Neil yang terbiasa menggoda wanita, begitu diberikan sebuah ciuman yang sangat mendadak dari wanita tersebut mendadak terpaku di tempatnya, tidak bisa melakukan apa pun.
"Sepertinya aku mengenal wajahmu," kata wanita itu seraya menunjuk Neil. Neil sendiri hanya mengerjapkan kedua matanya, merasa apa yang ia lihat saat ini adalah sebuah mimpi yang menjadi nyata."Dok?"Dalam keadaan setengah mabuk, wanita yang ternyata Shania, pun terkejut begitu melihat wajah Neil. "Bocah? Sebentar ... kamu mengikuti aku?" tuduhnya. Shania mendorong dada bidang Neil, lalu bergegas menjauhkan diri, "Kenapa kamu memeluk aku, Bocah?""Ya Tuhan, siapa yang memeluk kamu? Tiba-tiba saja kamu yang langsung menciumku, Dok. Sekarang katakan padaku, kenapa kamu mabuk?" Neil merasa Tuhan sangat menyayangi dirinya, harapan selama beberapa hari ini akhirnya dikabulkan. Shania sendiri kembali duduk di trotoar, tubuh masih sempoyongan, dandanannya sendiri benar-benar berantakan, entah apa yang terjadi, Neil tidak mau menebak-nebaknya.“Diam kamu, Bocah!”"Hentikan, jangan memanggilku bocah. Sekarang siapa yang tampak seperti bocah, menangis meraung-raung dan duduk di trotoar seperti ini. Berdiri lah!" Neil mengulurkan satu tangannya, Shania sendiri membuang muka mengabaikan uluran tangan pemuda itu padanya."Wow, kau sombong sekali, Dok. Kau menangis di tepi jalan ini, kenapa?""Bukan urusanmu, Bocah," jawab Shania kesal."Hei, aku tahu kamu sedang bersedih. Jangan begitu gengsi, Dok. Katakan, siapa tahu aku bisa menjadi teman bicaramu?" sahut Neil cepat. Bertemu Shania dalam keadaan seperti ini, membuat Neil terenyuh dengan keadaan wanita itu. Tapi dia tidak bisa melakukan apa pun, sepertinya wanita itu tidak menyukainya."Bocah, kamu terlalu banyak bicara. Apa kamu tidak bisa menutup mulutmu walau hanya satu menit? Suasana hatiku sedang tidak nyaman!" bentak Shania pada Neil. Lalu pemuda itu dengan keras kepala memilih untuk duduk di samping Shania, lalu dia memiringkan kepala dan menatap wajah Shania"Hm, aku akan menemanimu," kata Neil."Aku malas melihatmu," jawab Shania datar."Tapi aku tidak peduli," ucap Shania sekali lagi, bersikeras tidak ingin pergi dari samping Shania."Terserah.""Well done, Dok. Kenapa wajahmu sembab seperti ini?""Apa aku harus menceritakan padamu?" Shania pun menoleh, lalu tatapan Neil dan dirinya saling bertemu. Tanpa diminta Neil mengangkat satu tangannya, lalu menggunakan jempol dia mengusap airmata yang membasahi pipi Shania."Kamu jelek saat menangis, Dok.""Mungkin aku selalu terlihat jelek, seperti itu. Bahkan nasibku pun sangat jelek.""Dok ....""Ya?""Kamu masih membutuhkan sandaran untuk menangis lagi?" tanya Neil, dia pun berbalik dan memunggungi Shania, "Punggungku cukup lebar, kau bisa meletakkan kepalamu di sana, lalu menangis sekencang-kencangnya. Aku tahu, masih ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatimu."Neil tidak menyangka, bisa-bisanya ia bertemu dengan wanita yang ada di dalam pikirannya dalam situasi yang menggelikan seperti ini. Apa ada yang menyakitinya? Pikir Neil.Shania menyandarkan pergelangan tangannya pada punggung Neil, dijadikannya bantalan bagi kepalanya, lagi-lagi ia pun menangis meraung di balik punggung Neil. Pemuda 19 tahun itu hanya bisa menarik napas panjang, merasa jika Shania yang sedang menangis itu jauh lebih bocah darinya!"Kalau sekiranya, kamu sudah merasa lega, maka katakan saja. Kamu hanya menjadikan punggungku sebagai sandaran tempatmu menangis, jadi tidak perlu membayar apa pun padaku, free of charge, Dok," ucap Neil dengan kalimatnya yang mengada-ngada. Meski ia tahu, Shania yang sedang menangis mungkin karena masalah yang menimpanya, bukan lah urusan dirinya, tetapi entah kenapa ia tidak bisa mengabaikan wajah cantik yang sendu dengan kedua mata sembab terlihat begitu rapuh di mata Neil."Tidak kah kamu berpikir kita berjodoh?" kata Neil lagi."Diam kamu, jangan banyak bicara, aku sedang malas menanggapi celotehanmu. Kamu tidak akan mengerti rasanya diselingkuhi!" seru Shania sembari tersedu-sedu, rasanya Neil ingin tertawa tetapi ia merasa tidak tega."Hm, kamu boleh menangis sepuas hati, asal jangan mengotori pakaianku. Aku harus bekerja dan pakaian ini jangan sampai kotor, aku malas menggantinya." Terlihat sangat konyol saat harus berdua duduk di tepi trotoar tanpa melakukan apa-apa. sementara ada beberapa pejalan kaki yang memperhatikan mereka berdua, mungkin berpikir jika Neil telah melakukan sesuatu pada Shania."Kamu masih tidak mau bercerita?""Aku mau ke bar, mungkin sakit hatiku bisa sedikit terobati," kata Shania. Neil dibuat bingung, tadi ia bilang baru saja diselingkuhi, lalu sekarang ingin pergi ke bar? Kenapa wanita sulit sekali untuk dimengerti sih?"Mau apa ke bar, hm?""Mau mencari pria tampan, mungkin? Kamu masih bocah, tidak akan mengerti apa yang orang dewasa alami. Kamu tidak akan tahu rasanya ... mencintai seseorang selama 12 tahun, mempercayainya setengah mati, ternyata dikhianati begitu saja," cerocos Shania. Ia tidak sadar saat ini sedang menumpahkan seluruh perasaannya pada Neil. Baru saja Shania menjeda kalimatnya, ia kembali menangis, Neil mengusap wajahnya dengan kasar, berharap tangisan Shania bisa segera mereda. Sumpah! Neil merasa malu!Ia pun kembali memunggungi Shania, lalu sibuk memainkan ponselnya. Terserah mau sampai kapan Shania menangis, ia rela memberikan punggungnya sebagai sandaran wanita yang sedang patah hati itu."Hei, aku punya saran untukmu," kata Neil. Wanita yang kembali menangis itu pun menghentikan sejenak tangisannya dan menatap wajah Neil, "Kamu tidak percaya?""Saran apa?" jawab Shania. Keduanya berbicara dengan posisi tubuh yang saling memunggungi. Mereka berdua tampak seperti dua orang yang sudah begitu akrab, padahal tidak ada yang tahu, baru malam ini mereka berbicara cukup banyak."Balas saja dengan selingkuh. Tadi kamu memintaku mengajakmu ke klub malam, kan? Aku akan membawamu ke sana, lalu ... di sana kamu bisa memesan pria mana pun yang kamu inginkan, termasuk jika kamu ingin denganku, aku rela," kata Neil. Shania memang belum tahu, jika pemuda yang sekarang berada di dekatnya, dengan rela memberikan punggung untuk dijadikan sandaran kesedihannya, adalah seorang gigolo berkelas.Shania memutar bola matanya dengan malas begitu mendengar celotehan Neil, tapi apa katanya tadi?Membalas dengan selingkuh?"Aku selingkuh juga? Dengan siapa?" tanya Shania masih belum begitu sadar, "Lalu begitu selingkuh, aku tidur denganmu, begitu?"Sesungging senyum yang begitu lebar tersampir di wajah tampan Neil, pemuda iseng berprofesi sebagai gigolo itu tentu saja riang mendengar apa yang baru dikatakan oleh Shania, siapa yang akan menolak diajak tidur oleh seorang wanita cantik, seksi, meskipun ya ... usianya pasti jauh lebih tua."Aha, tepat sekali. Bagaimana? Untukmu aku bersedia repeat order, bahkan tidak perlu membayar pun ... aku rela, Dok," ucap Neil seraya tertawa.Terdengar Shania mendesah pelan sembari menggelengkan kepala, menganggap kata-kata Neil barusan adalah lelucon, "Dari pada membayar kamu, lebih baik ... aku mencari gigolo yang jelas lebih berpengalaman dibandingkan bocah seperti kamu!""By the way, you're talking with the right ones, Anda tidak perlu mencari gigolo jauh-jauh. Aku juga gigolo," sahut Neil dengan percaya diri."Kau kenapa?" tanya Neil, wajahnya seketika bingung saat melihat Shania terdiam, apakah ada yang salah dengan ucapannya barusan?Deg!Raut wajah Shania seketika berubah saat Neil menyebutkan siapa nama wanita yang tadi disebut di hadapan mereka berdua. "Oh, pasti dia mencarimu karena dia menginginkan pelayanan darimu, kan?"Terdengar sekali dari nada bicara Shania, wanita itu saat itu seperti sedang cemburu.Ehm, cemburu?Neil mengulum senyumnya, dia tidak ingin percaya diri berlebih terlebih dahulu meski dia yakin sekali saat ini memang Shania merasa cemburu pada Catherine, biar saja untuk sementara Neil tidak akan menampik apa pun. Ia ingin tahu, apa reaksi Shania selanjutnya.Tidak, dia tidak bermaksud mengerjai Shania, tapi dicemburui seperti ini sangat menyenangkan bagi pemuda tengil satu ini."Marcus, apa saja yang dia katakan padamu kemarin? Aku memang sudah lama tidak bertemu Catherine, pasti dia ingin berbincang-bincang denganku. Secara keseluruhan, dia itu wanita yang baik,"
Cukup lama Neil terdiam, berusaha mencerna ucapan Shania. Ia percaya pada Shania tidak akan mungkin menyakiti dirinya. Wanita itu terlalu lembut, apa mungkin tega melakukannya?"Aku yakin, kau tidak akan pernah menyakitiku, Shan." Kata-kata Neil itu sebetulnya hanya sebuah penghiburan terhadap dirinya sendiri, takut menerima kenyataan jika suatu saat Shania benar-benar melakukannya.Shania tidak tahu apakah dia harus tertawa atau menangis mendengar ucapan Neil barusan. Bisa seperti itu ya? Neil mempercayai dirinya, padahal dia dan Neil belum lama mengenal satu sama lain, apakah pemuda itu terlalu naif?Neil tidak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Shania dan apa yang wanita itu rencanakan. "Aku hanya ingin tahu, bagaimana jika sewaktu-waktu aku menyakiti, lalu membohongimu, apakah kau juga akan membenciku?" Shania ingin memastikan seperti apa perasaan Neil jika suatu hari semua terjadi seperti yang baru saja diucapkan Shania padanya.Untuk sejenak pemnuda itu merenung, kedua matany
Shania baru saja keluar dari dalam ruangannya, satu orang pasien terakhir sudah berlalu sejak beberapa menit yang lalu, Shania terlihat menawan di mata Neil, dengan rambut yang dikuncir kuda dan riasan tipis di wajahnya."Apakah sudah tidak ada pasien lain, Shan?" tanya Neil, karena dia tidak tahu apakah saat ini Shania menemuinya karena mengambil jeda sebentar, atau memang jam kerjanya benar-benar telah berakhir."Kau tidak perlu khawatir, jam kerjaku sudah selesai, lalu sekarang kau bisa mengatakan ke mana kau akan mengajakku? Aku tidak bisa pergi terlalu lama karena aku harus mengambil pakaianku di rumah mertuaku," kata Shania."Bagaimana kalau aku ajak kau pergi ke kafe milikku? Hm ... aku akan membuatkan secangkir kopi spesial untukmu, ok?" Neil menjawab pertanyaan Shania. "Kafe milikmu? Memangnya kau memiliki kafe?" Shania terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan Neil, apa pemuda ini sedang membohonginya? "Ya, aku memiliki kafe tidak jauh dari pusat kota. Kau pikir, aku ak
Shania memutuskan untuk mengambil setengah dari pakaian yang ia miliki dan memindahkan ke rumah Misa, masalahnya, ia merasa dirinya sudah tidak lagi dibutuhkan di rumah milik Thomas, lagi pula, pria itu sudah tidak lagi menghubungi dirinya seperti yang biasa dilakukan oleh Thomas dulu."Misa, nanti sepulang bekerja aku tidak akan langsung kembali ke rumahku, aku harus mengambil pakaian dan juga perhiasan milikku, setidaknya aku bisa menjual perhiasan jika aku membutuhkan uang untuk membekali hidupku," kata Shania. Sejujurnya Shania tidak sampai kekurangan seperti ini, ia hanya mengantisipasi saja, tidak selamanya seseorang berada di atas, bisa saja tiba-tiba ia ditimpa kemalangan. 'kan?"Kau berhati-hati lah, Shan, apa perlu aku temani?" tanya Misa. Sejujurnya, dengan situasi Shania, Misa benar-benar mengkhawatirkan wanita cantik itu."Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri, Misa. Kau langsung saja kembali ke rumah, aku akan ke sana, tidak memakan waktu, aku hanya akan membawa be
"Bagus, kalau kau mengabulkannya, maka aku tidak akan berbuat macam-macam pada dirimu, kau paham?" Donna pun tertawa. Berbuat macam-macam? Thomas lebih baik berpikir 1000 kali daripada dia terkena masalah nantinya. Dia tidak ingin menambah masalah yang sudah ada dengan masalah baru. "Kau tenang saja, aku tidak akan berbuat macam-macam yang bisa membuatmu kesal. Beberapa hari lagi kau bisa pindah ke rumahku, tentu saja aku akan mengenalkanmu pada ibuku, Donna." Thomas ingin membuat kemarahan Donna reda, agar dia tidak perlu mendengarkan celotehan-celotehan wanita itu lagi. Sudah cukup pusing dibuatnya hari ini oleh Donna. "Sekarang apa lagi yang ingin kau katakan, Donna, apakah ada hal lain?" Thomas dibuatnya tidak bisa fokus dengan apa yang dikerjakan olehnya. Donna seperti sedang memantau pekerjaannya, dan ini benar-benar menjengkelkan bagi Thomas. "Tidak ada, aku ingin pulang bersamamu, apakah kau merasa keberatan jika aku pulang dengan calon suamiku sendiri? Aku tidak mau ka
Donna baru saja turun dari mobil mewahnya, dia membuka kacamata hitam yang menutupi wajahnya. Lalu dia pun masuk ke dalam rumah sakit, wanita itu akan mendatangi Thomas untuk menanyakan masalah pernikahan mereka berdua, sekaligus memberitahukan sebuah kejutan yang pasti bisa membuat Thomas mati berdiri. "Hm, kau harus melakukan sesuatu, Thomas. Menceraikan Shania dan segera menikahiku," ucap Donna seraya melangkah dengan mantap ke arah lift. Bayangan-bayangan indah mengenai pernikahan mewah dan lainnnya sudah ada di dalam pikiran Donna. Dia tidak mau tahu, pernikahan itu harus segera terjadi, jadi dia ingin memastikan kapan mereka bisa menentukan tanggal dan bulan. Beberapa orang memerhatikan Donna saat wanita itu melintas masuk ke dalam rumah sakit. Misa kebetulan baru saja hendak keluar, dan dia pun tidak lupu memerhatikan Donna, terlebih ketika wanita itu masuk ke dalam ruangan Thomas. "Siapa wanita itu?" Misa secara diam-diam saat Donna berdiri dan mengetuk pintu Thomas dia s