Masuk“Gue cuma gak mau repotin orang,” jawab Dila pelan.
“Repot tuh kalau lo mati sendirian di rumah. Kalau lo cuma cerita, itu namanya manusiawi.” Kata-kata itu menancap dalam, sederhana tapi hangat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Dila merasa aman untuk sekadar diam tanpa pura-pura tersenyum. Beberapa detik berlalu dalam hening. Daren tiba-tiba berdiri, melepas apron, lalu berkata, “Udah malem. Gue antar lo pulang.” Dila buru-buru menggeleng. “Enggak usah, gue biasa pulang sendiri.” “Tuh kan, ‘gue biasa’ lagi,” Daren mendengus, lalu tersenyum miring. “Kali ini, lo gak usah biasa. Lo cuma perlu duduk di motor dan kasih tau arah rumah.” Dila membuka mulut, ingin menolak lagi, tapi akhirnya hanya mengangguk pelan. Ada sesuatu dalam nada suara Daren yang tak bisa ia lawan—bukan paksaan, tapi perhatian yang tulus. Saat mereka melangkah keluar, udara malam terasa lembab dan dingin. Daren membuka jas hujan, menaw“Mana wanita itu?” Suara itu datang dari kegelapan. Rendah. Tajam. Dingin. Senyum Dila langsung runtuh. Jantungnya jatuh, seakan ada tangan kasar yang meremasnya tiba-tiba. Hangat yang ia bawa dari luar rumah menguap seketika, digantikan rasa dingin yang merambat cepat ke tulang. Langkahnya terhenti. Udara terasa menipis. Malam yang tadi terasa ramah, kembali menunjukkan wajah aslinya. Dan Dila tahu ia baru saja kembali ke mimpi buruk yang selama ini selalu menunggunya di rumah. Lampu menyala. Cahaya kuning itu tidak memberi rasa aman. Justru memperjelas segalanya. Seorang laki-laki paruh baya berdiri di depannya. Ayahnya. Tatapannya penuh amarah yang belum sempat reda, penuh dendam yang seolah hanya menunggu tubuh kecil di depannya untuk dilampiaskan. Dila menunduk. Ia tak sanggup menahan tatapan itu terlalu lama. Dadanya semakin sesak, napasnya tersendat, seperti ada tangan tak kasa
Malam semakin larut. Lampu-lampu hangat kafe mulai meredup, tanda waktu kerja hampir selesai. Dila duduk sendirian di sudut meja, laptop terbuka, tab-tab tugas berantakan. Matanya berat, hari ini ia harus mengerjakan tugas berpasangan dengan Daren, tapi pikirannya sudah terlalu penuh untuk fokus. Di luar, hujan turun pelan. Suara rintiknya mengenai kaca seperti ritme nina bobo yang justru membuat kelopak matanya semakin turun. Aroma kopi yang tersisa di udara membuat suasana makin tenang, terlalu tenang… sampai hampir membuatnya tertidur. Kemudian tiba-tiba bel pintu berbunyi. Menandakan ada pelanggan masuk sebelum jam kerjanya habis. Dia mengangkat kepala dengan malas, sedikit kaget karena jam layanan tinggal beberapa menit lagi. Ia menutup laptopnya separuh, menarik napas, lalu bangkit dari kursi. Ia melangkah menuju kasir sambil merapikan apron yang sejak tadi kusut. “Selamat malam, Kak. Mau pesan apa?” Dila tercengat.
Hari itu berjalan seperti biasanya, meski dada Dila masih terasa sesak membawa sisa-sisa malam kemarin. Nada suara Ayahnya, tatapan tajam itu, tuduhan yang menusuk… semuanya masih menggantung seperti kabut yang enggan pergi. Kepalanya penuh. Bahkan saat rapat sekalipun, pikirannya masih sibuk memikirkan bagaimana ia harus menyampaikan maksud Ayah pada Bundanya. Ragu itu menggigit dari dalam. Di ruang BEM, semua anggota sie sponsor berkumpul. Berkas-berkas berserakan, suara diskusi memenuhi ruangan, dan Vero sibuk meninjau proposal. Dila mencoba fokus, padahal jantungnya berdetak tak karuan. “Dila udah makan?” suara Daren tiba-tiba terdengar dari pintu. Seisi ruangan sontak menoleh. Suara Daren memang cukup nyaring, tapi perhatian semua orang justru jatuh pada Dila—yang seketika membeku. Dila reflek menatap Vero. Bukan untuk izin sebenarnya… tapi karena entah kenapa, setiap kali namanya dan nama Daren disebut bersamaan,
Jam pulang akhirnya tiba. Setelah kafe dibersihkan, lantai dipel, dan semua sampah dibuang ke tempat belakang, suasana yang tadinya riuh perlahan mereda. Lampu-lampu mulai dimatikan satu per satu, menyisakan temaram yang menandakan hari kerja benar-benar berakhir. Dila menghela napas panjang, menenteng tasnya sambil merasakan seluruh tubuhnya menuntut istirahat. Malam semakin larut, udara dingin menusuk lembut, membawa aroma jalan basah setelah hujan sore tadi. Daren memastikan mesin kasir sudah ditutup, lalu mengunci pintu utama dan gerbang kafe. Setelah semuanya aman, ia menoleh ke Dila. “Ayo pulang.” Dila hanya mengangguk pelan. Mereka berjalan menuju motor yang terparkir di pinggir trotoar, suara langkah keduanya memantul di jalanan yang sunyi. Lampu-lampu jalan yang basah memantulkan cahaya kekuningan, membuat malam terasa lebih panjang daripada biasanya. Daren menyalakan motor dan menunggu Dila nai
Setelah menyelesaikan makan siang, mereka langsung berniat pulang. Mobil melaju pelan menuju rumah Dila. Hujan rintik mulai reda, meninggalkan udara lembap yang menempel di kaca jendela. Dila duduk di samping Vero, tangannya refleks menutupi perban yang terlihat dari balik jaket tebalnya. Begitu mobil memasuki halaman rumahnya, Dila langsung terpaku. Di depan teras, duduk di atas motor dengan helm setengah terlepas, Daren menunggu dengan ekspresi tenang namun waspada. “Lama,” ujar Daren datar, sekilas menatap Dila dengan tatapan yang sulit dibaca. Dila membalas dengan cengiran kecil, mencoba menyembunyikan kepanikan yang naik tiba-tiba. Belum sempat ia mengatur napas, suasana berubah sedikit janggal ketika Daren berdiri dan langsung membantu memasangkan helm di kepala Dila. Gerakannya cepat, otomatis seolah itu kebiasaan lama mereka. Dila bisa melakukannya sendiri, jelas. Tapi Daren tetap melakukannya tanpa tanya. Dari mobil, Vero belum bergerak. Ia hanya duduk, tangan masih di s
Beberapa menit berlalu dalam hening yang nyaman. Hanya suara median dan lagu dari radio yang mengisi ruang di antara mereka. Dila mulai bisa bernapas lega, sepertinya Vero sudah tidak menyinggung soal lukanya lagi. Begitu mobil memasuki area kampus, Vero memperlambat laju kendaraan. “Nanti makan siang pakai apa?” tanyanya tiba-tiba, nada suaranya santai tapi penuh perhatian. Dila melirik, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Gak tau,” jawabnya singkat. Vero mengangkat alis, lalu tersenyum kecil mendengar jawaban ambigu itu. “Berarti aku harus pastiin kamu beneran makan,” ujarnya ringan. Dila terkekeh. Hubungannya dengan Vero memang sering diwarnai hal-hal kecil seperti ini—menggemaskan, sekaligus menenangkan. “Aku yang pastiin beneran makan, Mas. Aku bisa,” katanya sambil menatapnya sekilas. Vero mengangguk pelan. “Iya, iya, yang bisa,” balasnya cepat. “Tapi kamu tuh sering lupa makan.” Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan, “Nanti sore aku jemput, ya? Sekalian makan bareng







