak. Biaya-""Aku akan membayar sisanya jika kamu bisa memberi hasilnya dalam waktu satu hari." Rangga melempar satu amplop lain yang berisi uang ke atas meja."Siap, Pak! Saya akan menghubungi Anda besok, di jam yang sama seperti sekarang."Selepas informan itu pergi, Rangga segera menyesal karena memberinya waktu terlalu lama. Dia bisa saja minta lebih cepat, sebab Rangga ingin segera tahu dan membuktikan nalurinya.Apakah rasa aneh yang Rangga rasakan sungguh berasal dari hubungan darah antara ayah dan anak? Atau hanya karena halusinasi yang tercipta akibat rasa bersalah karena telah merenggut mahkota ibunya Rachel?Rangga langsung mengirim pesan pada informan itu untuk memberikan hasil penyelidikan lebih cepat. Setidaknya, Rangga ingin tahu sebelum hari berganti malam.Dan sekarang, matahari tengah berdiri di atas kepala. Rangga bergegas meninggal
"Acaranya sudah siap, Pak." Dion membuka pintu belakang untuk Rangga.Tak seperti hari-hari lalu, wajah Rangga tampak berseri-seri. Beban di dadanya telah terangkat. Tak ada lagi keraguan atau perasaan mengganjal. Rangga hanya perlu melakukan satu hal lain untuk mendapatkan bukti nyata atas segala keresahan yang dia rasakan selama beberapa hari terakhir. Meskipun dia sudah tak begitu membutuhkan itu lagi."Sebenarnya, acara ini untuk apa, Pak?" tanya Dion sambil melirik pada spion yang memperlihatkan sosok Rangga. Dion sungguh penasaran dengan tingkah atasannya akhir-akhir ini. Belum lama ini juga, Rangga meminta Dion untuk mengadakan acara untuk semua playgroup di kota mereka.Sekarang, Rangga kembali membuatkan acara kesehatan di seluruh playgroup yang ada, tanpa alasan yang jelas. Yang menjadikan Dion semakin heran, Rangga selalu mendatangi tempat di mana putri Vina berada."Bukan apa-apa.""Atau karena Vina tidak mau menerima uang pembayaran kemarin itu?""Apa hubungannya dengan
"A-apa maksud Anda? Anda tidak bisa berbicara sembarangan seperti itu, Pak!"Vina berusaha terus menatap Rangga, meskipun dadanya bergemuruh hebat. Dia tak ingin Rangga merasa dirinya benar.Selain itu, dari mana Rangga tahu? Bagaimana kalau Rangga tak mengantar Rachel kembali dan malah membawanya pergi? Bagaimana jika Rangga ingin melenyapkan Rachel untuk menutup aibnya?!Memikirkan semua itu saja membuat Vina gamang. Semilir angin membuat matanya pedih. Namun, Vina berusaha untuk tak memejamkan mata agar air di matanya tak tumpah."Kenapa kamu menyembunyikannya? Apa tujuanmu, Vina?" tanya Rangga dengan intonasi menekan."Saya tidak menyembunyikan apa pun dari Anda! Karena Rachel bukan anak Anda!" Vina tersenyum sinis. "Kenapa Anda bisa berkhayal sampai sejauh itu?"Rangga meraih tangan Vina dan mencengkeramnya begitu kuat. Vina jadi membayangkan peristiwa nahas itu. Tubuh Vina bergetar oleh ketakutan yang merayap dari mata kaki hingga memenuhi sekujur tubuhnya.Vina tak bisa bergerak
"Jangan ikut campur urusanku." Rangga menegaskan sekali lagi, lalu pergi.Tepat setelah Rangga duduk di depan kemudi, ponsel pintarnya bergetar. Nama Belinda terpampang di layar. Rangga sengaja mengabaikan panggilan Belinda, lalu mulai meninggalkan tempat itu. Belum sampai beberapa meter, Belinda kembali menghubungi.Rangga hanya membiarkan panggilan Belinda mati dengan sendirinya. Tetapi, Belinda tak akan berhenti sampai Rangga mengangkat telepon.Dia menepikan mobil sambil menunggu Belinda kembali menghubungi. Setelah mengatur napas, Rangga akhirnya mengangkat panggilan itu.'Sayang ... kenapa tidak diangkat-angkat? Kamu ada di mana sekarang? Aku mencarimu di kantor, tapi kamu tidak ada. Masih ingat 'kan, dua jam lagi kita ke rumah Kakek?'"Ya," jawab Rangga singkat.'Cepat jemput aku di kantormu. Aku tidak mau diantar Dion,' rengek Belinda.Rangga memutus sambungan telepon tanpa menanggapi. Bertemu Julian sudah membuat Rangga merasa sangat sebal, ditambah lagi Belinda yang terus me
"Om, ayo ke cini ...."Ketegangan di antara kedua Cakrawala itu menghilang. Rachel menarik tangan mereka sampai masuk ke ruangan bermain miliknya.Dua pria dewasa tampan itu tampak canggung duduk bersama di tengah ruangan bernuansa merah muda. Tetapi, apa daya? Bocah itu hampir menangis jika salah satu dari keduanya pergi.Hadiah-hadiah dari Rangga dan Julian tertata rapi bagaikan pajangan piala di lemari setinggi satu meter. Dalam sekejap, semua mainan itu ditarik ke lantai oleh gadis kecil itu."Om Tampan yang jadi mamanya, Om Ganteng jadi papanya." Rachel menyerahkan dua boneka untuk mereka berdua."Pfft ... Om Tampan memang seperti ibu-ibu." Julian terkekeh-kekeh, lalu dalam sekejap wajahnya berubah jijik dan seakan-akan ingin memuntahkan sesuatu dari mulutnya. "Ugh, barusan aku memanggil apa? Menggelikan ...."Wajah Rangga merah padam. Kedua tangannya mengepal kuat sampai otot-otot mencuat."Kenapa kamu mainan ini, Rachel?" tanya Rangga datar sambil meletakkan kembali boneka yang
"Vina ... Apa yang kamu lakukan?!" Rangga menggeram marah.Vina menutup mata ketika melihat tangan Rangga mengepal dan bergerak ke arahnya. Namun, tak terjadi apa pun setelahnya. Dia membuka mata dan melihat Rangga yang hanya membuang napas dengan kasar dan kesal.Rangga yang mendapatkan tamparan di pipi, tetapi tangan Vina yang terasa nyeri. Vina terlalu marah dan tanpa sadar tangannya bergerak sendiri. Beruntung, Rachel tak melihat perbuatannya.Saat Julian berpamitan tadi, Vina sedang membersihkan sampah-sampah di toko. Dia hanya mencuci tangan sebentar, lalu kembali ke rumah untuk membawa Rachel bersamanya.Menurut Julian, Rangga juga ada di sana. Namun, Vina tak dapat menemukan siapa pun di rumahnya.Vina lantas menelepon nomor Dion dan diberi tahu keberadaan Rachel. Dengan tergesa-gesa, Vina menyusul mereka.Vina mengitari area taman bermain yang cukup besar dengan panik. Hingga akhirnya, dia menemukan sosok ayah dan anak itu sedang duduk sambil berpelukan di bawah pohon rindang.