Share

Annoying

Author: Essenick
last update Last Updated: 2025-04-24 15:14:01

Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.

Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.

Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.

Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberanikan diri untuk mendekat dan menyapa. "Hai!" serunya dengan ceria, menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya.

Dua orang itu mengalihkan atensinya ke Dila. Dengan percaya diri, Dila mengulurkan tangannya ke arah gadis itu. "Kenalin, namaku Ardila. Kamu bisa panggil aku Dila."

Gadis itu menatapnya sejenak dengan ekspresi yang sulit ditebak—dingin, tapi di baliknya ada sedikit senyuman tipis. Ia akhirnya menjabat tangan Dila dan memperkenalkan dirinya. "Aku Chelsea."

Dila tersenyum kecil, lalu dengan gerakan santai mengeluarkan bekal dari tasnya dan meletakkannya di meja. "Ini bekal buat Mas Vero," katanya sambil mendorong kotak makan ke arah Vero.

Tapi kemudian, ia mengeluarkan satu lagi dan menyodorkannya ke Chelsea. "Dan ini buat kamu."

Chelsea menaikkan alis. "Aku juga dapet?" tanyanya, sedikit terkejut.

Dila mengangguk santai.

Chelsea tertawa kecil sambil menerima bekalnya. "Sering-sering ya, Kak. Aku bisa hemat uang jajan kalau kayak gini terus," selorohnya dengan nada bercanda.

Dila tersenyum menanggapi. "Kamu anak fakultas mana sih? Kayaknya deket banget sama Mas Vero."

Chelsea menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi santai. "Gak tau nih! Dia gak bisa jauh dari aku," ujarnya dengan nada sedikit menyombong.

Dila tertawa kecil, meski di dalam hatinya ada sesuatu yang terasa mengganjal. Tapi ia tetap berusaha terlihat santai. "Kayaknya kita bakal bersaing sih."

Chelsea mengerutkan dahi. "Bersaing? Gak mau ah, aku mager," katanya dengan ekspresi malas.

Dila hendak menanggapi lagi, tapi sebelum sempat berbicara, suara berat Vero tiba-tiba memotong pembicaraan mereka dengan kasar.

"Dila, bisa diem gak sih?! Berisik banget tahu nggak?!"

Suasana yang tadinya masih cukup santai seketika berubah hening.

Vero bahkan sampai berdiri dari kursinya, menatap Dila dengan sorot mata tajam yang membuat dadanya mencelos. Suaranya dingin, ketus, dan penuh kejengkelan—seolah kehadiran Dila memang benar-benar mengganggunya. “So annoying.”

Dila terdiam. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya sedikit menegang. Ia tidak menyangka Vero akan semarah itu, hanya karena ia mengobrol. Kenapa harus sekasar ini?

Tenggorokannya terasa kering, tapi ia tetap memaksakan diri untuk berbicara. "Maaf, Mas," ucapnya pelan.

Tanpa menunggu tanggapan lagi, Dila langsung berbalik dan pergi, meninggalkan meja mereka begitu saja.

Langkahnya cepat, nyaris tergesa-gesa. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak, seperti tekanan kuat yang menghimpit paru-parunya. Perasaan itu kembali lagi. Menyebalkan.

Begitu keluar dari ruang ORMAWA, tangannya dengan cepat merogoh ponsel di saku. Jari-jarinya sedikit gemetar saat ia mencari kontak darurat yang sudah tersimpan apik sejak ia divonis memiliki panic attack.

Laura.

Dila menekan tombol panggil dengan tangan dingin. Nada sambung terdengar beberapa detik sebelum akhirnya suara dari seberang menjawab.

"Halo?"

Dila berusaha menarik napas, tapi udara terasa begitu berat untuk masuk ke paru-parunya. Rasanya seperti tenggelam. Ia mencoba berbicara, suaranya putus-putus.

"Laura… Help… Please…"

Nada suaranya terdengar begitu panik, hampir seperti isakan tertahan.

"Lo di mana?" tanya Laura cepat, suaranya langsung berubah tegas.

Dila mencengkeram bajunya sendiri, mencoba meredam gemetar di tubuhnya. Tapi dadanya semakin sesak, napasnya semakin pendek, semakin tidak terkendali.

"Na… pas gue… pen… dek…"

Ia bisa mendengar Laura menarik napas dalam dari seberang telepon.

"Tunggu, diam di sana. Gue ke sana."

Panggilan terputus.

Dila berusaha mengatur napasnya, tapi semakin ia berusaha, semakin sulit rasanya. Tangannya menumpu dinding di dekatnya, tubuhnya mulai melemas, kepalanya sedikit berkunang-kunang. Pandangannya buram.

Sampai akhirnya…

"Dila!"

Suara itu terdengar seperti alarm di kepalanya. Napasnya masih tersengal, tapi di tengah kepanikannya, ia bisa melihat sosok Laura tergopoh-gopoh mendekat. Gadis itu tidak membuang waktu.

Tanpa bertanya lebih dulu, Laura dengan sigap membantu Dila mengatur napasnya. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan saat sahabatnya mengalami serangan seperti ini.

"Pelan-pelan, tarik napas," ujar Laura, suaranya lembut tapi tegas.

Dila menurut, meskipun tubuhnya masih gemetar. Udara perlahan mulai mengisi paru-parunya lagi, meskipun dada itu masih terasa berat.

Laura tetap berada di sisinya, mengawasi dengan cermat. Setelah beberapa saat, Dila akhirnya bisa bernapas lebih stabil—tapi begitu kesadarannya kembali, air mata yang tadi tertahan langsung jatuh begitu saja.

Ia menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Laura…" panggilnya pelan, suaranya bergetar.

Laura tidak berkata apa-apa. Ia hanya merentangkan tangannya, memberi isyarat tanpa kata.

Dila langsung menyandarkan tubuhnya ke Laura, membenamkan wajahnya di bahu sahabatnya itu. Isaknya tertahan, tapi genggaman tangannya di lengan Laura begitu erat, seakan butuh pegangan agar tidak jatuh lebih dalam ke lubang kegelapan di dalam dirinya.

Laura mengusap punggungnya dengan lembut, memberikan waktu bagi Dila untuk menenangkan diri. "Ada apa? Ngomong ke gue," tanyanya pelan, masih dalam posisi yang sama. "Siapa yang bentak lo?"

Dila hanya menggeleng. Ia tidak ingin menjawab. Tidak ingin bercerita.

Karena jika ia mengatakan yang sebenarnya… itu akan terasa semakin menyakitkan.

Setelah cukup tenang, Dila dan Laura akhirnya pergi ke kantin. Laura memilih duduk di meja pojok yang sedikit sepi, sementara Dila langsung bergegas ke antrean makanan.

Beberapa menit kemudian, Dila datang dengan nampan penuh makanan—lebih banyak dari porsi biasanya. Ada nasi, ayam goreng, tempe, sup, dan bahkan satu porsi mie goreng tambahan.

Laura, yang baru saja menyesap minumannya, langsung mengernyit. "Buset, lo mau makan atau buka warteg baru?" sindirnya.

Dila hanya nyengir santai sebelum mulai menyendok makanannya dengan lahap. "Gue butuh energi buat ngelupain hal yang gak penting," jawabnya sambil mengunyah.

Laura menghela napas sambil menatap tumpukan makanan itu dengan ekspresi tak percaya. "Habis tersedu-seduh tiba-tiba kaya orang gak makan dari lahir."

Dila mengangkat bahu, tak terganggu sedikit pun dengan komentar sahabatnya. "Diam lo, menyebarkan aib, kena pasal satu Undang-Undang Ardila," katanya dengan nada serius yang jelas bercanda.

"Bacot." Laura menyodorkan sendok ke arah Dila. "Buruann habisin, daripada lo ngomong makin gak jelas."

.

Laura melangkah masuk ke ruang ORMAWA dengan percaya diri, meskipun dalam hatinya ada sedikit ketidaknyamanan. Sebenarnya, dia sudah tahu siapa yang membentak sahabatnya. Tidak perlu menebak-nebak, pelakunya pasti Vero.

"Ada Mas Vero?" tanyanya begitu membuka pintu, suaranya terdengar tegas.

Beberapa orang di dalam ruangan menoleh, tapi suara lain yang menjawabnya datang dari sudut ruangan. "Ada apa?"

Vero, yang sejak tadi sibuk dengan laptopnya, akhirnya mengangkat kepala. Ekspresinya tetap tenang seperti biasa, tapi ada sedikit sorot penasaran di matanya.

"Bisakah kita bicara sebentar?" tanya Laura tanpa basa-basi.

Vero tidak langsung menjawab, tapi setelah beberapa detik, dia mengangguk dan bangkit dari kursinya, mengikuti Laura keluar ruangan.

Begitu mereka sudah berada di luar dan cukup jauh dari keramaian, Laura langsung membuka pembicaraan. "Gue Laura, sahabatnya Dila," ujarnya, menatap Vero dengan tatapan serius. "Langsung ke intinya aja, ya. Gue tau lo gak suka sama dia. Gue juga tau kalau Dila kadang terlalu berlebihan ke lo. Tapi kalau memang lo gak suka, bicarakan baik-baik aja. Itu lebih baik daripada lo membentaknya."

Vero terdiam. Tatapannya tetap netral, tapi ada sesuatu dalam ekspresinya yang sulit ditebak.

Laura melanjutkan, suaranya sedikit lebih lembut tapi tetap tajam. "Dila bukan manusia sekuat yang lo lihat. Dia emang ceria, keliatannya kayak gak peduli, tapi lo gak tau apa-apa tentang dia."

Hening. Vero masih belum mengatakan apa pun, hanya menatap Laura seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.

Laura mendesah pelan, merasa percuma menunggu tanggapan yang sepertinya tidak akan datang. "Gue cuma mau ngomong itu. Lain kali, jangan bentak dia lagi, Mas," ucapnya sebelum berbalik pergi.

Bukan karena ingin ikut campur. Laura hanya tidak ingin ada sesuatu yang membahayakan Dila, dalam bentuk apa pun.

TO BE CONTINUED —

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Awal Yang Baik

    Dila duduk dengan semangat di kursi seberang Vero, kedua tangannya sibuk dengan buku menu yang diberikan. Mereka memilih tempat makan yang cukup nyaman—tidak terlalu ramai, tapi juga tidak sepi.“Kita pesan apa?” tanya Dila sambil membolak balik halaman di buku menu itu.Vero menyesap air putihnya sebelum menjawab, “Apa aja yang kamu mau.”Dila menatapnya sebentar, lalu tersenyum puas. “Okey deal.”Gadis itu tersenyum puas kemudian mengatakan pada pelayan pesanannya. Cukup banyak, dia memesan seporsi chicken katsu dengan saus keju, French fries, potato balls dan segelas jus alpukat. Vero sendiri memilih menu yang lebih simpel—nasi dengan ayam panggang dan teh tawar hangat.Vero hanya mengangkat bahu santai. “Selama masih bisa dimakan, terserah.” Gumamnya.Saat makanan tiba, Dila langsung menyerang dengan lahap, sementara Vero menikmati makanannya dengan tenang. Jarang-jarang Dila m

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Sorry.

    “Kelas saya akhiri sampai sini. Terima kasih, selamat siang.”Seorang wanita dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dengan anggun setelah mengucapkan kalimat tersebut. Seluruh mahasiswa di dalam kelas mulai membereskan barang-barang mereka, beberapa mengobrol sebentar sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk.“Terima kasih, Bu,” ujar mereka serempak sebelum dosen benar-benar meninggalkan kelas.Dila merapikan bukunya dengan sedikit lamban. Hari ini dia harus lembur menggantikan hari saat dia keluar bersama Vero untuk mencari sponsor. Jam kerjanya bertambah, dan itu berarti harinya akan terasa lebih panjang dan melelahkan.“La, jadi bareng gue nggak?”Daren, yang sejak tadi duduk di belakangnya, sudah siap dengan tasnya. Dila mengangguk sebagai jawaban, kemudian menggendong tasnya dan mulai mengekor Daren keluar dari kelas.Namun, langkahnya terhenti ketika sebuah suara memang

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Annoying

    Kegiatan mengantar makanan kini terasa lebih menjengkelkan dari sebelumnya. Beberapa kali Dila datang ke ruang ORMAWA, ia selalu melihat gadis yang sama berada di dekat Vero—entah sedang mengobrol atau sekadar duduk bersama. Yang lebih menyebalkan, Vero sama sekali tak terlihat terganggu oleh kehadiran gadis itu.Menyukai pria yang memiliki sikap acuh memang melelahkan. Tidak peduli seberapa sering Dila datang, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang ia berikan, sepertinya Vero tetap saja bersikap sama—dingin, tenang, seolah tak ada sesuatu yang bisa benar-benar menyita perhatiannya.Hari ini, saat ia kembali mengantar bekal, pemandangan yang sama kembali terulang. Vero dan gadis itu duduk berdampingan di depan ruang ORMAWA, masing-masing sibuk dengan gadget di tangan mereka tanpa banyak berbicara. Tapi justru keheningan itu yang terasa mengganggu bagi Dila.Merasa tak bisa terus diam saja, Dila akhirnya memberan

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   My Mom

    Jam malam tiba, Vero menghentikan mobilnya di depan rumah berwarna putih dengan pagar besi yang tertutup rapat. Cahaya lampu teras menerangi pekarangan yang tampak rapi, menandakan bahwa seseorang di dalam rumah sudah menunggu.Dila menoleh ke arah Vero dan tersenyum kecil sebelum membuka pintu mobil. "Makasih ya, Mas, buat tumpangannya," ujarnya dengan nada sedikit menggoda.Vero hanya mengangguk. "Sama-sama."Dila merapikan barang-barangnya, memastikan tidak ada yang tertinggal, lalu menambahkan dengan semangat, "Lain kali kalau mau cari sponsor ajak aku lagi ya, Mas."Vero meliriknya sekilas, lalu menggeleng dengan ekspresi jengah. "Nggak ah. Kamu tukang makan, uang saya habis buat jajan kamu."Dila terkekeh, tak merasa tersinggung sama sekali. "Sekali-sekali ah, sama calon pacar."Vero memutar matanya, tapi diam-diam i

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Semakin Dekat

    "Vero, gue nanti harus ke Bandung sama Bunda." Seorang laki-laki berkata dengan nada sedikit berteriak sambil berjalan cepat menghampiri Vero."Harus hari ini?" tanya Vero tanpa mengubah ekspresi wajahnya.Laki-laki itu mengangguk sambil membereskan barang-barangnya dengan terburu-buru. "Iya, Kakek gue masuk rumah sakit. Kayaknya gue bakal pulang-pergi terus selama beliau dirawat."Vero hanya mengangguk lagi. Ekspresinya tetap datar saat berkata, "Ya udah, gak apa-apa. Gue bisa nyari sponsor sendiri.""Loh, jangan!" sergah laki-laki itu cepat. "Sama Dila aja, Ro. Dia kan cewek lo, sekalian tuh PDKT kalian biar cepet jadian. Kasihan sekampus pada gemes," lanjutnya dengan seringai menggoda sambil menggendong tas ranselnya.Vero mendengus pelan, tapi sebelum sempat membalas, laki-laki itu menepuk punggungnya, seolah ingin meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.“Loh, kebetulan.”Suara lain menyela percakapan mereka. Vero spontan menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang teman laki-

  • Presiden BEM Itu Kekasihku   Who's She?

    Dila duduk di salah satu bangku panjang dekat kantin setelah kelasnya selesai. Makanan yang dia pesan mulai mendingin, tapi perhatiannya masih terpaku pada ponsel. Sesekali, alisnya mengernyit, lalu berubah jadi senyum, kemudian kembali serius—seakan-akan sedang membaca sesuatu yang penting.Akhirnya, apa yang dia tunggu datang juga.Seorang laki-laki dengan wajah datar, tanpa ekspresi antusias maupun bosan, berjalan mendekati mejanya. Seperti biasa, Vero selalu terlihat santai, tapi Dila tahu dia bukan tipe yang akan menyapa lebih dulu.“Hai, Mas Vero.” Dila mengangkat wajahnya, tersenyum lebar seperti biasa.Vero tidak langsung menanggapi. Dia hanya menarik kursi dan duduk di hadapan Dila, menghela napas tipis sebelum akhirnya bertanya, “Ada apa?”Dila menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih manis. “Mau tanya.”Vero menaikkan sebelah alis, bingung.Dila tahu, laki-laki itu pasti bertanya-tanya dalam hati. “Tadi aku antar bekel kamu kan…”Vero memiringkan kepalanya sedikit, dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status